13 Agustus 2000

436. Serba-Serbi SU(T) MPR

Ada yang mempertanyakan mengenai cara menulis ungkapan SU(T) MPR dalam seri yang lalu, mengapa huruf T = tahunan ditaruh di antara tanda kurung. Sebabnya ialah belum ada yang baku, artinya (T) dapat dipindah-pindahkan. Apabila Sidang Umum yang disifati dengan sifat tahunan, akan menjadi SU(T) MPR. Namun dapat pula Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat yang disifati dengan sifat tahunan, sehingga menjadi SU MPR(T). Yang jelas tidak benar jika dikebiri dengan menghilangkan U, lalu menjadi ST MPR, karena sidang yang berlangsung secara tahunan itu adalah Sidang Umum, untuk membedakannya dengan Sidang Istimewa.

SU(T) MPR adalah untuk mengevaluasi (menilai) Lembaga-Lembaga Tinggi Negara.Lalu menggelitiklah pertanyaan: Siapakah yang akan menilai Lembaga Tertinggi Negara itu? MPR itu bertanggung-jawab kepada siapa? Jawabannya sederhana. Lembaga itu secara moral (tentu bukan secara struktural) bertanggung-jawab kepada pemilihnya. Jadi secara nafsi-nafsi (individual) semua rakyat pemilih yang menjadi penilai, anda dan saya. Kalau saya menilai SU MPR tahun 1999 setahun yang lalu, lebih dari separuh anggota MPR memakai nilai-ganda. Lebih dari separuh anggota MPR yang menolak pertanggung-jawaban Presiden Habibie. Kalau yang lebih dari separuh itu tidak memakai nilai ganda, maka jumlah anggota MPR yang lebih dari separuh itu akan menolak pula Timor Timur lepas dari Indonesia. Itulah nilai ganda tersebut. Terhadap pertanggung-jawaban Presiden Habibie mereka menolak, tetapi mereka menerima Timor Timur lepas dari Indonesia. Setiap penilaian harus disusul dengan kontrol. Maka kontrol yang menyusul hasil penilaian berupa nilai-ganda itu, ialah mereka yang lebih separuh para anggota MPR (baca: partai-partainya) itu secara moral tidak layak lagi dipilih menjadi anggota MPR dalam Pemilu tahun 2004 yang akan datang.

Dalam Seri 413, tgl 9 Juli 2000 dituliskan: 'Alangkah baiknya jika Gus Dur introspeksi diri mengubah gaya kepemimpinan pesantren "one man show". Mengubah sikapnya yang dibentuk oleh iklim LSM, bersikap "lempar ucap ke sana ke mari" yang kontroversial-kotraproduktif.' Dalam Pandangan Umum fraksi-fraksi, di samping substansi Laporan Kemajuan (progress report) Presiden Abdurrahman Wahid yang mendapat "serangan" karena dinilai hanya bersifat normatif-kualitatif, tidak ada laporan kemajuan (baca: masa lalu 10 bulan), hanya harapan-harapan masa depan, juga gaya kepemimpinan Presiden Abdurrahman disorot dengan sengit, yaitu gaya kepemimpinan yang telah disebutkan dalam Seri 413: "one man show" (dilontarkan pula oleh Fraksi Reformasi) dan gaya lempar ucap yang kontroversial. Rupanya menurut hemat saya Laporan Presiden itu menunjukkan pula "gaya Gus Dur" yang baru diperlihatkan, yaitu memancing-mengarahkan serangan kepada hal yang telah dipersiapkan jawabannya sebelumnya. Ibarat peluru-peluru itu dipancing untuk ditembakkan kepada tumpukan pasir pertahanan. Sengaja hanya menyajikan "lighadin", yang akan datang, sehingga tembakan dengan sengit disasarkan ke arah tumpukan pasir pertahanan "ma- qaddamat", apa yang lalu. Maka dengan mudah Presiden Abdurrahman Wahid menjawab serangan ataupun sorotan para penyorot anggota MPR dalam sidang berikutnya, sehingga utuhlah substansi laporan itu mencakup MA QDMT LGHD (S. ALHSYR, 18), dibaca: ma- qaddamat lighad (s. al hasyr), artinya: apa yang lalu untuk hari esok (59:18).

