Pulang dari salah satu pengajian Majelis Ta'lim Wanita Ujung Pandang Baru, isteri saya membawa permasalahan, yaitu tentang rama-rama malam. Sudah banyak kali dia mendengarkan dalam pengajian isu tentang tahyul dan musyrik kecil. Seperti yang baru saja dicontohkan dalam ceramah yang dihadirinya tadi. Ada kepercayaan yang turun temurun mengaitkan masuknya rama-rama malam ke dalam rumah dengan kedatangan tamu. Orang yang masih mempercayai kepercayaan turun temurun tersebut, dia itu musyrik kecil, demikian ustadz penceramah tadi. Rama-rama malam masuk rumah, hubungan isyarat, kuasa ghaib, kaitan kausal yang sebenarnya dan yang semu Inilah isu yang akan menjadi pengantar dari judul yang di atas: Enggang hinggap, Ranggas jatuh, Anak raja mati terhimpit.
Biasanya lebih populer penggunaan kata kupu-kupu ketimbang rama-rama, walaupun pengertiannya sama betul. Namun dalam tulisan ini saya memilih kata rama-rama. Mengapa? Ada dua jenis rama-rama, yaitu rama-rama yang sayapnya berdempet tegak lurus apabila hinggap dan rama-rama yang sayapnya membuka lebar mendatar kalau hinggap. Jenis yang pertama adalah rama-rama siang dan jenis yang kedua adalah rama-rama malam. Nah kalau dipakai kata kupu-kupu malam, maka kata ini punya konotasi negatif. Yaitu pelacur yang beroperasi membuka sayapnya lebar-lebar ke lapangan pada malam hari. Sehingga kalau kupu-kupu dikaitkan dengan malam akan mempunyai konotasi yang jorok.
Apa itu yang disebut musyrik? Musyrik yaitu orang yang bersikap syirk, menduakan Allah. (Jangan dikacaukan dengan bahasa AGB sirik yang diartikan dengan dengki atau iri). Lalu apakah betul kalau orang percaya bahwa jika ada rama-rama malam masuk rumah alamat akan kedatangan tamu, berarti orang itu sudah menduakan Allah? Maka akan timbul pertanyaan lebih lanjut. Apakah rama-rama itu hanya merupakan isyarat akan datangnya tamu, ataukah rama-rama masuk rumah itu dianggap sebagai penyebab datangnya tamu? Timbul pertanyaan lanjutan lagi. Apakah isyarat identik pengertiannya dengan penyebab?
Dalam kepercayaan turun temurun dari nenek moyang kita tentang alamat atau isyarat itu ada beberapa jumlahnya. Seperti misalnya apabila ada ayam jantan berkokok tengah malam alamat ada dara yang kehilangan kegadisannya pada malam itu. Mimpi gigi tanggal alamat akan kematian keluarga dekat. Kedutan di kulit alamat akan mengalami kegembiraan atau kesedihan, tergantung di plot mana kulit itu kedutan; kalau di paha misalnya itu isyarat akan bertengkar.
Adapun hubungan antara kelahiran seseorang di bawah rasi bintang tertentu dengan tabiat seseorang, itu bukan isyarat melainkan hubungan kasual yang semu. Akan tetapi orang yang selalu dibayangi rasa ketakutan akan mendapat kecelakaan setelah menginjak mati kucing, maka itu termasuk musyrik kecil.
