Fitnah setelah menjadi kosa kata bahasa Indonesia maknanya sudah menyimpang dari bahasa asalnya yaitu bahasa Al Quran. Menurut bahasa Indonesia memfitnah adalah menuduh seseorang mengatakan atau berbuat yang sesungguhnya orang yang dituduh itu tidak pernah mengatakan ataupun berbuat seperti yang dituduhkan kepadanya. Akan tetapi menurut bahasa Al Quran fitnah bermakna musibah dalam kualitas cobaan, atau teguran keras, ataupun kemurkaan dari Allah SWT. Ketiga ayat di bawah ini menjelaskan kepada kita apa yang dimaksud dengan fitnah itu.
WA'ALMWA ANMA AMWALKM WAWLADKM FTNT WAN ALLH 'ANDH AJR 'AZHYM (S. ALANFAL, 28), dibaca: wa'lamu- annama- amwa-lukum wa awla-dukum fitnah (s. al anfa-l), artinya: Ketahuilah bahwa harta-harta kamu dan anak-anak kamu itu fitnah (8:28).
Dalam ayat (8:28) ini fitnah berarti cobaan dari Allah SWT. Orang tua almarhumah Anni Mujahidah Rasunah (Una) yaitu suami isteri Drs. Jubaedi Saleh dan Dra. Nur Huda Noor mendapat cobaan dari Allah SWT. Dalam tayangan televisi Jubaedi Saleh tampak tegar menerima cobaan itu. Una, anak kesayangan mereka, umur 9 tahun yang telah menghafal 2 juz Al Quran dibantai oleh Benny yang kabarnya penderita Schizophrenia. Menghadapi orang gila semacam itu masyarakat kecil yang bertanggung jawab dalam hal penyakit gila ini kelihatannya terlalu sok (ero' nikana) manusiawi. Mestinya orang gila semacam itu karena tidak dapat dijamin kesembuhannya diisoler saja secara tradisional: dipasung pada batang dedap! Demikian pula sikap sok normatif formalistis tidak boleh menjadi hakim sendiri, sehingga Benny dibawa hidup-hidup ke rumah sakit, tidak membiarkan saja ia mampus diamuk massa, menyebabkan kemarahan massa yang ingin menegakkan siri' na pacce bertambah meluap-luap. Sebenarnya andaikata Benny dibiarkan saja mampus diamuk massa maka prinsip tidak boleh menjadi hakim sendiri sudah terpenuhi juga, karena massa tidak menjadi hakim sendiri melainkan menjadi hakim beramai-ramai. Akhirnya kota Makassar menjadi lautan api.
TKN FTNT FY ALARDH WFSAD KBYR (S. ALANFAL, 73), dibaca: Takun fitnatun fil ardhi wa fasa-dung Kabi-yr (s. al anfa-l), artinya: terjadilah fitnah di bumi dan kerusakan besar (8:73).
Dalam ayat (8:73) ini fitnah berarti peringatan keras dari Allah SWT. Allah telah memberikan peringatan keras dengan menghancurkan klub-klub malam di Jalan Sulawesi, Jalan Nusantara dan di tempat-tempat lain di Kota Makassar ini, melalui tangan-tangan mereka yang bersimpati menegakkan harga diri dan solidaritas (appaenteng siri' siagang pacce) dari suami-isteri yang mendapat cobaan dari Allah SWT itu.
Tempat-tempat hiburan (klub malam) yang dijadikan persyaratan sebuah kota metropolit ataupun megapolit adalah suatu mithos yang menyesatkan ummat. Mithos ini wajib dipupus dari benak para penanggung-jawab pembangunan kota metropolit seperti Kota Makassar ini dan kota-kota lain. Dengan dihancurkannya klub malam di Jalan Sulawesi, Jalan Nusantara dan di tempat-tempat lain maka para penanggung-jawab pembangunan kota perlu ihtisaban, introspeksi. Bahwa hancurnya tempat-tempat maksiyat klub malam yang sesungguhnya tempat pelacuran terselubung tersebut merupakan teguran keras dari Allah SWT, karena telah memberikan perizinan berdirinya tempat-tempat tersebut. Bahwa tanpa klub malam tersebut Kota Makassar tidak akan berkurang nilainya sebagai kota metropolit, dan bahwa tanpa uang setoran pajak dari tempat-tempat maksiyat itu Pemda tidak akan menjadi miskin karenanya, dan tanpa pajak pendapatan dari tempat-tempat maksiyat itu Pemda insya Allah akan dapat menyesuaikan diri dalam pendanaan pembangunan kota, dan bahwa dengan tidak masuknya lagi pajak dari tempat-tempat maksiyat itu kas Pemda akan menjadi bersih dan akan mendapat barakah dari Allah SWT.
