Seri ini sesungguhnya masih lanjutan dari Seri 437, yaitu dalam hal sosialisasi Piagam Jakarta. Supaya ada kesinambungan akan dikutip bagian awal dari paragaraf akhir dari Seri 437. Masuknya 7 kata dalam Pasal 29 menimbulkan sikap pro dan kontra dalam kalangan ummat Islam sendiri, bahkan ditanggapi secara emosional. Untuk menghindarkan hal ini perlu sosialisasi Piagam Jakarta secara intensif. Pada waktu Orde Baru kebebasan mengeluarkan pendapat terpasung. AlhamduliLah Presiden Habibie berhasil melepaskan pasungan itu, sehingga orang bebas mengeluarkan pendapat. Dalam alam demokrasi sekarang ini orang sudah leluasa mensosialisasikan Piagam Jakarta.
Tap MPRS No.XX/MPRS/1966, yang telah dikukuhkan oleh Tap MPR No.V/MPR/1973, telah menetapkan Dekrit 5 Juli 1960 sebagai sumber hukum, di samping sumber-sumber hukum yang lain seperti Proklamasi 1945, UUD-1945 dan seterusnya. Dekrit 5 Juli 1960 tersebut menyatakan Piagam Jakarta menjiwai UUD-1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan UUD-1945. Jadi secara konstitusional bukanlah hal yang "aneh", jika ke-7 kata dari Piagam Jakarta dijabarkan secara konkrit dalam Pasal 29 Batang Tubuh UUD-1945. Bahkan yang "aneh" adalah adanya anggota Kaigun yang menyebabkan ke-7 kata itu dicoret/dikeluarkan dari alinea ke-4 Piagam Jakarta yang disahkan menjadi Pembukaan UUD-1945 dalam sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945. Seperti telah dijelaskan dalam Seri 437 yang lalu, keanehan anggota Kaigun itu spb: pada 17 Agustus 1945 petang hari itu juga sudah ada anggota Kaigun di Jakarta yang membawa aspirasi mencoret 7 kata dari kawasan Indonesia bagian timur, yang pada waktu itu alat komunikasi dan transportasi tidak secanggih sekarang ini.
Dalam kalangan ummat Islam sendiri ada yang begitu khawatir, apabila Kewajiban Menjalankan Syari'at Islam bagi Pemeluk-Pemeluknya masuk ke dalam Pasal 29 Batang Tubuh UUD-1945, situasi akan menjadi runyam dalam kalangan ummat Islam sendiri dalam menetapkan hukum agama bagi pemeluk-pemeluknya, oleh beragamnya aliran fiqh yang ada. Ini adalah antara lain tanggapan dalam kalangan ummat Islam sendiri yang "terpelajar" yang kontra ke-7 kata dari Piagam Jakarta dimasukkan ke dalam Batang Tubuh UUD-1945, Pasal 29. Kalau dalam kalangan yang "terpelajar" sudah demikian pendapatnya, apatah pula bagi kalangan awwam, lebih-lebih pula dalam kalangan yang non-Muslim.
Syari'at berbeda dengan fiqh. Kedua kata itu adalah bahasa AL Quran. Syari'at dalam arti luas adalah aqidah, jalannya hukum dan akhlaq, sedangkan fiqh bermakna kecerdasan dalam memikirkan, mempelajari, atau menyadari jalannya hukum. Mengenai pengertian syari'at, demikianlah Firman Allah SWT: TSM J'ALNK 'ALY SYRY'AT MN ALAMR FATB'AHA WLA TTB'A AHWA^ ALDZYN LA Y'ALMWN (S. ALJATSYT, 18), dibaca: tsumma ja'alna-ka 'ala- syari-'atim minal amri fattabi'ha- wala- tattabi' ahwa-al ladzi-na la- ya'lamu-n (s. alja-tsiyah), artinya: kemudian Kami jadikan engkau (hai Muhammad) atas syari'at di antara urusan, maka ikutilah syari'at itu dan janganlah engkau turut hawa-nafsu orang-orang yang tidak berilmu (45:18). Sedangkan mengenai pengertian fiqh, Allah SWT berfirman: WMA KAN ALMW^MNWN LYNFRWA KAFT FLWLA NFR MN KL FRQT MNHM THA^FT LYTFQHWA FY ALDYN WLYNDZRWA QWMHM ADZA RJ'AWA ALYHM L'ALHM YHDZRWN (S ALTWBT, 