Maka di antara sekian banyak kepercayaan turun temurun menyangkut rentetan peristiwa itu harus dipilah-pilah, jangan pukul rata. Ada rentetan peristiwa yang dianggap termasuk alamat atau isyarat. Ada pula rentetan peristiwa yang dianggap sebagai penyebab langsung, katakanlah hubungan kausal secara mekanistik maupun hubungan kausal kuasa gaib. Anggapan bahwa rentetan peristiwa itu hanya sebagai alamat tidaklah musyrik, meskipun alamat itu belum tentu benar atau belum tentu salah. Apakah setiap ada rama-rama masuk rumah mesti akan kedatangan tamu? Apakah setiap kedatangan tamu selalu didahului oleh rama-rama masuk rumah? Ataukah ada rama-rama masuk rumah tetapi tidak ada tamu yang datang? Namun rupanya nenek moyang kita turun temurun minatnya hanya tertuju kepada kejadian adanya rama-rama masuk rumah, disusul dengan datangnya tamu. Sedangkan tidak ada minatnya sama sekali terhadap kemungkinan-kemungkinan yang lain. Lalu akhirnya terbinalah kepercayaan tersebut. Maka apabila sekarang masih ada yang mempercayai bahwa rama-rama masuk rumah alamat akan datang tamu, tidaklah orang itu musyrik, hanya kepercayaan tentang alamat itu tidak benar. Akan tetapi jika menganggap bahwa rama-rama itu mempunyai kuasa gaib mampu mendatangkan tamu, maka itu musyrik, bukan hanya sekadar musyrik kecil.
Adapun tentang kepercayaan adanya hubungan kausal yang langsung secara mekanistik, maka itu benar, sepanjang sudah diadakan penelitian yang cermat. Seperti misalnya keluarnya semut-semut dari sarangnya, binatang hutan pada berlarian menghindari suatu tempat. Itu adalah alamat akan datangnya gempa bumi. Sebenarnya alat pendeteksi yang diberikan Allah kepada binatang-binatang itu jauh lebih peka ketimbang seismograf, alat pendeteksi gempa bikinan manusia. Sebelum alat seismograf dapat mendeteksi gempa, binatang-bintang itu telah lebih dahulu mengetahuinya. Namun ada pula rama-rama yang mampu mendatangkan tamu dari luar negeri, yaitu rama-rama di Bantimurung, rama-rama yang menjadi obyek wisata.
Yang terakhir ada hubungan kausal yang semu, bukan merupakan penyebab yang sebenarnya, melainkan hanya berupa pelatuk. Seperti misalnya tertembaknya Pangeran Francis Ferdinand pada 28 Juni 1914 di Sarajevo, yang menjadi picu atau pelatuk Perang Dunia Pertama. Tentu kita semua sudah pernah membaca dalam sejarah bahwa penembakan pangeran yang menjadi picu itu dilakukan oleh seorang anggota rahasia gerakan expansi Serbia untuk menguasai Bosnia-Herzegovina. Adapun kelakuan biadab expansi Serbia sekarang ini adalah pengulangan sejarah.
Tentang hubungan kausal jenis pelatuk ini telah pernah diteliti oleh seorang pakar di antara nenek moyang kita, yang kita tidak tahu orangnya, oleh karena pakar nenek moyang kita itu menganut nilai tidak ingin menonjolkan dirinya, dan itu terpateri dalam gaya bahasa orang-orang dulu yaitu pemakaian kalimat pasif. Adapun hubungan kausal janis pelatuk tersebut diungkapkan dalam sebuah syair yang pendek saja:
Enggang hinggap
Ranggas jatuh
Anak raja mati terhimpit
Enggang adalah sejenis burung yang besar dan berat paruhnya. Ranggas adalah ranting yang sudah layu, dilihat dari segi ilmu mekanika dalam keadaan keseimbangan yang labil (labiele evenwicht). Sedikit saja disentuh akan patah. Anak raja di bawah pohon mengidap penyakit jantung. Sedikit saja kaget jantungnya akan berhenti berdenyut. Enggang yang hinggap menjadi picu jatuhnya ranggas, dan ranggas yang mengenai anak raja merupakan picu tersentaknya jantung yang lalu berhenti berdenyut, matilah dia si anak raja itu.
