Tak dapat diragukan bahwa keinginan untuk bebas senantiasa terdapat dalam diri manusia. Kebebasan penghuni Republik ini ibarat air dalam silinder yang ditekan torak Orde Lama dan Orde Baru. Tatkala katup silinder dibuka oleh pemerintahan Habibie, menyemburlah keluar air kebebasan dengan derasnya. Kebebasan yang mengalir deras dalam era reformasi ini ada yang berwujud kebebasan bermoral dan bertanggung-jawab, tetapi ada pula yang berwujud kebebasan yang kebablasan, berkata dan berbuat seenak perutnya. Dilihat dari segi ilmu nafsani kebebasan yang kebablasan ini disebabkan oleh rasa keakuan (well-being) yang geram bercampur dendam kesumat tanpa bertumpu pada kebenaran dan realitas, yang diakibatkan oleh tekanan torak Orde Lama dan Orde Baru selama lebih 40 tahun. Penyakit mental ini disebut euphoria. Walaupun belum ada penelitian (tantangan buat LIPI) mengenai hal itu, namun patut diduga bahwa dalam masjarakat lebih banyak yang dihinggapi oleh penyakit euphoria ketimbang penganut kebebasan bermoral dan bertanggung-jawab. Menghilangkan ataupun menyembuhkan penyakit mental ini merupakan suatu keniscayaan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Secara umum kebebasan ini berupa kebebasan dari kungkungan dan kesukaran. Yaitu kebebasan berpendapat dan berkumpul, kebebasan untuk mendapatkan keadilan dan rasa keadilan (baca: diperlakukan sama dengan yang lain), kebebasan memberikan dan mendapatkan informasi, kebebasan bertempat tinggal dan berusaha mencari nafkah, kebebasan dari kemelaratan, penyakit dan rasa takut, kebebasan dari bahaya-bahaya: narkoba, kejahatan seks, percabulan, perkosaan, penganiayaan, perampokan, pencurian, dan macam-macam, dan yang terakhir namun terpenting kebebasan beragama dalam arti membumikan nilai-nilai agama dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dikatakan terpenting oleh karena kebebasan beragama dalam arti membumikan nilai-nilai agama adalah kebebasan yang sebenar-benarnya, kebebasan yang hakiki, yang dengan itu orang hidup dan mempertahankan hidup. Dengan kebebasan yang hakiki ini akan berdampak terwujudnya semua jenis kebebasan yang disebutkan sebelumnya.
Kebebasan yang hakiki mengangkat sisi "kemanusian", sedangkan kebebasan yang kebablasan mengangkat sisi "kebinatangan" di dalam diri kita, yang sudah sepantasnya disembelih seperti menyembelih binatang qurban setiap tahun. Artinya diharapkan setiap hari raya 'IydulAdhha membawa bekas menghapus sifat kebinatangan serta mengangkat sisi kemanusiaan dalam jiwa kita. Kebebasan yang mengangkat sisi kemanusiaan akan menghasilkan masyarakat yang beradab, sedangkan kebebasan yang mengangkat sisi kebinatangan akan menghasilkan khaos, berlakunya hukum rimba, atau hukum laut, yang kuat memangsa yang lemah, saling makan seperti ikan, assikanre juku', nakana Mangkasaraka, sianre bale naseng Ugiqe. Kebebasan baru dapat dinikmati masyarakat, hanya jika anggota masyarakat tunduk pada kebenaran. Jika tidak demikian, maka akan menjerumuskan anggota masyarakat menjadi budak dirinya sendiri. Nabi 'Isa AS berkata bahwa kebenaran niscaya membuat kamu bebas, "truth shall make you free" (John 8:32). LA ALH ALA ALLH, dibaca: la- ila-ha illaLla-h, artinya tiada tuhan selain Allah, bagian dari kalimah syahadatain, rukun Islam yang pertama adalah merupakan asas formula tentang kebebasan yang hakiki. Dengan pengakuan tiada tuhan selain Allah, rasa dan rasio kita terbebas dari mempertuhankan isme-isme, faham-faham, konsep-konsep sistem yang bertentangan dengan Kebenaran wahyu yang bersumber dari Allah SWT.