122), dibaca: wama- ka-nal mu'minu-na liyanfiru- ka-ffatan falawla- nafara ming kulli firqatim minhum tha-ifatal liyatafaqqahu- fid di-ni waliyundziru- idza- rajau- ilayhim la'allahum yahdzuru-n (s. attaubah), artinya: tidaklah patut orang-orang beriman keluar semuanya (ke medan perang), mengapakah tidak sebagian di antara mereka yang tinggal berfiqh (memahami) addin (syari'at) dan memberi peringatan kepada kaumnya, supaya mereka itu waspada (9:22). (S. Attaubah ini ayat-ayatnya banyak mengemukakan tentang situasi perang). Dari kedua ayat di atas itu jelas bahwa syari'at antara lain ialah ketentuan hukum menurut Al Quran, para penegak syari'at tidak diperbolehkan mengikuti hawa-nafsu/pendapat orang-orang yang tidak berilmu. Sedangkan fiqh berhubungan dengan pemikiran tentang syari'at itu bagaimana diaplikasikan sesuai dengan kondisi masyarakat. Itulah sebabnya dalam menentukan hukum Imam Syafi'i berbeda waktu di Baghdad, yang dikenal dengan qawlulqadim (kata-kata terdahulu), dengan pada waktu di Qahirah (Cairo), yang dikenal dengan qawluljadid (kata-kata terkemudian).
Sebuah contoh populer yang sering dikemukakan: si Fulan meminjam sebuah barang dari si Fulanah, lalu dihilangkan oleh si Fulan. Menurut syari'at, si Fulan wajib menebus barang si Fulanah yang dihilangkannya itu, sebab Firman Allah: .....FAN AMN B'ADHKM B'ADHA FLYW^D ALDZY AW^TMN AMANTH WLYTQ ALLH RBH .....(S. ALBQRT, 283), dibaca: fain amina ba'dhukum ba'dhan falyuaddil ladzi' tumina ama-natahu- walyattaqiLla-ha rabbahu- (s. albaqarah) ,artinya: jika seorang dari kamu mempercayai orang lain (dengan meminjamkan sesuatu barang), maka hendaklah orang yang diserahi amanat itu menunaikan amanat (barang yang dipinjamkan) padanya dan hendaklah ia takut kepada Allah, Maha Pengaturnya (2:283). Begitulah menurut hukum syari'at, namun timbul pertanyaan, bagaimana caranya menebus barang yang dihilangkan si Fulan itu. Pemikiran tentang bagaimana cara menebus barang itu, itulah fiqh. Mazhab Hanafi berpendapat, tebuslah barang itu dengan harga tatkala barang itu dipinjam. Mazhab Hambali berpendapat tebuslah barang itu menurut harga tatkala barang itu ditebus. Menurut Mazhab Syafi'i, tebuslah barang itu dengan harga yang paling menguntungkan bagi yang empunya barang.
Jadi dari contoh yang sederhana tersebut jelaslah, bahwa kewajiban menebus barang yang dihilangkan adalah urusan hukum syari'at, sedangkan bagaimana cara menebusnya adalah urusan fiqh. Ketentuan syari'at tidak boleh dimusyawarakan, namun dalam wawasan fiqh dapat dimusyawarakan. Maka tidak usahlah ummat Islam menjadi alergi dengan ke-7 kata itu, sehingga sangat khawatir situasi akan menjadi runyam dalam menetapkan ketentuan fiqh, jika ke dalam Batang Tubuh UUD-1945, Pasal 29 dimasukkan ke-7 kata dari Piagam Jakarta. WaLla-hu a'lamu bishshawa-b.
*** Makassar, 27 Agustus 2000
27 Agustus 2000
[+/-] |
438. Syari'at dan Fiqh |
20 Agustus 2000
[+/-] |
437. Piagam Jakarta |
Salah satu hasil Badan Pekerja MPR yang tidak jadi dibahas dalam Sidang Komisi A yang membahas amandemen UUD-1945 adalah penjabaran Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Pembukaan UUD-1945 ke Pasal 29 dalam Batang Tubuh UUD-1945, yaitu memasukkan 7 kata dari Piagam Jakarta: (1)Dengan (2)Kewajiban (3)Menjalankan (4)Syari'at 5)Islam (6)Bagi 7)Pemeluk-pemeluknya.