Sikap akomodatif Presiden Abdurrahman Wahid menunjukkan bahwa dalam waktu-waktu yang akan datang sikap "one man show" itu insya-Allah akan berubah. Indikatornya adalah pernyataan secara resmi dalam forum SU(T) MPR, yaitu Presiden Abdurrahman Wahid dengan tegas menyatakan akan menyerahkan kepada Wakil Presiden tugas pemerintahan sehari-hari. Menurut penegasan Presiden Abdrrahman Wahid kemudian, itu bukanlah pemberian wewenang, melainkan hanya sekadar pemberian tugas, job description, bukan power sharing. Sebagai job description menurut hemat saya maka itu hanya dalam ruang lingkup eksekutif. Artinya tidak perlu dicampuri dari luar oleh legislatif, jadi tidak perlu repot-repot dibuatkan Tap MPR segala. Boleh jadi cukup dibuatkan rekomendasi saja dalam sidang komisi C misalnya. Kabar terakhir yang melegakan Presiden Abdurahman Wahid, yaitu semua fraksi telah setuju tidak akan ada Tap MPR mengenai penugasan itu. Sewajarnya haruslah demikian, tidak usahlah terlalu suuzhzhan (berprasangka buruk) bahwa jangan-jangan Presiden Abdurrahman Wahid akan mangkir kembali. Sebab pernyataan akan memberikan tugas pemerintahan sehari-hari kepada Wakil Presiden dikemukakan secara resmi dalam jawaban tertulis Presiden Abdurrahman Wahid terhadap Pandangan Umum para anggota MPR dalam forum resmi SU(T) MPR yang terhormat. Dengan telah disetujuinya oleh semua fraksi bahwa tidak akan ada Tap MPR mengenai penugasan itu, menunjukkan iklim sejuk dalam kalangan elit politik, yang selama ini dituduh tidak mau rukun itu.

Yang perlu diantisipasi ialah ketidak-sanggupan managerial nanti Wakil Presiden menjalankan tugas pemerintahan sehari-hari, berhubung Megawati Sukarno Puteri dalam berorganisasi (baca: berpartai) tidak berasal dari grass root, tidak merangkak dari bawah ke atas, kehidupan berpartai baru seumur jagung. Kepemimpinannya boleh dikata "karbitan", berhubung Megawati Sukarno Puteri adalah anak sulung proklamator Bung Karno. Maka untuk itu Wakil Presiden harus didampingi oleh seorang menteri yang berfungsi sebagai administrator yang profesional dan berpengalaman serta tinggi integritasnya, apapun namanya menteri itu, menteri pertama kek, perdana menteri kek, menteri koordinator kek. Yang jelas dalam UUD-45 tidak ada juga penegasan tentang jenis-jenis menteri itu secara teperinci. Maka menjadi pertanyaan mengapa pula jika ada menteri pertama dikatakan oleh sementara orang pengamat politik bahwa itu bertentangan dengan konstitusi.

Boleh jadi dengan jawaban Presiden Abdurrahman Wahid dalam SU(T) MPR yang mengatakan bahwa tidaklah pernah secara resmi dan tertulis mengusulkan kepada MPR untuk mencabut Tap MPRS No.XXV/MPRS/1966, merupakan pula indikator bahwa KH Abdurahman Wahid telah menyadari bahwa sebagai Presiden Republik Indonesia bebas berpikir, tetapi sudah tidak bebas mengeluarkan pendapat, tidak seperti Gus Dur semasa di LSM bebas berpikir dan bebas mengeluarkan pendapat. Kita berharap Presiden Abdurrahman untuk masa-masa depan tidak lagi bebas mengeluarkan pendapat yang kontroversial-kontraproduksif, semoga. WaLla-hu a'lamu bishshawa-b.

*** Makassar, 13 Agustus 2000