Seperti misalnya rasa kita akan terbebas dari perbudakan aliran-aliran kesenian yang menjauhkan batin kita dari Allah SWT. Seperti misalnya rasio kita akan terbebas dari perbudakan faham Karl Marx dan Sigmund Freud. Menurut Marx manusia itu diikat oleh lingkungannya, moral manusia ditentukan oleh kondisi perekonomian di sekitarnya. Menurut Freud Id yang ada dalam alam bawah sadar diisi oleh tenaga psikis (psychic energy) yang disebut "lbido" yang berkarakteristik seksual. Semua kehandalan kultural manusia, seperti seni, hukum, agama dll dimotori oleh libido. Jadi jika digabungkan spekulasi Marx dengan Freud sempurnalah manusia itu sebagai budak, ya budak eksternal (baca: kondisi perekonomian), ya budak internal (baca: libido). Dengan pengakuan bahwa tiada tuhan selain Allah, orang (utamanya kaum intelektual) nicaya terbebas dari perbudakan pemikiran spekulatif Marx dan Freud yang menganggap kondisi perekonomian dan libido yang berkarakteristik seksual sebagai tuhan.
(Sehubungan dengan Karl Marx ini, saya akan mengoreksi tulisan Suapri Giffari dalam tulisannya yang berjudul: Pesan Karl Marx untuk Gus Dur, dalam Harian Fajar pada halaman Opini, edisi Jum'at, 24 Maret 2000. Giffari menulis bahwa Karl Marx turut memicu Revolusi Perancis. Itu tidak benar, sebab Revolusi Perancis meletus tahun 1789 M., sedangkan Karl Marx baru lahir dalam tahun 1818 dan mati dalam tahun 1883 M.).
Al Quran mengajarkan kepada kita tentang kebebasan dari prasangka yang bernuansa ras, warna kulit dan kasta (baca: status sosial). Firman Allah SWT:
-- YAYHA ALNAS ANA KHLQNKM MN DZKR WA ANTSA WJ'ALNKM SY'UBA WQBA^L LT'AARFWA AN AKRMKM 'AND ALLH ATQAKM (S. ALHJRAT, 13), dibaca: ya-ayyuhan na-su inna- khalaqna-kum min dzakariw wauntsa- wa ja'alna-kum syu-'u-baw wa qaba-ila lita'a-rafu- inna akramakum 'indaLla-hi atqa-kum (al hujura-t), artinya: hai manusia, sesungguhnya Kami ciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan, dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu berkenal-kenalan, sesungguhnya yang termulia di antara kamu di sisi Allah, ialah yang lebih taqwa (49:13). WaLlahu A'lamu bi Al Shawa-b
*** Makassar, 26 Maret 2000
26 Maret 2000
[+/-] |
416. Kebebasan |
19 Maret 2000
[+/-] |
415. Qurban Dalam Konteks Nilai Ekonomis dan Nilai Sosiologis |
Dalam Seri 414 yang baru lalu telah dibicarakan qurban dalam konteks nilai ruhaniyah (spiritual): taqarrub (mendekatkan batin kita) kepada Allah SWT, menapak tilas secara ruhaniyah Nabi Ibrahim AS dalam hal ketaqwaan. Maka dalam seri ini dibicarakan tentang qurban dalam konteks nilai ekonomis dan nilai sosiologis, khususnya dipertajam dalam hal produktif versus konsumtif.
Dalam berbincang-bincang dengan pirsawan di layar kaca RCTI menanti siaran langsung shalat 'IydulAdhha di Al Masjid Al Haram, seorang pirsawan dengan nada risau mengemukakan bahwa di Mina lebih banyak daging hewan hasil sembelihan ketimbang yang mengkonsumsinya, yang dijawab oleh (kalau tidak salah) al ustadz KH Anwar Sanusi bahwa dahulu barangkali memang demikian, namun sekarang Pemerintah Arab Saudi membekukan daging ternak sembelihan itu lalu dimasukkan ke dalam container kemudian dikirim ke negara-negara yang miskin seperti Bangaldesh dan beberapa negara di Afrika. Hal ini memancing diskusi kecil-kecilan yang substansinya seperti disebutkan di atas: qurban dalam konteks nilai ekonomis dan nilai sosiologis, khususnya dipertajam dalam hal produktif versus konsumtif.