Piagam Jakarta sesungguhnya dibuat untuk dijadikan Muqaddimah UUD kelak, yang juga sekaligus dipersiapkan untuk dibacakan dalam maklumat (proklamasi) kemerdekaan Indonesia. Itulah sebabnya maka Piagam Jakarta hampir identik dengan Pembukaan UUD-1945, yang perbedaannya hanya terletak dalam dua hal seperti yang akan dijelaskan di bawah. Disebut dengan Piagam Jakarta, karena Muqaddimah UUD yang akan dibacakan dalam maklumat kemerdekaan Indonesia, adalah sebuah piagam yang dibuat di Jakarta pada 22 Juni 1945 oleh Panitia Sembilan yang terdiri dari sembilan orang, yaitu: Ir Soekarno sebagai ketua merangkap anggota, Drs.Moh Hatta, Mr AA Maramis, KH Wahid Hasyim, Abd.Kahar Moedzakkir, Abikoesno Tjokrosoejoso, H.Agoes Salim, Mr Ahmad Soebardjo, Mr Moh.Yamin.
Sebenarnya ke-7 kata itu dalam Piagam Jakarta adalah hasil kompromi. Pada mulanya diusulkan: Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syari'at Islam, dengan pengertian secara implisit hanya diperlakukan bagi orang-orang Islam. Usulan itu dapat dipahami, karena pada 1 Juni 1945 Bung Karno, mempergunakan ungkapan: Ketuhanan yang berkebudayaan, yang diletakkan Bung Karno pada urutan kelima dalam usulan falsafah negara yang akan didirikan kelak. Bung Karno menamakan falsafah negara itu dengan Pancasila yang menurut Bung Karno "dibisikkan" oleh seseorang yang Bung Karno tidak mau sebutkan nama pembisik itu. Sidang Panitia Sembilan dapat menerima usulan itu dengan perbaikan. Yaitu harus ditegaskan secara eksplisit: bagi pemeluk-pemeluknya. Sebab dikuatirkan tanpa penambahan ketiga kata itu akan dapat membuahkan dua implikasi, yaitu pertama, dapat ditafsirkan salah sehingga orang-orang non-Islam tentu merasa was-was, dan kedua lembaga-lembaga milik negara juga harus menurut Syari'at Islam.
Piagam Jakarta yang dipersiapkan untuk dibacakan dalam maklumat kemerdekaan Indonesia urung dilaksanakan, karena sejarah berkata lain. Bung Karno dan Bung Hatta pada 15 Agustus 1945 larut malam diciduk oleh pemuda ke Rengas Dengklok dan di sana didesak untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Atas jaminan Mr Ahmad Soebardjo kedua pemimpin itu dikembalikan ke Jakarta pada malam 16 Agustus 1945 dengan janji akan memprokla-masikan kemerdekaan Indonesia pada pagi-pagi keesokan harinya 17 Agustus 1945. Karena naskah Piagam Jakarta tidak ditemukan malam itu, berhubung keberangkatan yang tergesa-gesa karena diciduk pada larut malam 15 Agustus itu, maka dibuatlah teks proklamasi berdasarkan ingatan alinea ketiga Piagam Jakarta. Sehingga diambillah bagian kalimat terakhir dari alinea ketiga Piagam Jakarta: rakyat Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaannya. Kata "rakyat Indonesia" diganti dengan "kami bangsa Indonesia". Inilah yang dijadikan bagian pertama dari teks proklamasi. Bung Hatta kemudian mengusulkan tambahan untuk menegaskan status hukum peralihan kekuasaan dan itulah yang menjadi bagian kedua dari teks proklamasi: Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain diselenggarakan dengan cara saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Teks itulah yang dibacakan pada 17 Agustus 1945 jam 10.00 pagi. Karena bukan Piagam Jakarta yang dibaca secara keseluruhan pada waktu proklamasi kemerdekaan, akibatnya ialah Republik Indonesia diproklamasikan tanpa Muaddimah Undang-Undang Dasar, sehingga terjadi kevakuman UUD selama satu hari.