Firman Allah: Min kulli syay.in sababan (S. AlKahf, 84), artinya: Dari tiap-tiap sesuatu bersebab (18:84). Jadi segala sesuatunya itu ada penyebabnya. Ada yang mekanistik dan itu dapat dikaji oleh sains. Ada yang tidak mekanistik dan itu terbagi dua, yaitu sihir dan Yang Ghaib. Ular-ular orang-orang "pintar" Fir'aun adalah hasil sihir. Ular-ular itu habis dimakan tongkat Nabi Musa AS yang berubah menjadi ular. Tongkat Nabi Musa AS menjadi ular penyebabnya dari Yang Ghaib, dan itu namanya mu'jizat. Kata ini dibentuk oleh 3 huruf: 'Ain, Jim, Zay, 'Ajaza artinya melemahkan. Mu'jizat yaitu yang dimiliki oleh seorang Nabi untuk melemahkan visi lawan-lawannya. Jadi mu'jizat itu penyebabnya langsung dari Allah SWT. Mengenai sihir akan dibahas kelak, Insya Allah. WaLlahu a'lamu bishshawab.
*** Makassar, 27 Juni 1993
27 Juni 1993
[+/-] |
085. Enggang hinggap, Ranggas jatuh, Anak Raja Mati Terhimpit |
20 Juni 1993
[+/-] |
084. Bintang-Bintang, dan Peristilahan Ilmiyah |
Tulisan ini dibuat berhubung dengan lambannya penyesuaian peristilahan terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, hatta bahkan menyangkut istilah ilmiyah sekalipun. Maka berikut ini akan dikemukakan hal ihwal peristilahan dalam hal nama jenis bintang-bintang.
Dalam istilah sehari-hari benda-benda yang kita lihat di atas bola langit hanya dibedakan dalam: matahari, bulan dan bintang-bintang. Untuk keperluan praktis dalam hal pelayaran dan pertanian beberapa dari bintang itu diberi nama diri. Dalam hal pelayaran beberapa dari bintang itu menjadi petunjuk mata-angin, dan dalam hal pertanian menjadi petunjuk musim bila waktunya untuk mengolah lahan, bila waktunya untuk bertanam dan lain-lain.
Dalam ilmu falak atau astronomi bintang-bintang itu di samping diberi nama diri juga diberikan pula nama jenis atau nama golongan. Ada yang disebut dengan bintang-bintang tetap. Mengapa dikatakan demikian, karena walaupun bintang-bintang itu kelihatannya beredar mengelilingi bumi dilihat dari bumi ini, bintang-bintang itu jaraknya tidak berubah-ubah antara satu dengan yang lain di atas bola langit. Persangkaan orang Yunani Kuno bintang-bintang tetap itu elekat pada bola langit. Bintang-bintang yang melekat itu dibawa oleh bola langit mengelilingi bumi. Ada pula yang disebut dengan planet. Istilah ini diambil dari bahasa Yunani yang berarti musafir. Mengapa disebut musafir, oleh karena persepsi mereka bintang-bintang jenis planet itu tidak melekat pada bola langit, melainkan mempunyai garis edar sendiri-sendiri di antara bumi dengan bola langit. Dengan demkian planet itu bergerak/bergeser terhadap bintang-bintang tetap itu. Dilihat dari segi gerak ini maka baik matahari maupun bulan tergolong dalam planet, oleh karena kedua benda langit itu disangka pula oleh orang Yunani kuno terlepas dari bola langit, yang garis edar keduanya juga terletak di antara bumi dengan bola langit. Maka matahari dan bulan pun bergeser terhadap bintang-bintang tetap yang melekat di bola langit itu. Dalam ilmu astronomi walaupun sebenarnya kedua benda langit ini adalah musafir atau planet, keduanya tidak disebut planet, keduanya tetap dengan nama diri masing-masing: matahari dan bulan. Golongan yang ketiga adalah disebut dengan galaxy yaitu gugus bintang-bintang tetap. Ada pula gugus yang lebih besar, yaitu gugus yang anggotanya terdiri atas galaxy dan disebut dengan super-galaxy atau cluster.