Sikap saya dalam diskusi kecil-kecilan seperti pengamat, tidak aktif bermain. Sikap saya sebagai pengamat bukan tanpa alasan. Ini suatu kesempatan bagi saya untuk mendapatkan materi bahasan untuk mengisi kolom ini.
Pendapat yang pertama menginginkan agar hewan qurban itu mempunyai nilai ekonomis. Karena darah dan daging hewan itu tidak akan sampai kepada Allah, buat apa disembelih. Daripada dagingnya diberikan kepada fakir miskin secara konsumtif, lebih baik hewan qurban itu diberikan kepada mereka itu untuk diternakkan supaya produktif dan membuka lapangan kerja. Ini disanggah bahwa hewan qurban itu jantan, sehingga tidak dapat beranak, jadi tidak produktif. Sanggahan ini dijawab bahwa sepanjang pengetahuannya tidak ada nash yang jelas-jelas melarang hewan qurban yang betina. Kebiasaan memilih hewan jantan untuk qurban, karena alasan teknis saja, yaitu sebaiknya jantan karena akan dipotong, sayang kalau betina yang akan dipotong berhubung dapat beranak.
Pendapat yang kedua mengatakan bahwa masih ada yang lebih penting dari nilai ekonomis, yaitu kepentingan komunikasi sosial dalam konteks ikatan batin antara yang memberi dengan yang diberi barang yang secara langsung dapat dimanfaatkan. Lagipula memberikan hewan sapi untuk diternakkan tidak dapat diberikan kepada satu orang saja, sebab tidak cukup sapi untuk satiap orang mendapatkan seekor sapi. Sehingga untuk seekor sapi harus diberikan kepada beberapa orang untuk menternakkannya bersama-sama. Ini mengandung potensi untuk konflik di belakang hari. Jadi hewan qurban itu mesti disembelih, itu sudah bagus menurut visi komunikasi sosial.
Arkian, kini tiba gilirannya saya mengemukakan buah pikiran. Tentu saja saya harus konsisten dengan thema kolom ini: Wahyu dan akal, iman dan ilmu. Wahyu dikemukakan dahulu, kemudian baru akal. Iman dikemukakan dahulu, baru kemudian ilmu. Akal berlandaskan wahyu, serta ilmu berlandaskan iman.
Firman Allah:
-- FSHL LRBK WANHR (S. ALKWTSR, 2), dibaca: fashalli lirabbika wan har (s. alkawtsar), artinya: maka shalatlah bagi Maha Pemeliharamu dan sembelihlah.
-- FADZA WJBT JNWBHA FKLWA MNHA WATH'AMWA ALQAN'A WALM'ATR (S. ALHJ, 36), dibaca: faidza- wajabat junu-buha- fakulu- minha- wath'imul qa-ni'a wal mu'tar, artinya: apabila telah rebah badannya (hewan sembelihan), maka makanlah sebagian darinya dan beri makanlah orang yang tidak meminta dan orang yang meminta.
Kedua ayat itu menegaskan dengan jelas bahwa hewan qurban itu harus disembelih, artinya tidak boleh dibiarkan hidup untuk diternakkan.
Kedua ayat itu kita tambah pula dengan Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Bara': QAL ALNBY SHL'AM AN AWL MA NBDA^ BH FY YWMNA HDZA NSHLY TSM NRJ'A FNNHR, dibaca: qa-lan nabiyyu saw inna awwala ma- nabda-u fi- yawmina- ha-dza- nushalli- tsumma narji'u fananhar, artinya: pertama-tama yang kita lakukan pada hari ini shalat, kemudian kita kembali, lalu menyembelih (hewan qurban).