Pada 18 Agusutus 1945 dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), dibahaslah Piagam Jakarta yang dipersiapkan untuk menjadi Muqaddimah Undang-Undang Dasar itu. Seperti diketahui pada 17 Agustus 1945 petang hari seorang Kaigun datang menyampaikan kepada Bung Hatta, bahwa bagian timur Indonesia tidak ikut membela RI yang baru diproklamasikan itu jika ke-7 kata dalam alinea ke-4 itu tidak dicoret. Maka dicoretlah ke-7 kata itu dalam sidang PPKI tersebut dan diganti dengan 3 kata: Yang Maha Esa, maka Piagam Jakarta itu disahkanlah sebagai Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dengan dua perubahan: Muqaddimah diganti dengan Pembukaan dan Ketuhanan dengan Kewajiban Menjalankan Syari'at Islam bagi Pemeluk-pemeluknya diganti dengan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Personel Kaigun ini perlu pembahasan. Pada waktu pendudukan Jepang di Kawasan Timur Indonesia diduduki oleh Kaigun, yaitu pasukan Angkatan Laut, sedangkan Jawa-Sumatera diduduki oleh Rikugun, yaitu pasukan Angkatan Darat Jepang. Tentera Jepang tidak mempunyai khusus Angkatan Udara, jadi masing-masing angkatan itu mempunyai pasukan udara masing-masing. Bahwa kemerdekaan Indonesia akan diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 barulah diketahui oleh kelompok kecil yang ada di Rengas Dengklok pada 16 Agustus 1945 malam hari. Jadi kemerdekaan Indonesia baru diketahui merata di seluruh Indonesia, ialah pada 17 Agustus 1945 itulah. Dan pada 17 Agustus 1945 petang hari itu juga sudah ada Kaigun di Jakarta yang membawa aspirasi mencoret 7 kata dari kawasan Indonesia bagian timur. Proses mengumpulkan aspirasi pada 17 Agustus 1945 di kawasan yang begitu luas, yang pada waktu itu alat komunikasi dan transportasi tidak secanggih sekarang dan cepatnya anggota Kaigun itu tiba di Jakarta pada 17 Agustus 1945 petang hari. Ini yang perlu dipertanyakan, sebab ada kemungkinan personel Kaigun itu adalah Kaigun gadungan dan aspirasi yang disampaikannya hasil rekayasa politik. Pekerjaan rumah bagi para peneliti sejarah!
Masuknya 7 kata dalam Pasal 29 menimbulkan sikap pro dan kontra dalam kalangan ummat Islam sendiri, bahkan ditanggapi secara emosional. Untuk menghindarkan hal ini perlu sosialisasi Piagam Jakarta secara intensif. Pada waktu Orde Baru kebebasan mengeluarkan pendapat terpasung. AlhamduliLah Presiden Habibie berhasil melepaskan pasungan itu, sehingga orang bebas mengeluar-kan pendapat. Dalam alam demokrasi sekarang ini orang sudah leluasa mensosialisasikan Piagam Jakarta. Dengan masuknya 7 kata dalam Pasal 29, maka tidak boleh lagi ada produk peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan Syari'at Islam. Seperti misalnya Pasal 284 KUHP tentang zina yang hanya berupa delik aduan. Orang hanya dapat dijaring dengan pasal tsb., jika suami dari isteri yang berzina ataupun isteri dari suami yang berzina berkeberatan. Akan halnya bujang dengan gadis yang berzina atas suka sama suka, jika si gadis hamil, si bujang tidak dapat dibawa ke dalam sidang pengadilan. Ini sangat bertentangan dengan Syari'at: WLA TQRBWA ALZNY ANH KAN FAHSYT WSA^ SBYLA (S. BNY ISRA^YL, 32), dibaca: wala- taqrabuz zina- innahu- ka-na fa-hisyatan wasa-a babi-la- (s. bani- isra-i-l), artinya: Janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya itu sangat keji dan jalan yang jahat (17:32). WaLla-hu a'lamu bishshawa-b.
*** Makassar, 20 Agusutus 2000
13 Agustus 2000
[+/-] |
436. Serba-Serbi SU(T) MPR |
Ada yang mempertanyakan mengenai cara menulis ungkapan SU(T) MPR dalam seri yang lalu, mengapa huruf T = tahunan ditaruh di antara tanda kurung. Sebabnya ialah belum ada yang baku, artinya (T) dapat dipindah-pindahkan. Apabila Sidang Umum yang disifati dengan sifat tahunan, akan menjadi SU(T) MPR. Namun dapat pula Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat yang disifati dengan sifat tahunan, sehingga menjadi SU MPR(T). Yang jelas tidak benar jika dikebiri dengan menghilangkan U, lalu menjadi ST MPR, karena sidang yang berlangsung secara tahunan itu adalah Sidang Umum, untuk membedakannya dengan Sidang Istimewa.