ANA J'ALNHA FTNT LLZHALMYN (S. ALSHFT, 63), dibaca: Inna- ja'alna-ha- fitnatal lizhzha-limi-n (s. ashshafa-t), artinya: sesungguhnya Kami jadikan ia (pohon zaqqum) fitnah bagi orang-orang aniaya (37:63). Pohon zaqqum adalah pohon pahit yang tumbuh di dasar neraka.
Dalam ayat ini fitnah berarti kemurkaan atau kutukan dari Allah SWT. Orang-orang aniaya dalam kontex kerusuhan di Kota Makassar ini adalah mereka yang berkolusi baik dari pihak oknum pejabat maupun dari pihak pengusaha non-pribumi yang menyebabkan terjadinya kesenjangan sosial yang selanjutnya menimbulkan kecemburuan sosial.
Sebenarnya secara teori kita bangsa Indonesia telah mempunyai nilai dasar dalam Pembukaan UUD-1945 alinea ke-4 dan nilai instrumen dalam GBHN yang dapat mencegah terjadinya kesenjangan sosial. Yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, dan pemerataan pembangunan dan hasil-hasil pembangunan. Sayangnya nilai praxis tidak jalan karena terjadinya kolusi antara oknum pejabat dengan pengusaha non-pribumi. Maka nilai dasar dan nilai instrumen itu tidak dapat diterjemahkan ke dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, bahkan terjadi sebaliknya dari yang dikehendaki oleh nilai dasar dan nilai instrumen, yaitu terjadinya kesenjangan sosial yang menimbulkan kecemburuan sosial.
Syahdan, marilah kita kaji ayat yang berikut:
WATQWA FTNT LA TSHYBN ALDZYN ZHLMWA MNKM KHASHT W'ALMWA AN ALLH SYDYD AL'AQAB (S. ALANFAL, 25), dibaca: wattaqu- fitnatal la- tushi-bannal ladzi-na zhalamu- mingkum kha-shshah (s. al anfa-l), artinya: Hindarkanlah fitnah yang tidak hanya akan menimpa orang-orang aniaya secara khusus, dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaanNya (8:25).
Dalam ayat ini fitnah dalam kontex peristiwa 15, 16 dan 17 September 1997 di Makassar adalah musibah kemarahan massal yang timbul karena kecemburuan sosial dalam budaya siri' na pacce, akibat terjadinya kesenjangan sosial hasil kolusi oknum pejabat dengan pengusaha non-pribumi yang dipicu oleh pelatuk anak perempuan berumur 9 tahun yang baru pulang dari mengaji yaitu Anni Mujahidah Rasunah yang dibantai oleh Benny yang semestinya dipasung. Dalam aksi solidaritas yang non-proporsional itu bukan yang aniaya saja yaitu yang berkolusi yang ditimpa musibah melainkan orang-orang non-pribumi yang baik-baikpun (walaupun jumlahnya tidak banyak) kena getahnya. WaLlahu A'lamu bi shShawab.
*** Makassar, 28 September 1997
28 September 1997
[+/-] |
291. Fitnah |
21 September 1997
[+/-] |
290. Oleh-oleh dari Upacara Wisuda Sarjana di Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin |
Anak saya yang ketiga, Muh.Asad Abdurrahman diwisuda Program S1 Teknik Sipil. Saya hanya menghadiri upacara wisuda di Fakultas Teknik, sedang acara wisuda di Unhas 9 Sepetember 1997 dihadiri oleh ibunya dan abangnya.
Wakil orang tua wisudawan memberikan sambutan yang intinya mengenai keseimbangan antara dunia dan akhirat yang dijabarkan dalam keseimbangan antara Iptek dengan Imtaq. Ada dua hal yang akan dibahas yaitu pertama ungkapan Iptek dan Imtaq dan kedua mengenai keseimbangan di antara keduanya.
Sebenarnya yang dimaksud dengan ungkapan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) adalah terjemahan dari science and tekhnology. Terjemahan itu tidak tepat, sebab ilmu pengetahuan dipersempit pengertiannya menjadi sains, sehingga di luar sains, katakanlah hukum dan ekonomi misalnya, bukanlah ilmu pengetahuan. Jadi semestinya kita pakai saja: sains dan teknologi atau ilmu pengetahuan alam dan teknologi (Ipatek).
Secara umum mempersandingkan iman dan taqwa menjadi berkelebihan, bahkan ada kesan bahwa iman dan taqwa itu merupakan dua substansi yang masing-masing berdiri sendiri, tak ubahnya dengan ungkapan wahyu dan akal, iman dan ilmu nama kolom ini. Kalau timbul kesan yang demikian itu maka hubungan pengertian di antara keduanya akan menjadi rancu, oleh karena iman adalah bagian dari taqwa.