Apakah dengan menyembelih hewan itu tidak mempunyai nilai ekonomis? Apabila itu hanya dilihat dari segi berproduksi saja, tentu tidaklah mempunyai nilai eknomis. Akan tetapi jika dilihat dari segi pasar, maka itu sangat mempunyai nilai ekonomis. Produksi saja tanpa pasar tidak ada gunanya. Bahkan tidak kurang dalam kegiatan ekonomi harus memperluas bahkan kalau perlu menciptakan pasar. Allah SWT telah menciptakan pasar bagi kita dalam bulan Dzulhijjah setiap tahun. Melalui kredit usaha tani (KUT), yang tentu saja harus bersih dari polusi LSM 'plat merah', para petani (baca: peternak) dapatlah berternak sapi, kambing dan biri-biri khusus "diproduksi" untuk dipasarkan sekali setahun, selama empat hari, 10, 11, 12 dan 13 Dzulhijjah.
Alhasil dengan visi yang demikian, yaitu menyembelih hewan qurban setiap tahun sebagai pasar bagi para peternak kecil-kecilan, maka qurban itu sekali-gus mempunyai nilai ekonomis, nilai sosiologis dan tidak bertentangan dengan nash. WaLlahu A'lamu bi Al Shawa-b.
*** Makassar, 19 Maret 2000
12 Maret 2000
[+/-] |
414. Qurban dan KAM |
Dalam bulan DzulHijjah ini tanggal 8 (Selasa), 9 (Rabu), 10 (Kamis), 11, 12 dan 13 (Jum'at, Sabtu dan Ahad), adalah hari-hari yang penting.
Pada 8 DzulHijjah disebut YawmulTarwiyah, hari melepas dahaga. Pada hari itu Nabi Muhammad SAW dan rombongan tatkala menuju ke padang 'Arafah berhenti melepas dahaga di Mina (terkadang disebut juga Muna).
Pada 9 DzulHijjah disebut Yawmul'Arafah, hari 'Arafah. Pada hari itu ummat Islam yang berhaji wuquf (berhenti) di 'Arafah, dan inilah inti 'ibadah haji, al hajju bi'arafah, haji itu dengan 'Arafah.
Pada 10 DzulHijjah di Mina ummat Islam yang berhaji melempar JamratulAqabah dan mereka yang sempat pergi ke Makkah untuk shalat 'IydulAdhha. Pada 10 DzulHijjah itu ummat Islam seluruh dunia melaksanakan shalat 'IydulAdhha. Hari raya ini disebut pula 'IydunNahr, juga disebut 'IydulQurban. Disebut 'IydulAdhha, hari raya sepenggal matahari naik, karena pada posisi matahari di bola langit seperti itu orang bershalat 'Iyd. Disebut 'IydunNahr, hari raya menyembelih, karena pada hari itu orang mulai menyembelih binatang ternak empat kaki. Disebut 'IydulQurban, karena pada hari itu orang mulai berqurban, baik yang sedang berhaji di Mina, maupun ummat Islam di seluruh dunia.
Dua atau tiga hari sesudahnya, jadi 11, 12 dan 13 DzulHijjah disebut AyyamulTasyriq, ummat Islam yang berhaji berkemah di Mina untuk melempar ketiga jamrah. Pada hari-hari Tasyriq ini masih terdapat kesempatan untuk menyembelih qurban, baik di Mina maupun di seluruh dunia. Di Indonesia hari raya 'IydulQurban disebut lebaran haji, artinya lebaran dalam bulan haji. Karena pada tahun ini kita di Indonesia hari berlebaran haji waktunya sama dengan di Makkah, maka kita di sini menyembelih hewan qurban pada hari Kamis, Jum'at, Sabtu dan Ahad, seperti di Mina.
***
Kata qurban adalah bahasa Al Quran yang dibentuk oleh akar kata yang terdiri dari huruf-huruf: Qaf, Ra, Ba, artinya dekat. Qurban ini telah diserap ke dalam bahasa Indonesia dalam bentuk kurban atau korban. Kurban dan korban dalam rasa bahasa Indonesia sudah menyimpang dari qurban menurut rasa bahasa Al Quran. Kurban dan korban dalam rasa bahasa Indonesia tidak lagi diresapkan maknanya yang asli yaitu dekat. Namun apabila Qaf, Ra, Ba dalam bentuk qarib, yang diserap ke dalam bahasa Indonesia dalam bentuk karib, masih terasa maknanya yang asli: Sahabat karib. Bentuk tafdhil (superlatif) qarib adalah aqrab, juga telah diserap ke dalam bahasa Indonesia dalam bentuk akrab. Juga kata akrab ini masih sangat terasa makna aslinya: Pergaulan yang akrab.