Mengapa bintang-bintang itu ada yang tetap letaknya antara satu dengan yang lain, oleh karena belakangan baru ketahuan, yakni setelah berkembangnya ilmu astronomi, bahwa bintang-bintang tetap itu letaknya sangat jauh, dihitung dalam jarak tahun cahaya. Oleh karena jayuhnya itu maka dilihat dari bumi bintang-bintang itu jaraknya tetap antara satu dengan yang lain. Dan untuk itu bintang-bintang tetap itu dapat dijadikan pedoman baik oleh para pelaut, maupun oleh para musafir di padang pasir untuk penentuan arah mmata angin pada waktu malam hari. Lain halnya dengan planet yang musafir itu. Mengapa letaknya tidak tetap antara satu dengan yang lain sehingga dikatakan musafir, oleh karena juga baru belakangan ketahuan, bahwa planet-planet matahari dan bulan letaknya dekat, hanya dalam jarak menit cahaya. Karena dekatnya itu maka gerak relatif benda-benda langit tersebut kentara sekali dilihat dari bumi pada bola langit. Planet-planet termasuk bumi, matahari dan bulan yang merupakan satelit bumi, membentuk sebuah sistem yang disebut tata-surya, dengan matahari menjadi pusat sistem.
Dengan berkembangnya ilmu astronomi ditambah pula lagi dengan penggunaan instrumen yang canggih-canggih yang menopang ilmu astronomi itu utamanya teropong bintang dan kamera untuk membuat foto, maka penggunaan istilah bintang tetap itu sudah tidak dapat dipertahankan lagi. Paham geosentrik yaitu anggapan bumi ini sebagai pusat alam menurut anstronomi mutakhir itu tidak benar.
Bulan mengorbit bumi, bumi berpusing pada sumbunya dan di samping itu bersama-sama dengan planet-planet lain mengorbit matahari sebagai pusat tata-surya. Matahari bersama-sama bintang tetap yang jutaan jumlahnya jutaan mengorbit pusat galaxy Milky Way. Maka jelaslah penamaan bintang tetap sudah tidak benar lagi untuk bintang-bintang yang jauh, yang jaraknya dalam tahunan cahaya itu.
Itu alasan yang pertama. Alasan yang kedua ialah hasil foto bintang-bintang tetap itu dilihat dari bumi pada bola langit dengan instrumen yang sudah canggih, hanya dalam jangka waktu tahunan sudah dapat dilihat bahwa letak bintang-bintang tetap itu tidak tetap lagi jaraknya.
Maka dalam ilmu astronomi perlu membongkar peristilahan tentang nama jenis bintang-bintang. Dalam Seri 007 telah kita janjikan untuk membahas istilah planet, supaya diganti dengan istilah "kawkab", yang diambil dari Al Qura^an, artinya janji dalam eri 007 telah kita tunaikan dalam Seri 084 ini. Peristilahan itu tentu tidak dapat lagi mempergunakan gerak sebagai dasar penamaan jenis bintang. Lalu mempergunakan kriteria apa sebagai dasar pemberian istilah tentang klasifikasi bintang-bintang itu. Syari'at Islam memberikan petunjuk untuk kriteria sebagai dasar klasifikasi bintang-bintang itu. Dalam Al Quran bintang-bintang dibedakan dalam tiga jenis: kawkabun, bentuk jama'nya kawakibun, najmun, bentuk jama'nya nujuwmun dan buruwjun. Adapun kawkabun adalah jenis bintang-bintang yang letaknya dekat dengan bummi, seperti dalam S. Ashshaffat 6: Inna zayyanna ssama-a ddunya bizienati lkawakibi, sesungguhnya Kuhiasi langit yang dekat dunia dengan hiasan kawakib. Kemudian dalam S. An Nur dijelaskan bahwa kawkabun itu tidak mempunyai cahaya sendiri, ia bercahaya karena memantulkan cahaya dari sebuah sumber cahaya. Dengarlah firman Allah dalam S. An Nur 35: Al mishbahu fie zujajatin azzujjatu kaannaha-kawkabun, pelita di tengah kaca dan kaca itu ibarat kawkabun. Ayat itu menggambarkan sebuah pelita yang dikelilingi gelas. Maka tentu permukaan gelas itu memantulkan cahaya pelita, seperti kawkabun yang permukaannya memantulkan cahaya matahari. Jadi bagi bintang-bintang yang menjadi anggota tata-surya dasar pemberian istilah nama jenis itu seharusnya seperti yang diberikan oleh Al Quran: bintang-bintang itu dekat dan tidak mempunyai cahaya sendiri, cahaya yang diperlihatkannya bukan cahaya sendiri melainkan cahaya pantulan dari cahaya matahari. Bahwa bumi bercahaya juga yaitu cahaya pantulan dapat kita lihat di televisi hasil pemotretan dari pesawat ulang-alik. Maka istilah planet atau musafir yang sudah tidak cocok lagi dengan fakta bahwa semua bintang-bintang itu adalah musafir, sudah seharusnyalah diganti dengan istilah kawkab.