SU(T) MPR adalah untuk mengevaluasi (menilai) Lembaga-Lembaga Tinggi Negara.Lalu menggelitiklah pertanyaan: Siapakah yang akan menilai Lembaga Tertinggi Negara itu? MPR itu bertanggung-jawab kepada siapa? Jawabannya sederhana. Lembaga itu secara moral (tentu bukan secara struktural) bertanggung-jawab kepada pemilihnya. Jadi secara nafsi-nafsi (individual) semua rakyat pemilih yang menjadi penilai, anda dan saya. Kalau saya menilai SU MPR tahun 1999 setahun yang lalu, lebih dari separuh anggota MPR memakai nilai-ganda. Lebih dari separuh anggota MPR yang menolak pertanggung-jawaban Presiden Habibie. Kalau yang lebih dari separuh itu tidak memakai nilai ganda, maka jumlah anggota MPR yang lebih dari separuh itu akan menolak pula Timor Timur lepas dari Indonesia. Itulah nilai ganda tersebut. Terhadap pertanggung-jawaban Presiden Habibie mereka menolak, tetapi mereka menerima Timor Timur lepas dari Indonesia. Setiap penilaian harus disusul dengan kontrol. Maka kontrol yang menyusul hasil penilaian berupa nilai-ganda itu, ialah mereka yang lebih separuh para anggota MPR (baca: partai-partainya) itu secara moral tidak layak lagi dipilih menjadi anggota MPR dalam Pemilu tahun 2004 yang akan datang.
Dalam Seri 413, tgl 9 Juli 2000 dituliskan: 'Alangkah baiknya jika Gus Dur introspeksi diri mengubah gaya kepemimpinan pesantren "one man show". Mengubah sikapnya yang dibentuk oleh iklim LSM, bersikap "lempar ucap ke sana ke mari" yang kontroversial-kotraproduktif.' Dalam Pandangan Umum fraksi-fraksi, di samping substansi Laporan Kemajuan (progress report) Presiden Abdurrahman Wahid yang mendapat "serangan" karena dinilai hanya bersifat normatif-kualitatif, tidak ada laporan kemajuan (baca: masa lalu 10 bulan), hanya harapan-harapan masa depan, juga gaya kepemimpinan Presiden Abdurrahman disorot dengan sengit, yaitu gaya kepemimpinan yang telah disebutkan dalam Seri 413: "one man show" (dilontarkan pula oleh Fraksi Reformasi) dan gaya lempar ucap yang kontroversial. Rupanya menurut hemat saya Laporan Presiden itu menunjukkan pula "gaya Gus Dur" yang baru diperlihatkan, yaitu memancing-mengarahkan serangan kepada hal yang telah dipersiapkan jawabannya sebelumnya. Ibarat peluru-peluru itu dipancing untuk ditembakkan kepada tumpukan pasir pertahanan. Sengaja hanya menyajikan "lighadin", yang akan datang, sehingga tembakan dengan sengit disasarkan ke arah tumpukan pasir pertahanan "ma- qaddamat", apa yang lalu. Maka dengan mudah Presiden Abdurrahman Wahid menjawab serangan ataupun sorotan para penyorot anggota MPR dalam sidang berikutnya, sehingga utuhlah substansi laporan itu mencakup MA QDMT LGHD (S. ALHSYR, 18), dibaca: ma- qaddamat lighad (s. al hasyr), artinya: apa yang lalu untuk hari esok (59:18).
