19 Maret 2000

415. Qurban Dalam Konteks Nilai Ekonomis dan Nilai Sosiologis

Dalam Seri 414 yang baru lalu telah dibicarakan qurban dalam konteks nilai ruhaniyah (spiritual): taqarrub (mendekatkan batin kita) kepada Allah SWT, menapak tilas secara ruhaniyah Nabi Ibrahim AS dalam hal ketaqwaan. Maka dalam seri ini dibicarakan tentang qurban dalam konteks nilai ekonomis dan nilai sosiologis, khususnya dipertajam dalam hal produktif versus konsumtif.

Dalam berbincang-bincang dengan pirsawan di layar kaca RCTI menanti siaran langsung shalat 'IydulAdhha di Al Masjid Al Haram, seorang pirsawan dengan nada risau mengemukakan bahwa di Mina lebih banyak daging hewan hasil sembelihan ketimbang yang mengkonsumsinya, yang dijawab oleh (kalau tidak salah) al ustadz KH Anwar Sanusi bahwa dahulu barangkali memang demikian, namun sekarang Pemerintah Arab Saudi membekukan daging ternak sembelihan itu lalu dimasukkan ke dalam container kemudian dikirim ke negara-negara yang miskin seperti Bangaldesh dan beberapa negara di Afrika. Hal ini memancing diskusi kecil-kecilan yang substansinya seperti disebutkan di atas: qurban dalam konteks nilai ekonomis dan nilai sosiologis, khususnya dipertajam dalam hal produktif versus konsumtif.

Sikap saya dalam diskusi kecil-kecilan seperti pengamat, tidak aktif bermain. Sikap saya sebagai pengamat bukan tanpa alasan. Ini suatu kesempatan bagi saya untuk mendapatkan materi bahasan untuk mengisi kolom ini.

Pendapat yang pertama menginginkan agar hewan qurban itu mempunyai nilai ekonomis. Karena darah dan daging hewan itu tidak akan sampai kepada Allah, buat apa disembelih. Daripada dagingnya diberikan kepada fakir miskin secara konsumtif, lebih baik hewan qurban itu diberikan kepada mereka itu untuk diternakkan supaya produktif dan membuka lapangan kerja. Ini disanggah bahwa hewan qurban itu jantan, sehingga tidak dapat beranak, jadi tidak produktif. Sanggahan ini dijawab bahwa sepanjang pengetahuannya tidak ada nash yang jelas-jelas melarang hewan qurban yang betina. Kebiasaan memilih hewan jantan untuk qurban, karena alasan teknis saja, yaitu sebaiknya jantan karena akan dipotong, sayang kalau betina yang akan dipotong berhubung dapat beranak.

Pendapat yang kedua mengatakan bahwa masih ada yang lebih penting dari nilai ekonomis, yaitu kepentingan komunikasi sosial dalam konteks ikatan batin antara yang memberi dengan yang diberi barang yang secara langsung dapat dimanfaatkan. Lagipula memberikan hewan sapi untuk diternakkan tidak dapat diberikan kepada satu orang saja, sebab tidak cukup sapi untuk satiap orang mendapatkan seekor sapi. Sehingga untuk seekor sapi harus diberikan kepada beberapa orang untuk menternakkannya bersama-sama. Ini mengandung potensi untuk konflik di belakang hari. Jadi hewan qurban itu mesti disembelih, itu sudah bagus menurut visi komunikasi sosial.

Arkian, kini tiba gilirannya saya mengemukakan buah pikiran. Tentu saja saya harus konsisten dengan thema kolom ini: Wahyu dan akal, iman dan ilmu. Wahyu dikemukakan dahulu, kemudian baru akal. Iman dikemukakan dahulu, baru kemudian ilmu. Akal berlandaskan wahyu, serta ilmu berlandaskan iman.

Firman Allah:
-- FSHL LRBK WANHR (S. ALKWTSR, 2), dibaca: fashalli lirabbika wan har (s. alkawtsar), artinya: maka shalatlah bagi Maha Pemeliharamu dan sembelihlah.
-- FADZA WJBT JNWBHA FKLWA MNHA WATH'AMWA ALQAN'A WALM'ATR (S. ALHJ, 36), dibaca: faidza- wajabat junu-buha- fakulu- minha- wath'imul qa-ni'a wal mu'tar, artinya: apabila telah rebah badannya (hewan sembelihan), maka makanlah sebagian darinya dan beri makanlah orang yang tidak meminta dan orang yang meminta.

Kedua ayat itu menegaskan dengan jelas bahwa hewan qurban itu harus disembelih, artinya tidak boleh dibiarkan hidup untuk diternakkan.
Kedua ayat itu kita tambah pula dengan Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Bara': QAL ALNBY SHL'AM AN AWL MA NBDA^ BH FY YWMNA HDZA NSHLY TSM NRJ'A FNNHR, dibaca: qa-lan nabiyyu saw inna awwala ma- nabda-u fi- yawmina- ha-dza- nushalli- tsumma narji'u fananhar, artinya: pertama-tama yang kita lakukan pada hari ini shalat, kemudian kita kembali, lalu menyembelih (hewan qurban).

Apakah dengan menyembelih hewan itu tidak mempunyai nilai ekonomis? Apabila itu hanya dilihat dari segi berproduksi saja, tentu tidaklah mempunyai nilai eknomis. Akan tetapi jika dilihat dari segi pasar, maka itu sangat mempunyai nilai ekonomis. Produksi saja tanpa pasar tidak ada gunanya. Bahkan tidak kurang dalam kegiatan ekonomi harus memperluas bahkan kalau perlu menciptakan pasar. Allah SWT telah menciptakan pasar bagi kita dalam bulan Dzulhijjah setiap tahun. Melalui kredit usaha tani (KUT), yang tentu saja harus bersih dari polusi LSM 'plat merah', para petani (baca: peternak) dapatlah berternak sapi, kambing dan biri-biri khusus "diproduksi" untuk dipasarkan sekali setahun, selama empat hari, 10, 11, 12 dan 13 Dzulhijjah.

Alhasil dengan visi yang demikian, yaitu menyembelih hewan qurban setiap tahun sebagai pasar bagi para peternak kecil-kecilan, maka qurban itu sekali-gus mempunyai nilai ekonomis, nilai sosiologis dan tidak bertentangan dengan nash. WaLlahu A'lamu bi Al Shawa-b.

*** Makassar, 19 Maret 2000