Kata kurban atau korban dalam rasa bahasa Indonesia dipengaruhi oleh rasa bahasa barat: offering, sacrifice (Inggris), slachtoffer (Belanda). Kurban atau korban dirasakan sebagai sesuatu yang suci yang diambil dari diri kita untuk dipersembahkan. Karena sudah terbiasa dan mendarah daging turun-temurun kata kurban dan korban itu dirasakan sebagai suatu persembahan, maka sangat sukar sekali kata kurban dan korban dirasakan sebagai mendekatkan batin kita kepada Allah SWT. Dalam Al Quran dekat dan qurban dirangkaikan: QRBA QRBANA (S. ALMA^DT, 27), dibaca: qarraba- qurba-nan, artinya: keduanya mendekatkan (diri kepada Allah) dengan qurban (5:27).
***
Ajaran Islam terdiri atas sub-sistem: 'aqidah, syari'ah dan akhlaq. Aqidah adalah pokok-pokok keimanan, intinya dalam rukun iman, syari'ah intinya dalam rukun Islam dan akhlaq membuahkan perbuatan kebajikan, yaitu ihsan. Aqidah, syari'ah, akhlaq, ataupun iman, islam, ihsan, ketiga sub-sistem ini terkandung dalam S. Al Fatihah. Ayat 1 s/d 4 menyangkut aqidah/iman, ayat 5 menyangkut syari'ah/islam, dan ayat 6, 7, menyangkut akhlaq/ihsan.
Melaksanakan syaria'h tanpa landasan 'aqidah yang bersih dari tahyul dan khurafat, tidak akan menghasilkan akhlaq yang mulia. Demikianlah, khusus dalam syari'ah berqurban haruslah berlandaskan atas aqidah yang bersih dari pemahaman bahwa binatang qurban itu untuk kendaraan kita di akhiat kelak. Binatang tidak mempunyai ruh jadi tidak mempunyai hari akhirat, bagaimana dapat dijadikan kendaraan. Juga aqidah harus bersih dari rasa bahasa korban menurut rasa bahasa barat: sembelihan (slacht) persembahan (offer) yang sakral (sacrifice) sifatnya.
Firman Allah SWT:
-- LN YNAL ALLH LHWMHA WLA DMA^WHA WLKN YNALH ALTQWY MNKM (S. ALHJ, 37), dibaca: lay yana-lalla-ha luhu-muha- wala- dima-uha- wala-kiy yanuhut taqwa- minkum (s. alhaj), artinya: tidak akan sampai kepada Allah daging-dagingnya dan tidak darah-darahnya, melainkan yang sampai kepadaNya ialah ketaqwaan kamu (22:37).
Alhasil dalam berqurban hendaklah diyakinkan bahwa kita berqurban untuk menapak tilas Nabi Ibrahim AS dalam hal ketaqwaan, yaitu karena taqwanya kepada Allah SWT Nabi Ibrahim AS bersedia dengan ikhlas menyembelih anaknya dan pada pihak yang lain, Isma'il dengan ikhlas pula menyerahkan dirinya untuk disembelih, seperti Firman Allah:
-- FLMA BLGH M'AH ALS'AY QAL YBNY ANY ARY FY ALMNAM ANY ADZBHK FANZHR MADZA TRY QAL YABT AF'AL MA T^WMR STJDNY ANSYA^ ALLH MN ALSHBRYN (S. ASHAFAT, 102), dibaca: falamma- balagha ma'ahus sa'ya qa-la ya-bunayya inni- ara- fil mana-mi anni- adzbahuka fanzhur ma-dza- tara- qa-la ya-abatif 'al ma- tu'maru satajiduni- insya- allah minash sha-biri-n (s. ashsh-ffa-t), artinya: maka tatkala (Isma'il) sanggup bekerja bersamnya (Ibrahim), berkata (Ibrahim), hai anakku sesungguhnya aku lihat dalam tidurku engkau kusembelih, maka perhatikanlah bagaimana pendapatmu, berkata (Isma'il) hai ayahku laksanakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, insya Allah engkau mendapatiku bersikap sabar (37:102).