Sikap akomodatif Presiden Abdurrahman Wahid menunjukkan bahwa dalam waktu-waktu yang akan datang sikap "one man show" itu insya-Allah akan berubah. Indikatornya adalah pernyataan secara resmi dalam forum SU(T) MPR, yaitu Presiden Abdurrahman Wahid dengan tegas menyatakan akan menyerahkan kepada Wakil Presiden tugas pemerintahan sehari-hari. Menurut penegasan Presiden Abdrrahman Wahid kemudian, itu bukanlah pemberian wewenang, melainkan hanya sekadar pemberian tugas, job description, bukan power sharing. Sebagai job description menurut hemat saya maka itu hanya dalam ruang lingkup eksekutif. Artinya tidak perlu dicampuri dari luar oleh legislatif, jadi tidak perlu repot-repot dibuatkan Tap MPR segala. Boleh jadi cukup dibuatkan rekomendasi saja dalam sidang komisi C misalnya. Kabar terakhir yang melegakan Presiden Abdurahman Wahid, yaitu semua fraksi telah setuju tidak akan ada Tap MPR mengenai penugasan itu. Sewajarnya haruslah demikian, tidak usahlah terlalu suuzhzhan (berprasangka buruk) bahwa jangan-jangan Presiden Abdurrahman Wahid akan mangkir kembali. Sebab pernyataan akan memberikan tugas pemerintahan sehari-hari kepada Wakil Presiden dikemukakan secara resmi dalam jawaban tertulis Presiden Abdurrahman Wahid terhadap Pandangan Umum para anggota MPR dalam forum resmi SU(T) MPR yang terhormat. Dengan telah disetujuinya oleh semua fraksi bahwa tidak akan ada Tap MPR mengenai penugasan itu, menunjukkan iklim sejuk dalam kalangan elit politik, yang selama ini dituduh tidak mau rukun itu.
Yang perlu diantisipasi ialah ketidak-sanggupan managerial nanti Wakil Presiden menjalankan tugas pemerintahan sehari-hari, berhubung Megawati Sukarno Puteri dalam berorganisasi (baca: berpartai) tidak berasal dari grass root, tidak merangkak dari bawah ke atas, kehidupan berpartai baru seumur jagung. Kepemimpinannya boleh dikata "karbitan", berhubung Megawati Sukarno Puteri adalah anak sulung proklamator Bung Karno. Maka untuk itu Wakil Presiden harus didampingi oleh seorang menteri yang berfungsi sebagai administrator yang profesional dan berpengalaman serta tinggi integritasnya, apapun namanya menteri itu, menteri pertama kek, perdana menteri kek, menteri koordinator kek. Yang jelas dalam UUD-45 tidak ada juga penegasan tentang jenis-jenis menteri itu secara teperinci. Maka menjadi pertanyaan mengapa pula jika ada menteri pertama dikatakan oleh sementara orang pengamat politik bahwa itu bertentangan dengan konstitusi.
Boleh jadi dengan jawaban Presiden Abdurrahman Wahid dalam SU(T) MPR yang mengatakan bahwa tidaklah pernah secara resmi dan tertulis mengusulkan kepada MPR untuk mencabut Tap MPRS No.XXV/MPRS/1966, merupakan pula indikator bahwa KH Abdurahman Wahid telah menyadari bahwa sebagai Presiden Republik Indonesia bebas berpikir, tetapi sudah tidak bebas mengeluarkan pendapat, tidak seperti Gus Dur semasa di LSM bebas berpikir dan bebas mengeluarkan pendapat. Kita berharap Presiden Abdurrahman untuk masa-masa depan tidak lagi bebas mengeluarkan pendapat yang kontroversial-kontraproduksif, semoga. WaLla-hu a'lamu bishshawa-b.
*** Makassar, 13 Agustus 2000
6 Agustus 2000
[+/-] |
435. Terjemahan yang Berbeda, Tetapi Semuanya Benar |
Besok insya-Allah SU(T)MPR mulai berlangsung. Walaupun ada sementara yang mengkritik bahwa pertemuan keempat tokoh itu adalah pertemuan yang bersifat pribadi "raja-raja Jawa" (Akbar Tanjung diinterpolasi, o bukan e, menjadi raja-Jawa), tidak aspiratif bagi rakyat tanah seberang, tidak mempunyai nilai legalistik formal, namun secara jujur patut diterima akal sehat bahwa pertemuan keempat tokoh yang membuahkan kesepakatan itu, membawa angin sejuk dan segar, utamanya bagi SU(T)MPR. Walaupun masih dibutuhkan pembuktian secara formal tentang pernyataan melalui E-mail dari garis keras Mujahidin Moro yang menamakan diri dengan identitas "Khandaq" (parit) yang bertanggung-jawab atas pemboman di depan gedung Kedutaan Besar Pilipina itu, kita sudah berani untuk mengatakan, bahwa hampir tertepislah sudah sebagian analisis pengamat politik yang menguntai benang merah antara pemboman tersebut dengan SU(T)MPR. Kita ucapkan selamat bermusyawarah dengan hati sejuk dan damai kepada yang terhormat para anggota MPR, walaupun pertukar-pikiran berlangsung dengan sengit. Sekian saja dahulu mengenai SU(T)MPR, dan kita akan membahas substansi yang tetap aktual seperti dinyatakan oleh judul di atas itu.