Bagaimana dengan istilah bintang tetap? Itupun harus diganti dengan istilah yang dasar penamaan jenis bintang ini menurut Al Quran, yaitu bintang-bintang jenis ini jauh sehingga dapat dipakai sebagai pedoman dalam menentukan arah mata angin, seperti dalam S. Al An'am 97: Wa huwa lladzie ja'ala lakumu nnujuwmu litahtaduw biha fie zhulumati lbirri walbahri, Dan Dialah yang menjadikan bagimu nujum untuk menjadi pedoman dengannya dalam kegelapan malam baik di darat maupun di laut. Dan juga dasar pemberian istilah bintang jenis ini diberikan pula oleh Al Quran dari segi keadaan bintang itu yakni panas menyala. Allah berfirman dalam S. Ath Thariq: An najmu tstsaqib, najmun itu panas meyala, ibarat suluh api atau obor yanng menyala, sebagai fimanNya: Syihabun tsaqib, obor yang menyala. Maka seharusnyalah istilah bintang tetap (fixed star, vaste ster) diganti dengan istilah najmun.
Maka kriteria yang menjadi dasar klasifikasi menurut Syari'at Islam ialah jarak dan keadaan fisik bintang-bintang itu. Tegasnya planet diganti dengan kawkabun yang jaraknya dekat, keadaan fisiknya seperti gelas yang memantulkan cahaya. Bintang tetap (fixed star) diganti dengan najmun yang letaknya jauh, keadaan fisiknya cemerlang, menyala, mempunyai sumber panas sendiri seperti obor. Akan halnya istilah gugus bintang dengan nama jenis galaxy yang dalam bahasa Al Quran disebut buruwjun, tidak ada permasalahan. Boleh tetap dipakai galaxy, namun tentu lebih elok jika memakai istilah Al Quran yaitu buruwjun. WaLlahu a'lamu bishshawab.
*** Makassar, 20 Juni 1993
13 Juni 1993
[+/-] |
083. Menghimbau Kepada Kebaikan, Menyuruh yang Ma'ruf dan Mencegah yang Mungkar |
Judul di atas itu adalah terjemahan dari S. Ali 'Imran 104: ....yad'uwna ila lkhayri wa ya^muruwna bi lma'ruwfi wa yanhawna 'ani lmunkari ....
Menghimbau atau mengajak di satu pihak dengan menyuruh dan mencegah di lain pihak mempunyai perbedaan yang menyolok. Kalau yang dihadapi di luar jalur kontrol kita, maka kita tidak dapat menyurhnya ataupun mencegahnya. Kita hanya dapat menyuruh ataupun mencegah seseorang apabila dia itu di dalam jalur kontrol kita. Contohnya si Ali yang bupati dalam kedudukannya sebagai bupati dapat memerintah ataupun menyuruh si Alwi yang camat dalam urusan pemerintahan, oleh karena si Alwi yang camat berada dalam garis komando si Ali yang bupati. Akan tetapi si Ali yang sama tidak dapat memerintah si Alwi dalam hal pergi memancing ikan, karena dalam hal ini si Alwi sebagai individu tidak lagi berada dalam jalur kontrol si Ali sebagai individu. Maka sebagai individu si Ali paling-paling hanya dapat mengajak ataupun menghimbau si Alwi sebagai seorang individu untuk pergi memancing.