Kedua ayah dan anak lulus dalam ujian, maka Allah mengganti Isma'il dengan domba.
-- WFDYNH BDZBH 'AZHYM (S. ASHAFAT, 107), dibaca: wafadayna-hu bidzibhin 'azhi-m, artinya: dan Kami ganti ia dengan seekor sembelihan yang besar (37:107).
Penggantian Isma'il dengan binatang sembelihan secara metaforis mempunyai dua makna: pertama, menyembelih sifat kebinatangan dalam diri kita, kedua, kita berkewajiban untuk mencegah supaya kemanusiaan tidak diinjak-injak, dan inilah kewajiban asasi manusia (KAM). WaLlahu A'lamu bi Al Shawa-b.
*** Makassar, 12 Maret 2000
5 Maret 2000
[+/-] |
413. Monyet di Punggung |
Pada penghujung bulan Februari, malam Rabu pertengahan antara maghrib dengan 'isya secara iseng-iseng saya ikut menonton film drama seri Cinta Paulina di TPI. Saya katakan secara iseng-iseng oleh karena saya mempunyai praduga negatif bahwa film itu hanya berkisar di sekitar nuansa kecengengan (seperti lagu-lagu dangdut) dan cinta monyet. Mengapa saya mempunyai praduga yang demikian itu, alasannya ialah penggemar film berseri itu hanya terdiri dari ibu-ibu serta remaja puteri. Ternyata adegan yang saya lihat malam itu menunjukkan bahwa praduga negatif dari saya itu boleh dikatakan meleset.
Apa yang saya saksikan pada malam Rabu itu bukan cinta monyet, melainkan monyet yang lain, yaitu seperti pada judul tersebut di atas itu: monyet di punggung. Seorang guru ataupun dosen, apabila muridnya atau mahasiswanya sedang mengerjakan pekerjaan ujian jangan sekali-kali pergi berdiri di belakang sang murid ataupun mahasiswa. Anak didik itu merasa tidak nyaman dan tidak bebas, menjadi serba salah sehingga tidak dapat berkonsentrasi. Rasa tidak nyaman dan tidak bebas inilah yang diibaratkan seperti ada monyet di punggung.
Kembali pada film seri tersebut. Walaupun yang sempat saya saksikan tidak lebih dari sepuluh menit berhubung sudah keburu waktu shalat 'isya, adegan yang saya tonton itu cukup menarik, karena menyangkut yang aktual, yaitu hak asasi manusia (HAM) dan yang belum aktual, yaitu kewajiban asasi profesi (KAP), sebagai sub-sistem dari Kewajiban Asasi Manusia (KAM). [Sedikit catatan tentang asas. Terjadi hiper korek, asas tak jarang ditulis atau disebutkan azas, kadang-kadang azaz, padahal kata ini berasal dari bahasa Al Quran yang dibentuk oleh huruf-huruf alif, sin, sin, bukan alif, zay, sin, lebih-lebih lagi bukan alif, zay, zay]. Karena didorong oleh tanggung-jawab KAP, maka dalam jiwa sang dokter bergolak untuk memprotes kepala penjara berhubung anggaran untuk peralatan dan obat-obatan dilahap oleh kepala penjara yang sangat korup. Namun pergolakan hanya tinggal pergolakan yang menyesakkan dada, berhubung ia tak mampu mewujudkannya dalam bentuk kata-kata dan perbuatan. Ia mempunyai monyet di punggung dan kepala penjara sangat tahu akan hal itu. Ia sudah tua renta sehingga di luar penjara ia sama sekali tidak dapat membuka praktek lagi, dan karena ia miskin tidak punya apa-apa ia dapat mati kelaparan, dan itulah monyet di punggung sang dokter. Monyet di punggung itu sewaktu-waktu mencakar punggungnya tatkala kepala penjara sewaktu-waktu mengeluarkan ancaman untuk memecatnya jika tampak gelagatnya oleh kepala penjara dokter tua itu cenderung bertingkah menuntut perlengkapan dan obat-obatan sesuai dengan tuntutan profesinya. Demikianlah kepala penjara yang korup itu bertindak melanggar HAM dan KAP, melanggar hak asasi mengeluarkan pendapat menurut tuntutan kewajiban asasi sang dokter. Klimaks terjadi tatkala dokter itu dengan bercermin pada sikap mempertahankan harga diri dari Paulina, berhasil mengusir monyet itu dari punggungnya, tidak takut lagi mati kelaparan. Maka timbullah sikap konsistennya sebagai seorang yang berprofesi dokter, berani melabrak kepala penjara itu habis-habisan. Keadaan menjadi terbalik justru kepala penjara itulah yang akhirnya mempunyai monyet di punggung, yaitu kuatir kecurangannya melahap semua anggaran kesehatan penjara akan dibongkar sang dokter. Semua tuntutan dokter itu diterima oleh kepala penjara, termasuk mengeluarkan Paulina dari dalam kandang macan (baca: sel gelap).
