5 Maret 2000

413. Monyet di Punggung

Pada penghujung bulan Februari, malam Rabu pertengahan antara maghrib dengan 'isya secara iseng-iseng saya ikut menonton film drama seri Cinta Paulina di TPI. Saya katakan secara iseng-iseng oleh karena saya mempunyai praduga negatif bahwa film itu hanya berkisar di sekitar nuansa kecengengan (seperti lagu-lagu dangdut) dan cinta monyet. Mengapa saya mempunyai praduga yang demikian itu, alasannya ialah penggemar film berseri itu hanya terdiri dari ibu-ibu serta remaja puteri. Ternyata adegan yang saya lihat malam itu menunjukkan bahwa praduga negatif dari saya itu boleh dikatakan meleset.

Apa yang saya saksikan pada malam Rabu itu bukan cinta monyet, melainkan monyet yang lain, yaitu seperti pada judul tersebut di atas itu: monyet di punggung. Seorang guru ataupun dosen, apabila muridnya atau mahasiswanya sedang mengerjakan pekerjaan ujian jangan sekali-kali pergi berdiri di belakang sang murid ataupun mahasiswa. Anak didik itu merasa tidak nyaman dan tidak bebas, menjadi serba salah sehingga tidak dapat berkonsentrasi. Rasa tidak nyaman dan tidak bebas inilah yang diibaratkan seperti ada monyet di punggung.

Kembali pada film seri tersebut. Walaupun yang sempat saya saksikan tidak lebih dari sepuluh menit berhubung sudah keburu waktu shalat 'isya, adegan yang saya tonton itu cukup menarik, karena menyangkut yang aktual, yaitu hak asasi manusia (HAM) dan yang belum aktual, yaitu kewajiban asasi profesi (KAP), sebagai sub-sistem dari Kewajiban Asasi Manusia (KAM). [Sedikit catatan tentang asas. Terjadi hiper korek, asas tak jarang ditulis atau disebutkan azas, kadang-kadang azaz, padahal kata ini berasal dari bahasa Al Quran yang dibentuk oleh huruf-huruf alif, sin, sin, bukan alif, zay, sin, lebih-lebih lagi bukan alif, zay, zay]. Karena didorong oleh tanggung-jawab KAP, maka dalam jiwa sang dokter bergolak untuk memprotes kepala penjara berhubung anggaran untuk peralatan dan obat-obatan dilahap oleh kepala penjara yang sangat korup. Namun pergolakan hanya tinggal pergolakan yang menyesakkan dada, berhubung ia tak mampu mewujudkannya dalam bentuk kata-kata dan perbuatan. Ia mempunyai monyet di punggung dan kepala penjara sangat tahu akan hal itu. Ia sudah tua renta sehingga di luar penjara ia sama sekali tidak dapat membuka praktek lagi, dan karena ia miskin tidak punya apa-apa ia dapat mati kelaparan, dan itulah monyet di punggung sang dokter. Monyet di punggung itu sewaktu-waktu mencakar punggungnya tatkala kepala penjara sewaktu-waktu mengeluarkan ancaman untuk memecatnya jika tampak gelagatnya oleh kepala penjara dokter tua itu cenderung bertingkah menuntut perlengkapan dan obat-obatan sesuai dengan tuntutan profesinya. Demikianlah kepala penjara yang korup itu bertindak melanggar HAM dan KAP, melanggar hak asasi mengeluarkan pendapat menurut tuntutan kewajiban asasi sang dokter. Klimaks terjadi tatkala dokter itu dengan bercermin pada sikap mempertahankan harga diri dari Paulina, berhasil mengusir monyet itu dari punggungnya, tidak takut lagi mati kelaparan. Maka timbullah sikap konsistennya sebagai seorang yang berprofesi dokter, berani melabrak kepala penjara itu habis-habisan. Keadaan menjadi terbalik justru kepala penjara itulah yang akhirnya mempunyai monyet di punggung, yaitu kuatir kecurangannya melahap semua anggaran kesehatan penjara akan dibongkar sang dokter. Semua tuntutan dokter itu diterima oleh kepala penjara, termasuk mengeluarkan Paulina dari dalam kandang macan (baca: sel gelap).

***

Gelagatnya sekarang ini dalam kehidupan bernegara, baik lembaga eksekutif, maupun lembaga independen masing-masing mempunyai monyet di punggung, yaitu IMF dan HAM. Pengurangan subsidi bahan bakar minyak (BBM) dan tarif listrik (TL) yang menyebabkan kenaikan harga BBM dan TL tidak lain karena kuatir jangan-jangan dicakar oleh monyet yang berwujud IMF tersebut. Walaupun ada pemilahan harga BBM dan TL siapa yang masih patut mendapatkan subsidi, siapa yang tidak lagi patut mendapatkan subsidi, namun pada ujung-ujungnya rakyat kebanyakan sebagai konsumen yang akan memetik buah yang pahit. Pabrik-pabrik yang sumber energinya (BBM dan energi listrik) dalam pilahan itu mengalami kenaikan harga, tentu saja dalam kalkulasi biaya produksinya akan ditimpakan kepada konsumen. Yang ironis, bahkan menggelikan yaitu HAM mempunyai monyet berupa HAM pula. Komnas HAM (baca: KPP HAM Tim-Tim) mempunyai monyet di punggungnya berupa pengadilan HAM internasional. KPP HAM kuatir jangan-jangan dicakar punggungnya oleh lembaga internasional itu, sehingga tidak adil dalam melacak sumber informasi. Kedua ekor monyet itulah yang menyebabkan kita bangsa Indonesia kehilangan kedaulatan baik dalam bidang politik maupun ekonomi.

Bahkan ada gelagat bahwa pengangkatan Henry Kisinger yang berdarah Amerika-Yahudi sebagai penasihat pesiden oleh Gus Dur (akrab dengan Lmbaga Yahudi), boleh jadi tidak terlepas dari penyakit monyet di punggung, takut dicakar oleh Amerika melalui IMF. Namun boleh jadi pula berupa umpan Gus Dur sebagai "test case" bagi sebagian besar sikap ummat Islam yang emosional terhadap Yahudi bukan karena masalah Palestina saja, melainkan berakar pada pengkhianatan orang Yahudi terhadap Nabi Muhammad SAW yang mencoba menusuk ummat Islam Madinah dari belakang tatkala perang khandaq (parit). Mudah-mudahan pengangkatan Henry Kisinger tidak mempersulit proses peninjauan kembali kontrak-kerja dengan PT. Freeport, yang sangat merugikan Indonesia.

***

Penyakit ada monyet di punggung, atau penyakit kuatir, atau penyakit jangan-jangan dalam bahasa Al Quran disebut penyakit khauf. Obat penyakit khauf ini adalah Firman Allah yang berikut: AN ALDZYN QALWA RBNA ALLH TSM ASTQAMWA FLA KHWF 'ALYHM WLAHM YHZNWN (S. ALAHQAF, 13), dibaca: innal ladzi-na qa-lu- rabbunaLa-hu tsummas taqa-mu- fala- khawfun 'alayhim wala-hum yahzanu-n (s. al ahqa-f), artinya: sesungguhnya (mereka) yang berkata Maha Pemelihara kami (yaitu) Allah, kemudian konsisten, maka tidak ada khauf atasnya dan tidaklah mereka berduka-cita (46:13). WaLla-hu a'lamu bishshawa-b.

*** Makassar, 5 Maret 2000