Saya teringat suatu kejadian satu generasi sebelum saya, seorang muballigh datang kepada seorang gallarang yang peminum yang sedang minum. Muballigh tersebut langsung melarang si gallarang minum tuak. "Hai tuan gallarang jangan minum tuak, itu haram", muballigh melarang. "Apa nukana (apa katamu)", bentak sang gallarang, "he Anu alleanga' ballo' siguci (bawa kemari seguci tuak)". Kemudian tuak seguci itu dituangkan ke tubuh sang muballigh. "He, ini mandilah tuak". Ada pula seorang imam kalau ia mendapat laporan di sebuah tempat ada pattujuang, maksudnya pesta minum tuak, yang istilah sekarang tuak party, sang imam mendatangi tempat itu lalu menantang mereka: "Inai rewa anrinni (siapa yang berani melawan di sini)". Dan kalau jagonya peminum ada yang berani, sang imam yang juga jago silat, dalam tempo yang singkat, namun sengit, segera dapat melumpuhkan si jago tuak. Setelah pertarungan itu selesai, sang imam baru mengeluarkan perintah melarang minum minuman keras itu.
Pada kasus yang pertama, sang muballigh seharusnya mengaplikasikan fungsionalisasi ajaran Islam itu dengan cara menghimbau. Untuk itu ada metodenya menurut Al Quran:
Ud'u ila- sabiyli rabbika bi lhikmati wa lmaw'idzati lhasanati wa jadiluhum billatiy hiya ahsan, himbaulah ke dalam jalan Maha Pengaturmu dengan bijak dan informasi yang jelas dan berdiskusilah dengan mereka itu dengan sebaik-baiknya.
Sedangkan pada kasus yang kedua, sang imam lebih dahulu menanamkan wibawa untuk meletakkan para peminum itu di bawah jalur kontrol sang imam. Sesudah jalur kontrol itu diperolehnya barulah ia melarang minum tuak. Jadi sang imam dalam rangka fungsionalisasi ajaran Islam ia memakai jalur nahie munkar mencegah kemungkaran, dengan mekanisme pertarungan fisik.
Maka menyeru kepada kebaikan itu dihadapkan kepada mereka yang diluar jalur kontrol, dengan metode da'wah: bijak, informasi yang baik dan diskusi. Sedangkan menyuruh yang ma'ruf utamanya mencegah yang mungkar haruslah diciptakan jalur kontrol terlebih dahulu, tegasnya penting adanya mekanisme yang menutup kesempatan berbuat curang. Ibarat mekanisme berupa tudung saji untuk melindungi makanan atau sajian dari terkaman kucing. Jadi fungsionalisasi ajaran Islam itu haruslah berupa gabungan antara memperbaiki niat manusia dengan yad'uwna ila lkhayr, dan mekanisme untuk menutup kesempatan dalam rangka nahi mungkar, oleh karena berbuat jahat itu penyebabnya adalah kombinasi antara niat yang jahat dan kesempatan yang terbuka lebar.
Baru-baru ini timbul heboh akademik tentang jual-menjual skripsi, katakanlah heboh plagiat akademik. Untuk mencegah kemungkaran ini dalam tubuh organisasi Lembaga Perguruan Tinggi perlu adanya mekanisme pada ujung tombak organisasi yaitu jurusan. Apa yang saya kemukakan ini, yaitu mekanisme untuk mencegah kemungkaran plagiat akademik, bukanlah suatu imajinasi. Mekanisme ini telah bertahun-tahun dipakai di Unhas maupun di UMI. Mekanisme itu dalam tahap awal adalah seminar judul. Judul yang telah disetujui oleh pembimbing diseminarkan. Tujuannya agar supaya tidak tejadi duplikasi skripsi. Mekanisme selanjutnya adalah seminar skripsi. Tujuan seminar utamanya adalah untuk mengetahui apakah mahasiswa betul-betul melakukan penelitian sesuai apa yang ditentukan dalam seminar judul. Yang lebih utama apakah ia menguasai materi skripsi. Dalam seminar isi skripsi ini akan kentara betul jika mahasiswa itu dibuatkan oleh orang lain. ekanisme terakhir tentulah seperti pada Lembaga Perguruan Tinggi lainnya adalah ujian meja. Mudah-mudahan mekanisme ini dapat diaplikasikan pula pada Perguruan Tinggi yang lain, sehingga kemungkaran plagiat akademik dapat diperkecil sekecil-kecilnya, insya Allah. WaLla-hu a'lamu bishshawab.
