Seri ini sesungguhnya masih lanjutan dari Seri 437, yaitu dalam hal sosialisasi Piagam Jakarta. Supaya ada kesinambungan akan dikutip bagian awal dari paragaraf akhir dari Seri 437. Masuknya 7 kata dalam Pasal 29 menimbulkan sikap pro dan kontra dalam kalangan ummat Islam sendiri, bahkan ditanggapi secara emosional. Untuk menghindarkan hal ini perlu sosialisasi Piagam Jakarta secara intensif. Pada waktu Orde Baru kebebasan mengeluarkan pendapat terpasung. AlhamduliLah Presiden Habibie berhasil melepaskan pasungan itu, sehingga orang bebas mengeluarkan pendapat. Dalam alam demokrasi sekarang ini orang sudah leluasa mensosialisasikan Piagam Jakarta.
Tap MPRS No.XX/MPRS/1966, yang telah dikukuhkan oleh Tap MPR No.V/MPR/1973, telah menetapkan Dekrit 5 Juli 1960 sebagai sumber hukum, di samping sumber-sumber hukum yang lain seperti Proklamasi 1945, UUD-1945 dan seterusnya. Dekrit 5 Juli 1960 tersebut menyatakan Piagam Jakarta menjiwai UUD-1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan UUD-1945. Jadi secara konstitusional bukanlah hal yang "aneh", jika ke-7 kata dari Piagam Jakarta dijabarkan secara konkrit dalam Pasal 29 Batang Tubuh UUD-1945. Bahkan yang "aneh" adalah adanya anggota Kaigun yang menyebabkan ke-7 kata itu dicoret/dikeluarkan dari alinea ke-4 Piagam Jakarta yang disahkan menjadi Pembukaan UUD-1945 dalam sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945. Seperti telah dijelaskan dalam Seri 437 yang lalu, keanehan anggota Kaigun itu spb: pada 17 Agustus 1945 petang hari itu juga sudah ada anggota Kaigun di Jakarta yang membawa aspirasi mencoret 7 kata dari kawasan Indonesia bagian timur, yang pada waktu itu alat komunikasi dan transportasi tidak secanggih sekarang ini.
Dalam kalangan ummat Islam sendiri ada yang begitu khawatir, apabila Kewajiban Menjalankan Syari'at Islam bagi Pemeluk-Pemeluknya masuk ke dalam Pasal 29 Batang Tubuh UUD-1945, situasi akan menjadi runyam dalam kalangan ummat Islam sendiri dalam menetapkan hukum agama bagi pemeluk-pemeluknya, oleh beragamnya aliran fiqh yang ada. Ini adalah antara lain tanggapan dalam kalangan ummat Islam sendiri yang "terpelajar" yang kontra ke-7 kata dari Piagam Jakarta dimasukkan ke dalam Batang Tubuh UUD-1945, Pasal 29. Kalau dalam kalangan yang "terpelajar" sudah demikian pendapatnya, apatah pula bagi kalangan awwam, lebih-lebih pula dalam kalangan yang non-Muslim.
