Salah satu hasil Badan Pekerja MPR yang tidak jadi dibahas dalam Sidang Komisi A yang membahas amandemen UUD-1945 adalah penjabaran Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Pembukaan UUD-1945 ke Pasal 29 dalam Batang Tubuh UUD-1945, yaitu memasukkan 7 kata dari Piagam Jakarta: (1)Dengan (2)Kewajiban (3)Menjalankan (4)Syari'at 5)Islam (6)Bagi 7)Pemeluk-pemeluknya.
Piagam Jakarta sesungguhnya dibuat untuk dijadikan Muqaddimah UUD kelak, yang juga sekaligus dipersiapkan untuk dibacakan dalam maklumat (proklamasi) kemerdekaan Indonesia. Itulah sebabnya maka Piagam Jakarta hampir identik dengan Pembukaan UUD-1945, yang perbedaannya hanya terletak dalam dua hal seperti yang akan dijelaskan di bawah. Disebut dengan Piagam Jakarta, karena Muqaddimah UUD yang akan dibacakan dalam maklumat kemerdekaan Indonesia, adalah sebuah piagam yang dibuat di Jakarta pada 22 Juni 1945 oleh Panitia Sembilan yang terdiri dari sembilan orang, yaitu: Ir Soekarno sebagai ketua merangkap anggota, Drs.Moh Hatta, Mr AA Maramis, KH Wahid Hasyim, Abd.Kahar Moedzakkir, Abikoesno Tjokrosoejoso, H.Agoes Salim, Mr Ahmad Soebardjo, Mr Moh.Yamin.
Sebenarnya ke-7 kata itu dalam Piagam Jakarta adalah hasil kompromi. Pada mulanya diusulkan: Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syari'at Islam, dengan pengertian secara implisit hanya diperlakukan bagi orang-orang Islam. Usulan itu dapat dipahami, karena pada 1 Juni 1945 Bung Karno, mempergunakan ungkapan: Ketuhanan yang berkebudayaan, yang diletakkan Bung Karno pada urutan kelima dalam usulan falsafah negara yang akan didirikan kelak. Bung Karno menamakan falsafah negara itu dengan Pancasila yang menurut Bung Karno "dibisikkan" oleh seseorang yang Bung Karno tidak mau sebutkan nama pembisik itu. Sidang Panitia Sembilan dapat menerima usulan itu dengan perbaikan. Yaitu harus ditegaskan secara eksplisit: bagi pemeluk-pemeluknya. Sebab dikuatirkan tanpa penambahan ketiga kata itu akan dapat membuahkan dua implikasi, yaitu pertama, dapat ditafsirkan salah sehingga orang-orang non-Islam tentu merasa was-was, dan kedua lembaga-lembaga milik negara juga harus menurut Syari'at Islam.
Piagam Jakarta yang dipersiapkan untuk dibacakan dalam maklumat kemerdekaan Indonesia urung dilaksanakan, karena sejarah berkata lain. Bung Karno dan Bung Hatta pada 15 Agustus 1945 larut malam diciduk oleh pemuda ke Rengas Dengklok dan di sana didesak untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Atas jaminan Mr Ahmad Soebardjo kedua pemimpin itu dikembalikan ke Jakarta pada malam 16 Agustus 1945 dengan janji akan memprokla-masikan kemerdekaan Indonesia pada pagi-pagi keesokan harinya 17 Agustus 1945. Karena naskah Piagam Jakarta tidak ditemukan malam itu, berhubung keberangkatan yang tergesa-gesa karena diciduk pada larut malam 15 Agustus itu, maka dibuatlah teks proklamasi berdasarkan ingatan alinea ketiga Piagam Jakarta. Sehingga diambillah bagian kalimat terakhir dari alinea ketiga Piagam Jakarta: rakyat Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaannya. Kata "rakyat Indonesia" diganti dengan "kami bangsa Indonesia". Inilah yang dijadikan bagian pertama dari teks proklamasi. Bung Hatta kemudian mengusulkan tambahan untuk menegaskan status hukum peralihan kekuasaan dan itulah yang menjadi bagian kedua dari teks proklamasi: Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain diselenggarakan dengan cara saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Teks itulah yang dibacakan pada 17 Agustus 1945 jam 10.00 pagi. Karena bukan Piagam Jakarta yang dibaca secara keseluruhan pada waktu proklamasi kemerdekaan, akibatnya ialah Republik Indonesia diproklamasikan tanpa Muaddimah Undang-Undang Dasar, sehingga terjadi kevakuman UUD selama satu hari.