Ya-ayyuha- Lladziyna Amanuw Ittaquw Llaha (S. Al Hasyr, 18). Hai orang-orang beriman bertaqwalah kepada Allah (59:18). Ayat ini menjelaskan bahwa tidak semua orang beriman sudah dengan sendirinya bertaqwa. Ada orang yang beriman tetapi belum bertaqwa. Ayat diatas itu ditujukan kepada mereka yang beriman tetapi belum bertaqwa.
Siapakah orang-orang yang bertaqwa itu?
Alladziyna Yu'minuna bilGhaybi waYuqiymuwna shShalawta wamimMa- Razaqnahum Yunfiquwa (S. Al Baqarah, 3). Yaitu yang beriman kepada Yang Ghaib, dan mendirikan shalat), dan dari sebagian yang Kami rezekikan kepada mereka diinfaqkannya (2:3). Infaq yang wajib disebut zakat dan infaq sukarela disebut sadaqah. Menurut ayat (2:3) orang-orang bertaqwa itu ialah menurut rumus: taqwa = iman + shalat + infaq. Iman itu perlu tetapi belum cukup untuk menjadi taqwa. Shalat itu perlu tetapi belum cukup untuk menjadi taqwa. Infaq itu perlu tetapi belum cukup untuk menjadi taqwa. Orang beriman tetapi tidak shalat dan/atau tidak mengeluarkan infaq belumlah bertaqwa. Barulah perlu dan cukup untuk menjadi bertaqwa apabila ketiganya digabungkan, beriman, mendirikan shalat dan mengeluarkan infaq.
Karena iman adalah bagian dari taqwa maka seperti disebutkan di atas ungkapan secara umum yang mempersandingkan iman dan taqwa menjadi rancu. Iman dan taqwa dapat dipersandingkan hanya khusus dalam kontex mendapatkan pahala dan barakah dari Allah SWT.
WaLaw Annahum Amanuw waTtaqaw Lamatsuwbatun min 'indi Llahi Khayrun Law Ka-na Ya'lamuwna (S. Al Baqarah, 103). Kalau mereka beriman dan bertaqwa, sesungguhnya pahala dari sisi Allah lebih baik, jika mereka mengetahui (2:103). Walaw Anna Ahla lQuray Amanuw waTtaquw Lafatahna- 'Alayhim Barakatin mina sSama-i walArdhi (S. Al A'ra-f, 96). Kalau penduduk negeri itu beriman dan bertaqwa, niscaya Kami tumpahkan kepada mereka barakah dari langit dan bumi (7:96).
Kedua ayat tersebut menjelaskan bahwa orang-orang beriman yang belum bertaqwa dan orang-orang yang bertaqwa masing-masing mendapatkan pahala dan barakah dari Allah SWT.
Akan tetapi dalam kontex sains dan teknologi, sudah cukup jika dikatakan bahwa sumberdaya manusia yang faham akan sains dan teknologi itu harus bertaqwa, tidak perlu ada kata iman, oleh karena orang yang bertaqwa itu persyaratannya harus beriman terlebih dahulu. Kalaupun kita ingin memakai kata beriman, maka kita katakan bahwa sumberdaya manusia yang faham akan sains dan teknolgi harus beriman dan beramal shalih. Inna lInsana lafiy Khusrin. Illa- Lladziyna Amanuw wa'Amiluw shShalihati (S. Al 'shr, 2-3). Sesungguhnya (sumberdaya) manusia dalam kerugian. Kecuali yang beriman dan beramal shalih (103:2-3). Tsumma Radadnahu Asfala Sa-filiyna. Illa- Lladziyna Amanuw wa'Amiluw shShalihati (S. At Tiyn, 5-6). Kemudian Kami campakkan (sumberdaya) manusia itu rendah serendah-rendahnya. Kecuali yang beriman dan beramal shalih (95:5-6).
Keseimbangan antara dunia dengan akhirat tidaklah dalam kontex sains dan teknologi dengan taqwa. Di sini bukanlahh konsep keseimbangan melainkan integrasi atau sekurang-kurangnya hubungan antara bangunan dengan fundasi. Sumberdaya manusia yang faham akan sains dan teknologi, melarutkan ilmu dan amalnya ke dalam ketaqwaannya, artinya ilmu dan amalnya itu menjadi bagian dari ketaqwaannya. Atau sekurang-kurangnya ilmu dan amal sumberdaya manusia yang faham akan sains dan teknologi menjadikan taqwa sebagai landasan dari ilmu dan amalnya. Jadi sekali-kali bukanlah konsep keseimbangan! WaLlahu A'lamu bi shShawab.