*** Makassar, 13 Juni 1993
6 Juni 1993
[+/-] |
082. Apologi |
Secara gampangnya apologi adalah suatu sikap dan gairah membela apa yang kita yakini dalam bentuk lisan maupun tulisan. Maka posisi para apolog itu selalu dalam keadaan yang defensif. Seperti misalnya pada waktu santernya beberapa tahun lalu isu modernisasi para apolog serentak dan serempak berucap dan menulis bahwa Islam itu adalah agama yang modern. Pada waktu Neil Armsrong menginjakkan kakinya di bulan, para apolog berlomba-lomba mangutip dan membacakan S. Ar Rahman 33:
Ya ma'syara ljinni walinsi inistata'um an tanfudzuw min aqtha-ri ssama-wa-ti wa l.ardhi fan fudzuw la tanfuzuwna illa- bi sultha-n. Hai para jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus penjuru-penjuru langit dan bumi, maka tembuslah, namun kamu tidak akan mampu menembusnya kecuali dengan kekuatan.
Kita tidak mengatakan bahwa sikap yang apologi itu tidak wajar. Yang tidak wajar ialah apabila Al Quran diletakkan di bawah perisiwa kemajuan ilmu pengetahuan maupun isu kemasyarakatan. Kalau orang bicara tentang akselerasi modernisasi lalu kita terus mengatakan bahwa Islam itu modern, bukankah itu sikap apologi yang tidak wajar? Tidakkah itu menunjukkan bahwa para pembela itu kuatir jangan sampai ada tanggapan bahwa Islam atau lebih tepat Al Quran itu jangan-jangan ketinggalan zaman, tidak modern? Bukankan itu berarti para pembela itu meletakkan Al Quran di bawah isu modernisasi? Demikian pula jika para apolog itu mengemukakan S. Ar Rahman 33 tentang peristiwa kemajuan Ipek dengan maksud untuk membela diri dari keterbelakangannya dalam bidang Ipek, karena kuatir jangan-jangan ada tanggapan bahwa keterbelakangan ummat Islam karena ajaran Al Quran, bukankah itu berarti menempatkan Al Quran dibawah peristiwa kemajuan Iptek?
Sikap apologi yang wajar tidak ada salahnya. Yang bagaimanakah yang disebut wajar itu? Pertama adalah membela salah pengertian terhadap pemahaman Al Quran, baik yang datang dari kalangan ummat Islam sendiri, maupun utamanya yang berasal dari luar kalangan ummat Islam. Yang kedua, dalam pembelaan itu Al Quran tidak diletakkan di bawah isu apapun juga, karena Al Quran tidak perlu dibela. Yang perlu dibela seperti telah dikatakan dalam yang pertama di atas adalah pemahaman terhadap Al Quran yang keliru.
Sebagai contoh suatu sikap apologi yang wajar, yaitu meletakkan Al Quran di atas isu kemajuan Iptek, kita pun dapat juga mengemukakan S. Ar Rahman 33 yang telah dikutip di atas. Yaitu persyaratan yang dikemukakan dalam akhir ayat illa bi sulthan, persyaratan tentang kekuatan, persyaratan tentang energi, tegasnya persyaratan bahan bakar. Bahwa tema sentral permasalahan dalam mengarungi angkasa luar, maupun menembus ke dalam bumi adalah krisis energi yang melanda peradaban ummat manusia sekarang ini. Maka tentu lebih baik jika persediaan bahan bakar yang sudah menipis itu dipakai saja untuk aktivitas di muka bumi ini. Waktu akhir-akhir ini isu yang dimunculkan adalah produksi, produktif dan produktivias. Maka muncullah pula apolog yang menjuruskan ayat maupun sunnah ke isu produktif. Ada sentilan dari sang apolog untuk membela Al Quran, ingin menunjukkan bahwa Al Quran itu penuh dengan konsep tentang produkivitas. Sang apolog tanpa sadar kuatir jangan-jangan orang menyangka bahwa ajaran Islam itu menjuruskan penganutnya kepada sikap yang konsumtif.