Pada 18 Agusutus 1945 dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), dibahaslah Piagam Jakarta yang dipersiapkan untuk menjadi Muqaddimah Undang-Undang Dasar itu. Seperti diketahui pada 17 Agustus 1945 petang hari seorang Kaigun datang menyampaikan kepada Bung Hatta, bahwa bagian timur Indonesia tidak ikut membela RI yang baru diproklamasikan itu jika ke-7 kata dalam alinea ke-4 itu tidak dicoret. Maka dicoretlah ke-7 kata itu dalam sidang PPKI tersebut dan diganti dengan 3 kata: Yang Maha Esa, maka Piagam Jakarta itu disahkanlah sebagai Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dengan dua perubahan: Muqaddimah diganti dengan Pembukaan dan Ketuhanan dengan Kewajiban Menjalankan Syari'at Islam bagi Pemeluk-pemeluknya diganti dengan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Personel Kaigun ini perlu pembahasan. Pada waktu pendudukan Jepang di Kawasan Timur Indonesia diduduki oleh Kaigun, yaitu pasukan Angkatan Laut, sedangkan Jawa-Sumatera diduduki oleh Rikugun, yaitu pasukan Angkatan Darat Jepang. Tentera Jepang tidak mempunyai khusus Angkatan Udara, jadi masing-masing angkatan itu mempunyai pasukan udara masing-masing. Bahwa kemerdekaan Indonesia akan diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 barulah diketahui oleh kelompok kecil yang ada di Rengas Dengklok pada 16 Agustus 1945 malam hari. Jadi kemerdekaan Indonesia baru diketahui merata di seluruh Indonesia, ialah pada 17 Agustus 1945 itulah. Dan pada 17 Agustus 1945 petang hari itu juga sudah ada Kaigun di Jakarta yang membawa aspirasi mencoret 7 kata dari kawasan Indonesia bagian timur. Proses mengumpulkan aspirasi pada 17 Agustus 1945 di kawasan yang begitu luas, yang pada waktu itu alat komunikasi dan transportasi tidak secanggih sekarang dan cepatnya anggota Kaigun itu tiba di Jakarta pada 17 Agustus 1945 petang hari. Ini yang perlu dipertanyakan, sebab ada kemungkinan personel Kaigun itu adalah Kaigun gadungan dan aspirasi yang disampaikannya hasil rekayasa politik. Pekerjaan rumah bagi para peneliti sejarah!
Masuknya 7 kata dalam Pasal 29 menimbulkan sikap pro dan kontra dalam kalangan ummat Islam sendiri, bahkan ditanggapi secara emosional. Untuk menghindarkan hal ini perlu sosialisasi Piagam Jakarta secara intensif. Pada waktu Orde Baru kebebasan mengeluarkan pendapat terpasung. AlhamduliLah Presiden Habibie berhasil melepaskan pasungan itu, sehingga orang bebas mengeluar-kan pendapat. Dalam alam demokrasi sekarang ini orang sudah leluasa mensosialisasikan Piagam Jakarta. Dengan masuknya 7 kata dalam Pasal 29, maka tidak boleh lagi ada produk peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan Syari'at Islam. Seperti misalnya Pasal 284 KUHP tentang zina yang hanya berupa delik aduan. Orang hanya dapat dijaring dengan pasal tsb., jika suami dari isteri yang berzina ataupun isteri dari suami yang berzina berkeberatan. Akan halnya bujang dengan gadis yang berzina atas suka sama suka, jika si gadis hamil, si bujang tidak dapat dibawa ke dalam sidang pengadilan. Ini sangat bertentangan dengan Syari'at: WLA TQRBWA ALZNY ANH KAN FAHSYT WSA^ SBYLA (S. BNY ISRA^YL, 32), dibaca: wala- taqrabuz zina- innahu- ka-na fa-hisyatan wasa-a babi-la- (s. bani- isra-i-l), artinya: Janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya itu sangat keji dan jalan yang jahat (17:32). WaLla-hu a'lamu bishshawa-b.
*** Makassar, 20 Agusutus 2000