6 Juni 1993

082. Apologi

Secara gampangnya apologi adalah suatu sikap dan gairah membela apa yang kita yakini dalam bentuk lisan maupun tulisan. Maka posisi para apolog itu selalu dalam keadaan yang defensif. Seperti misalnya pada waktu santernya beberapa tahun lalu isu modernisasi para apolog serentak dan serempak berucap dan menulis bahwa Islam itu adalah agama yang modern. Pada waktu Neil Armsrong menginjakkan kakinya di bulan, para apolog berlomba-lomba mangutip dan membacakan S. Ar Rahman 33:
Ya ma'syara ljinni walinsi inistata'um an tanfudzuw min aqtha-ri ssama-wa-ti wa l.ardhi fan fudzuw la tanfuzuwna illa- bi sultha-n. Hai para jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus penjuru-penjuru langit dan bumi, maka tembuslah, namun kamu tidak akan mampu menembusnya kecuali dengan kekuatan.

Kita tidak mengatakan bahwa sikap yang apologi itu tidak wajar. Yang tidak wajar ialah apabila Al Quran diletakkan di bawah perisiwa kemajuan ilmu pengetahuan maupun isu kemasyarakatan. Kalau orang bicara tentang akselerasi modernisasi lalu kita terus mengatakan bahwa Islam itu modern, bukankah itu sikap apologi yang tidak wajar? Tidakkah itu menunjukkan bahwa para pembela itu kuatir jangan sampai ada tanggapan bahwa Islam atau lebih tepat Al Quran itu jangan-jangan ketinggalan zaman, tidak modern? Bukankan itu berarti para pembela itu meletakkan Al Quran di bawah isu modernisasi? Demikian pula jika para apolog itu mengemukakan S. Ar Rahman 33 tentang peristiwa kemajuan Ipek dengan maksud untuk membela diri dari keterbelakangannya dalam bidang Ipek, karena kuatir jangan-jangan ada tanggapan bahwa keterbelakangan ummat Islam karena ajaran Al Quran, bukankah itu berarti menempatkan Al Quran dibawah peristiwa kemajuan Iptek?

Sikap apologi yang wajar tidak ada salahnya. Yang bagaimanakah yang disebut wajar itu? Pertama adalah membela salah pengertian terhadap pemahaman Al Quran, baik yang datang dari kalangan ummat Islam sendiri, maupun utamanya yang berasal dari luar kalangan ummat Islam. Yang kedua, dalam pembelaan itu Al Quran tidak diletakkan di bawah isu apapun juga, karena Al Quran tidak perlu dibela. Yang perlu dibela seperti telah dikatakan dalam yang pertama di atas adalah pemahaman terhadap Al Quran yang keliru.

Sebagai contoh suatu sikap apologi yang wajar, yaitu meletakkan Al Quran di atas isu kemajuan Iptek, kita pun dapat juga mengemukakan S. Ar Rahman 33 yang telah dikutip di atas. Yaitu persyaratan yang dikemukakan dalam akhir ayat illa bi sulthan, persyaratan tentang kekuatan, persyaratan tentang energi, tegasnya persyaratan bahan bakar. Bahwa tema sentral permasalahan dalam mengarungi angkasa luar, maupun menembus ke dalam bumi adalah krisis energi yang melanda peradaban ummat manusia sekarang ini. Maka tentu lebih baik jika persediaan bahan bakar yang sudah menipis itu dipakai saja untuk aktivitas di muka bumi ini. Waktu akhir-akhir ini isu yang dimunculkan adalah produksi, produktif dan produktivias. Maka muncullah pula apolog yang menjuruskan ayat maupun sunnah ke isu produktif. Ada sentilan dari sang apolog untuk membela Al Quran, ingin menunjukkan bahwa Al Quran itu penuh dengan konsep tentang produkivitas. Sang apolog tanpa sadar kuatir jangan-jangan orang menyangka bahwa ajaran Islam itu menjuruskan penganutnya kepada sikap yang konsumtif.

Maka muncullah sebuah gagasan seorang apolog dalam forum seminar di IAIN, bahwa binatang kurban lebih baik diserahkan utuh tanpa disembelih kepada fakir miskin untuk diternakkan dan dikembang-biakkan, supaya produktif. Memang ada pendapat bahwa binatang yang betinapun dapat dikurbankan. Tetapi apakah pendapat ini tidak menyimpang dari suatu qaidah, bahwa yang ritual itu sangat ketat, bahwa semua cara tidak boleh, kecuali apa yang diperintahkan dan dicontohkan? Dan bukankah RasululLah telah mencontohkan bahwa binatang kurban itu dari jenis yang jantan? Jadi kalau jantan mana mungkin dapat dikembang biakkan. Yang jantan hanya dapat sebagai pejantan, dan untuk pejantan mesti diternakkan oleh ahli binatang yang profesional, artinya tidak mungkin dapat dipelihara dengan baik untuk menjadi pejantan oleh seorang miskin yang diberi binatang kurban dengan bulat-bulat. Jadi memang binatang kurban itu untuk tujuan konsumtif, untuk pesta makan. Sekali-sekali orang miskinpun perlu pesta makan yang berdaging. Itu yang pertama, dan yang kedua thema sentral dari upacara kurban adalah kata yang akarnya dibentuk oleh huruf-huruf dzal, ba dan ha, yaitu dzibhun, sembelihan. Jadi binatang itu mesti disembelih untuk dimakan dagingnya, dibuang darahnya. Bahwa upacara kurban itu bukan sesajen (offering) dan bukan pula yang sakral (sacrifice), karena darah itu najis, jauh dari sakral.

Dalam S.Al Hajj 37 Allah berfirman: Lan yana-la Lla-ha luhuwmuha- wa la- dima-uha- wa la-kin yana-luhu ttaqwa- minkum, tidak akan sampai kepada Allah daging-dagingnya dan tidak pula arah-darahnya, melainkan yang sampai ke padaNya adalah ketqwaan kamu.

Jadi memang binatang kurban itu mesti dimakan dagingnya dibuang darahnya, tegasnya untuk yang konsumtif bukan yang produktif. Apa kuatir ada tanggapan orang bahwa ajaran Islam itu tidak mengandung segi yang produktif? Tidak usah kuatir! Tanpa apologi, orang yang belajar Islam dengan jujur akan melihat bahwa ajaran Islam itu, Al Quran dan Sunnah, mengandung ajaran tentang produksi, produktivitas dan produktif, di samping juga ada yang mengandung segi konsumtif, berpesta yang wajar dua kali setahun, 'Iydu lFihri pesta yang intinya makan kolhidrat dan 'Iydu lAdhha-, pesta yang intinya protein.

Pesta makan daging itu pada 'Iydu lAdhha- itu terselip apologi yang meletakkan Al Quran di atas isu ekonmi, yaitu pesta 'Iydu lAdhha- itu menciptakan pasar bagi peternak kccil-kecil. Tetapi itu hanya dapat dijamin dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Bahwa dalam pesta makan daging pada 'Iydu lAdhha-, peternak keci-kecilan itu diprioritaskan oleh peraturan perundang-undangan untuk menjual hewan sembelihan itu. Bahwa untuk itu itu hendaklah dihayati betul-betul bahwa Piagam Jakarta itu menjiwai UUD-1945, menurut Dekrit 5 Juli 1959. Bahwa penghayatan itu hanya mungkin, jika kita tidak alergi pada Piagam Jakarta. WaLlahu a'lamu bishshawab.

*** Makassar, 6 Juni 1993