Syari'at berbeda dengan fiqh. Kedua kata itu adalah bahasa AL Quran. Syari'at dalam arti luas adalah aqidah, jalannya hukum dan akhlaq, sedangkan fiqh bermakna kecerdasan dalam memikirkan, mempelajari, atau menyadari jalannya hukum. Mengenai pengertian syari'at, demikianlah Firman Allah SWT: TSM J'ALNK 'ALY SYRY'AT MN ALAMR FATB'AHA WLA TTB'A AHWA^ ALDZYN LA Y'ALMWN (S. ALJATSYT, 18), dibaca: tsumma ja'alna-ka 'ala- syari-'atim minal amri fattabi'ha- wala- tattabi' ahwa-al ladzi-na la- ya'lamu-n (s. alja-tsiyah), artinya: kemudian Kami jadikan engkau (hai Muhammad) atas syari'at di antara urusan, maka ikutilah syari'at itu dan janganlah engkau turut hawa-nafsu orang-orang yang tidak berilmu (45:18). Sedangkan mengenai pengertian fiqh, Allah SWT berfirman: WMA KAN ALMW^MNWN LYNFRWA KAFT FLWLA NFR MN KL FRQT MNHM THA^FT LYTFQHWA FY ALDYN WLYNDZRWA QWMHM ADZA RJ'AWA ALYHM L'ALHM YHDZRWN (S ALTWBT, 122), dibaca: wama- ka-nal mu'minu-na liyanfiru- ka-ffatan falawla- nafara ming kulli firqatim minhum tha-ifatal liyatafaqqahu- fid di-ni waliyundziru- idza- rajau- ilayhim la'allahum yahdzuru-n (s. attaubah), artinya: tidaklah patut orang-orang beriman keluar semuanya (ke medan perang), mengapakah tidak sebagian di antara mereka yang tinggal berfiqh (memahami) addin (syari'at) dan memberi peringatan kepada kaumnya, supaya mereka itu waspada (9:22). (S. Attaubah ini ayat-ayatnya banyak mengemukakan tentang situasi perang). Dari kedua ayat di atas itu jelas bahwa syari'at antara lain ialah ketentuan hukum menurut Al Quran, para penegak syari'at tidak diperbolehkan mengikuti hawa-nafsu/pendapat orang-orang yang tidak berilmu. Sedangkan fiqh berhubungan dengan pemikiran tentang syari'at itu bagaimana diaplikasikan sesuai dengan kondisi masyarakat. Itulah sebabnya dalam menentukan hukum Imam Syafi'i berbeda waktu di Baghdad, yang dikenal dengan qawlulqadim (kata-kata terdahulu), dengan pada waktu di Qahirah (Cairo), yang dikenal dengan qawluljadid (kata-kata terkemudian).
Sebuah contoh populer yang sering dikemukakan: si Fulan meminjam sebuah barang dari si Fulanah, lalu dihilangkan oleh si Fulan. Menurut syari'at, si Fulan wajib menebus barang si Fulanah yang dihilangkannya itu, sebab Firman Allah: .....FAN AMN B'ADHKM B'ADHA FLYW^D ALDZY AW^TMN AMANTH WLYTQ ALLH RBH .....(S. ALBQRT, 283), dibaca: fain amina ba'dhukum ba'dhan falyuaddil ladzi' tumina ama-natahu- walyattaqiLla-ha rabbahu- (s. albaqarah) ,artinya: jika seorang dari kamu mempercayai orang lain (dengan meminjamkan sesuatu barang), maka hendaklah orang yang diserahi amanat itu menunaikan amanat (barang yang dipinjamkan) padanya dan hendaklah ia takut kepada Allah, Maha Pengaturnya (2:283). Begitulah menurut hukum syari'at, namun timbul pertanyaan, bagaimana caranya menebus barang yang dihilangkan si Fulan itu. Pemikiran tentang bagaimana cara menebus barang itu, itulah fiqh. Mazhab Hanafi berpendapat, tebuslah barang itu dengan harga tatkala barang itu dipinjam. Mazhab Hambali berpendapat tebuslah barang itu menurut harga tatkala barang itu ditebus. Menurut Mazhab Syafi'i, tebuslah barang itu dengan harga yang paling menguntungkan bagi yang empunya barang.
Jadi dari contoh yang sederhana tersebut jelaslah, bahwa kewajiban menebus barang yang dihilangkan adalah urusan hukum syari'at, sedangkan bagaimana cara menebusnya adalah urusan fiqh. Ketentuan syari'at tidak boleh dimusyawarakan, namun dalam wawasan fiqh dapat dimusyawarakan. Maka tidak usahlah ummat Islam menjadi alergi dengan ke-7 kata itu, sehingga sangat khawatir situasi akan menjadi runyam dalam menetapkan ketentuan fiqh, jika ke dalam Batang Tubuh UUD-1945, Pasal 29 dimasukkan ke-7 kata dari Piagam Jakarta. WaLla-hu a'lamu bishshawa-b.
*** Makassar, 27 Agustus 2000