***
Firman Allah SWT:
-- YKWR ALYL 'ALY ALNHAR WYKWR ALNHAR 'ALY ALYL (ALZMR, 5), dibaca: yukawwirul layla 'alan naha-ri wayukawwirun naha-ra 'alal layli (azzumar, 35:5), artinya ke dalam 3 bahasa:
- He maketh night to succeed day, and He maketh day to succeed night (Mohammed M.Pikthall-USA).
- He makes the night cover the day, and makes the day overtake the night (M.H.Shakir-Iran).
- Hij laat den nacht de dag overdekken en laat den dag de nacht overdekken (M.Muhammad Ali-Pakistan, ke dalam Bahasa Belanda oleh Soedewo).
- Dia memutarkan malam kepada siang dan memutarkan siang kepada malam (Mahmud Junus-Indonesia).
Kembali kepada terjemahan di atas: mengikuti, menutup, menyusul, memutar. Tanpa menyertakan teksnya yang asli, orang orang dalam kalangan negeri-negeri yang berbahasa Inggris akan berdebat dengan sesamanya, karena to cover berbeda artinya dengan to succeed, antara orang Belanda dengan orang Indonesia, sebab overdekken berbeda artinya dengan memutar. Akan tetapi dengan mengikut sertakan teksnya yang asli YKWR, yang berasal dari akar kata KWR, kef, wau, ra, kawwara artinya memutar kain serban di kepala, maka semua terjemahan itu tidak ada yang salah, karena perbedaan itu terletak dalam hal visi yang berbeda, ada yang melihatnya dari segi proses, ada yang melihatnya dari segi luaran (ouput). Yang berorientasi proses akan menterjemahkannya dengan mengikuti (succeed), menyusul (overtake) dan memutar. Bukankah kain serban itu melilit kepala, lilitan pertama diikuti oleh lilitan kedua, ketiga, susul-menyusul? Bukankah kain serban itu memutar keliling kepala? Namun yang berorientasi output akan menterjemahkannya dengan menutup (cover, overdekken). Bukankah outputnya ialah serban itu menutup kepala? Apabila dibawa kepada kenyataan sehari-hari antara malam dengan siang, siang dengan malam, maka terjemahan mengikuti (succeed), menyusul (overtake) adalah terjemahan yang sederhana, gampang difahami orang awwam, yaitu malam dengan siang, siang dengan malam saling mengikuti, susul-menyusul. Namun terjemahan menutup agak sukar difahami orang-orang yang tinggal dekat kattulistiwa, di mana perbedaan lama antara malam dengan siang tidak begitu kentara, karena malam dengan siang hampir sama lamanya. Lain halnya dengan penduduk pada belahan bumi sebelah utara ataupun selatan. Jika matahari sedang di belahan bumi utara, seperti sekarang ini, (pada pelajaran ilmu bumi-alam di Indonesia biasanya di sebut matahari di atas Asia), maka di negeri-negeri Eropah, siang lebih panjang dari malam. Pada waktu posisi matahari di atas Asia seperti sekarang ini, di negeri Belanda misalnya orang groeten (memberi salam), goeden (dibaca khuyen) avond, artinya malam baik, atau selamat malam, padahal matahari masih tinggi di ufuk barat. Artinya dalam rentang waktu selisih jarak-waktu kelebihan siang atas malam, berlakulah siang menutup malam, Hij laat den dag de nacht overdekken.
Seperti kita telah lihat, terjemahan menutup di atas itu dijelaskan dengan memakai ilmu-bantu berupa ilmu bumi-alam, maka terjemahan memutar perlu dibantu oleh ilmu-bantu berupa ilmu falak (astronomi). Setengah bola bumi yang tidak kena sinar matahari menjadi malam, sedangkan setengah bola bumi yang menghadap ke matahari menjadi siang. Malam berganti siang, siang berganti malam, adalah akibat perputaran bumi pada sumbunya. Itulah dia makna: Dia memutarkan malam kepada siang dan memutarkan siang kepada malam. Jadi terjemahan Mahmud Junus menunjukkan kemu'jizatan Al Quran, karena pada waktu Al Quran diturunkan dari Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW, peradaban dan kebudayaan dunia belum mengenal bumi sebagai bola yang berputar pada sumbunya. WaLla-hu a'lamu bishshawa-b.
*** Makassar, 6 Agustus 2000