26 Maret 2000

416. Kebebasan

Tak dapat diragukan bahwa keinginan untuk bebas senantiasa terdapat dalam diri manusia. Kebebasan penghuni Republik ini ibarat air dalam silinder yang ditekan torak Orde Lama dan Orde Baru. Tatkala katup silinder dibuka oleh pemerintahan Habibie, menyemburlah keluar air kebebasan dengan derasnya. Kebebasan yang mengalir deras dalam era reformasi ini ada yang berwujud kebebasan bermoral dan bertanggung-jawab, tetapi ada pula yang berwujud kebebasan yang kebablasan, berkata dan berbuat seenak perutnya. Dilihat dari segi ilmu nafsani kebebasan yang kebablasan ini disebabkan oleh rasa keakuan (well-being) yang geram bercampur dendam kesumat tanpa bertumpu pada kebenaran dan realitas, yang diakibatkan oleh tekanan torak Orde Lama dan Orde Baru selama lebih 40 tahun. Penyakit mental ini disebut euphoria. Walaupun belum ada penelitian (tantangan buat LIPI) mengenai hal itu, namun patut diduga bahwa dalam masjarakat lebih banyak yang dihinggapi oleh penyakit euphoria ketimbang penganut kebebasan bermoral dan bertanggung-jawab. Menghilangkan ataupun menyembuhkan penyakit mental ini merupakan suatu keniscayaan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Secara umum kebebasan ini berupa kebebasan dari kungkungan dan kesukaran. Yaitu kebebasan berpendapat dan berkumpul, kebebasan untuk mendapatkan keadilan dan rasa keadilan (baca: diperlakukan sama dengan yang lain), kebebasan memberikan dan mendapatkan informasi, kebebasan bertempat tinggal dan berusaha mencari nafkah, kebebasan dari kemelaratan, penyakit dan rasa takut, kebebasan dari bahaya-bahaya: narkoba, kejahatan seks, percabulan, perkosaan, penganiayaan, perampokan, pencurian, dan macam-macam, dan yang terakhir namun terpenting kebebasan beragama dalam arti membumikan nilai-nilai agama dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dikatakan terpenting oleh karena kebebasan beragama dalam arti membumikan nilai-nilai agama adalah kebebasan yang sebenar-benarnya, kebebasan yang hakiki, yang dengan itu orang hidup dan mempertahankan hidup. Dengan kebebasan yang hakiki ini akan berdampak terwujudnya semua jenis kebebasan yang disebutkan sebelumnya.

Kebebasan yang hakiki mengangkat sisi "kemanusian", sedangkan kebebasan yang kebablasan mengangkat sisi "kebinatangan" di dalam diri kita, yang sudah sepantasnya disembelih seperti menyembelih binatang qurban setiap tahun. Artinya diharapkan setiap hari raya 'IydulAdhha membawa bekas menghapus sifat kebinatangan serta mengangkat sisi kemanusiaan dalam jiwa kita. Kebebasan yang mengangkat sisi kemanusiaan akan menghasilkan masyarakat yang beradab, sedangkan kebebasan yang mengangkat sisi kebinatangan akan menghasilkan khaos, berlakunya hukum rimba, atau hukum laut, yang kuat memangsa yang lemah, saling makan seperti ikan, assikanre juku', nakana Mangkasaraka, sianre bale naseng Ugiqe. Kebebasan baru dapat dinikmati masyarakat, hanya jika anggota masyarakat tunduk pada kebenaran. Jika tidak demikian, maka akan menjerumuskan anggota masyarakat menjadi budak dirinya sendiri. Nabi 'Isa AS berkata bahwa kebenaran niscaya membuat kamu bebas, "truth shall make you free" (John 8:32). LA ALH ALA ALLH, dibaca: la- ila-ha illaLla-h, artinya tiada tuhan selain Allah, bagian dari kalimah syahadatain, rukun Islam yang pertama adalah merupakan asas formula tentang kebebasan yang hakiki. Dengan pengakuan tiada tuhan selain Allah, rasa dan rasio kita terbebas dari mempertuhankan isme-isme, faham-faham, konsep-konsep sistem yang bertentangan dengan Kebenaran wahyu yang bersumber dari Allah SWT.

Seperti misalnya rasa kita akan terbebas dari perbudakan aliran-aliran kesenian yang menjauhkan batin kita dari Allah SWT. Seperti misalnya rasio kita akan terbebas dari perbudakan faham Karl Marx dan Sigmund Freud. Menurut Marx manusia itu diikat oleh lingkungannya, moral manusia ditentukan oleh kondisi perekonomian di sekitarnya. Menurut Freud Id yang ada dalam alam bawah sadar diisi oleh tenaga psikis (psychic energy) yang disebut "lbido" yang berkarakteristik seksual. Semua kehandalan kultural manusia, seperti seni, hukum, agama dll dimotori oleh libido. Jadi jika digabungkan spekulasi Marx dengan Freud sempurnalah manusia itu sebagai budak, ya budak eksternal (baca: kondisi perekonomian), ya budak internal (baca: libido). Dengan pengakuan bahwa tiada tuhan selain Allah, orang (utamanya kaum intelektual) nicaya terbebas dari perbudakan pemikiran spekulatif Marx dan Freud yang menganggap kondisi perekonomian dan libido yang berkarakteristik seksual sebagai tuhan.

(Sehubungan dengan Karl Marx ini, saya akan mengoreksi tulisan Suapri Giffari dalam tulisannya yang berjudul: Pesan Karl Marx untuk Gus Dur, dalam Harian Fajar pada halaman Opini, edisi Jum'at, 24 Maret 2000. Giffari menulis bahwa Karl Marx turut memicu Revolusi Perancis. Itu tidak benar, sebab Revolusi Perancis meletus tahun 1789 M., sedangkan Karl Marx baru lahir dalam tahun 1818 dan mati dalam tahun 1883 M.).

Al Quran mengajarkan kepada kita tentang kebebasan dari prasangka yang bernuansa ras, warna kulit dan kasta (baca: status sosial). Firman Allah SWT:
-- YAYHA ALNAS ANA KHLQNKM MN DZKR WA ANTSA WJ'ALNKM SY'UBA WQBA^L LT'AARFWA AN AKRMKM 'AND ALLH ATQAKM (S. ALHJRAT, 13), dibaca: ya-ayyuhan na-su inna- khalaqna-kum min dzakariw wauntsa- wa ja'alna-kum syu-'u-baw wa qaba-ila lita'a-rafu- inna akramakum 'indaLla-hi atqa-kum (al hujura-t), artinya: hai manusia, sesungguhnya Kami ciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan, dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu berkenal-kenalan, sesungguhnya yang termulia di antara kamu di sisi Allah, ialah yang lebih taqwa (49:13). WaLlahu A'lamu bi Al Shawa-b

*** Makassar, 26 Maret 2000