Maka muncullah sebuah gagasan seorang apolog dalam forum seminar di IAIN, bahwa binatang kurban lebih baik diserahkan utuh tanpa disembelih kepada fakir miskin untuk diternakkan dan dikembang-biakkan, supaya produktif. Memang ada pendapat bahwa binatang yang betinapun dapat dikurbankan. Tetapi apakah pendapat ini tidak menyimpang dari suatu qaidah, bahwa yang ritual itu sangat ketat, bahwa semua cara tidak boleh, kecuali apa yang diperintahkan dan dicontohkan? Dan bukankah RasululLah telah mencontohkan bahwa binatang kurban itu dari jenis yang jantan? Jadi kalau jantan mana mungkin dapat dikembang biakkan. Yang jantan hanya dapat sebagai pejantan, dan untuk pejantan mesti diternakkan oleh ahli binatang yang profesional, artinya tidak mungkin dapat dipelihara dengan baik untuk menjadi pejantan oleh seorang miskin yang diberi binatang kurban dengan bulat-bulat. Jadi memang binatang kurban itu untuk tujuan konsumtif, untuk pesta makan. Sekali-sekali orang miskinpun perlu pesta makan yang berdaging. Itu yang pertama, dan yang kedua thema sentral dari upacara kurban adalah kata yang akarnya dibentuk oleh huruf-huruf dzal, ba dan ha, yaitu dzibhun, sembelihan. Jadi binatang itu mesti disembelih untuk dimakan dagingnya, dibuang darahnya. Bahwa upacara kurban itu bukan sesajen (offering) dan bukan pula yang sakral (sacrifice), karena darah itu najis, jauh dari sakral.
Dalam S.Al Hajj 37 Allah berfirman: Lan yana-la Lla-ha luhuwmuha- wa la- dima-uha- wa la-kin yana-luhu ttaqwa- minkum, tidak akan sampai kepada Allah daging-dagingnya dan tidak pula arah-darahnya, melainkan yang sampai ke padaNya adalah ketqwaan kamu.
Jadi memang binatang kurban itu mesti dimakan dagingnya dibuang darahnya, tegasnya untuk yang konsumtif bukan yang produktif. Apa kuatir ada tanggapan orang bahwa ajaran Islam itu tidak mengandung segi yang produktif? Tidak usah kuatir! Tanpa apologi, orang yang belajar Islam dengan jujur akan melihat bahwa ajaran Islam itu, Al Quran dan Sunnah, mengandung ajaran tentang produksi, produktivitas dan produktif, di samping juga ada yang mengandung segi konsumtif, berpesta yang wajar dua kali setahun, 'Iydu lFihri pesta yang intinya makan kolhidrat dan 'Iydu lAdhha-, pesta yang intinya protein.
Pesta makan daging itu pada 'Iydu lAdhha- itu terselip apologi yang meletakkan Al Quran di atas isu ekonmi, yaitu pesta 'Iydu lAdhha- itu menciptakan pasar bagi peternak kccil-kecil. Tetapi itu hanya dapat dijamin dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Bahwa dalam pesta makan daging pada 'Iydu lAdhha-, peternak keci-kecilan itu diprioritaskan oleh peraturan perundang-undangan untuk menjual hewan sembelihan itu. Bahwa untuk itu itu hendaklah dihayati betul-betul bahwa Piagam Jakarta itu menjiwai UUD-1945, menurut Dekrit 5 Juli 1959. Bahwa penghayatan itu hanya mungkin, jika kita tidak alergi pada Piagam Jakarta. WaLlahu a'lamu bishshawab.
*** Makassar, 6 Juni 1993