***
Gelagatnya sekarang ini dalam kehidupan bernegara, baik lembaga eksekutif, maupun lembaga independen masing-masing mempunyai monyet di punggung, yaitu IMF dan HAM. Pengurangan subsidi bahan bakar minyak (BBM) dan tarif listrik (TL) yang menyebabkan kenaikan harga BBM dan TL tidak lain karena kuatir jangan-jangan dicakar oleh monyet yang berwujud IMF tersebut. Walaupun ada pemilahan harga BBM dan TL siapa yang masih patut mendapatkan subsidi, siapa yang tidak lagi patut mendapatkan subsidi, namun pada ujung-ujungnya rakyat kebanyakan sebagai konsumen yang akan memetik buah yang pahit. Pabrik-pabrik yang sumber energinya (BBM dan energi listrik) dalam pilahan itu mengalami kenaikan harga, tentu saja dalam kalkulasi biaya produksinya akan ditimpakan kepada konsumen. Yang ironis, bahkan menggelikan yaitu HAM mempunyai monyet berupa HAM pula. Komnas HAM (baca: KPP HAM Tim-Tim) mempunyai monyet di punggungnya berupa pengadilan HAM internasional. KPP HAM kuatir jangan-jangan dicakar punggungnya oleh lembaga internasional itu, sehingga tidak adil dalam melacak sumber informasi. Kedua ekor monyet itulah yang menyebabkan kita bangsa Indonesia kehilangan kedaulatan baik dalam bidang politik maupun ekonomi.
Bahkan ada gelagat bahwa pengangkatan Henry Kisinger yang berdarah Amerika-Yahudi sebagai penasihat pesiden oleh Gus Dur (akrab dengan Lmbaga Yahudi), boleh jadi tidak terlepas dari penyakit monyet di punggung, takut dicakar oleh Amerika melalui IMF. Namun boleh jadi pula berupa umpan Gus Dur sebagai "test case" bagi sebagian besar sikap ummat Islam yang emosional terhadap Yahudi bukan karena masalah Palestina saja, melainkan berakar pada pengkhianatan orang Yahudi terhadap Nabi Muhammad SAW yang mencoba menusuk ummat Islam Madinah dari belakang tatkala perang khandaq (parit). Mudah-mudahan pengangkatan Henry Kisinger tidak mempersulit proses peninjauan kembali kontrak-kerja dengan PT. Freeport, yang sangat merugikan Indonesia.
***
Penyakit ada monyet di punggung, atau penyakit kuatir, atau penyakit jangan-jangan dalam bahasa Al Quran disebut penyakit khauf. Obat penyakit khauf ini adalah Firman Allah yang berikut: AN ALDZYN QALWA RBNA ALLH TSM ASTQAMWA FLA KHWF 'ALYHM WLAHM YHZNWN (S. ALAHQAF, 13), dibaca: innal ladzi-na qa-lu- rabbunaLa-hu tsummas taqa-mu- fala- khawfun 'alayhim wala-hum yahzanu-n (s. al ahqa-f), artinya: sesungguhnya (mereka) yang berkata Maha Pemelihara kami (yaitu) Allah, kemudian konsisten, maka tidak ada khauf atasnya dan tidaklah mereka berduka-cita (46:13). WaLla-hu a'lamu bishshawa-b.
*** Makassar, 5 Maret 2000