*** Makassar, 21 September 1997
14 September 1997
[+/-] |
289. Geo Stationary Orbit |
Geo artinya bumi, stationary artinya diam dalam pengertian tidak bergerak, bukan diam dalam arti tidak bicara dan orbit berarti lintasan. Stationary artinya diam, sedangkan lintasan berhubungan dengan gerak! Bagaimana mungkin?
Satelit-satelit komunikasi di atas Khattul Istiwa menempati masing-masing kapling (dari kavelen artinya menyekat). Itulah dia yang disebut dengan (G)eo (S)tationary (O)rbit, disingkat GSO. Satelit-satelit itu seakan-akan tergantung di angkasa, tidak bergerak-gerak menempati kaplingnya masing-masing. Dengan demikian GSO berurusan dengan kesepakatan internasional. Misalnya satelit Palapa mempunyai hak menempati sekat di atas angkasa Indonesia, sesuai dengan kesepakatan internasional tersebut. Satelit Palapa dan satelit-satelit lainnya yang tergantung di angkasa dalam GSO-nya masing-masing mengusik rasa ingin tahu beberapa orang dalam Majelis Ta'lim yang melontarkan pertanyaan kepada saya:
"Ustadz, apakah di atas sana satelit-satelit komunikasi itu punya baling-baling seperti helikopter?"
"Tidak punya, dan tidak ada gunanya punya baling-baling, karena di GSO di atas itu tidak ada udara. Dipilih diketinggian yang tidak ada udara untuk menghindarkan kerusakan satelit oleh pergesekan dengan udara," demikian saya jawab. Namun saya dikejar lagi pertanyaan yang bersifat bantahan serta menyangkut aqidah, seperti pertanyaan susulan berikut:
"Ustadz, kalau helikopter tergantung ataupun melayang di udara itu karena mempunyai baling-baling yang mengipas-kipas, seperti halnya dengan kupu-kupu yang mengepak-kepakkan sayapnya selama menyedot cairan manis bunga-bungaan. Gerak baling-baling dan kepak sayap itu menahan tarikan gravitasi. Tetapi yang tak habis pikir bagaimana mungkin satelit Palapa dan satelit-satelit lainnya di GSO-nya masing-masing tanpa mekanisme baling-baling dapat bertahan terhadap tarikan gravitasi ke bawah. Apa yang menahannya? Ataukah apa di atas sana itu bebas gravitasi? Bukankah ketinggian satelit-satelit itu di atas permukaan bumi masih sangat dekat? Bgaimana dengan Firman Allah: QL HW ALLH AhAD S. ALIKHLASH, 1)?, dibaca: qul huwaLla-hu ahad (s. al ikhla-sh), artinya: Katakan Allah ahad (112:1). Ahad, Esa dalam zat, sifat dan af'al (perbuatan)-Nya. Perbuatan Allah itu Maha Esa, jadi kalau dekat permukaan bumi harus ada mekanisme untuk melawan gravitasi seperti pada helikopter atau kupu-kupu, maka di GSO yang belum jauh di atas itu harus ada pula mekanisme pada satelit-satelit untuk dapat bertahan pada kaplingnya masing-masing."
Rentetan pertanyaan yang bertubi-tubi itulah yang menyebabkan ditulisnya Seri 289 ini. Sebenarnya pertanyaa yang sejenis namun tidak serupa telah pernah pula dilontaskan peda saya, yaitu mengapa astronot dalam kapsul ataupun pesawat ulang alik melayang-layang, mengapa terhadap mereka itu tidak bekerja gravitasi padahal belum cukup jauh dari bumi! Hal tersebut telah saya bahas dalam dua seri berturut-turut: Seri 080 dengan judul: "Keadaan Tanpa Bobot dalam Pesawat Ulang-alik yang Sedang Mengorbit Bumi, Hubungannya dengan Ilmu Tawhid, tanggal 23 Mei 1993 dan Seri 81 dengan judul: "Keadaan Tanpa Bobot dalam Pesawat Ulang-alik yang Sedang Mengorbit Bumi, Penjelasan Secara Ilmiyah Populer, tanggal 30 Mei 1993.
Marilah kita jawab rentetan pertanyaan bertubi-tubi yang bersifat bantahan serta menyangkut aqidah tersebut. Allah sebagai Ar Rabb, Maha Pengatur (RB AL'ALMYN, rabbul 'a-lami-n) mengatur gerak di alam ini melalui TaqdiruLlah (ketetapan tentang aturan Allah, istilah sekulernya: hukum alam) yang kita kenal sebagai medan gravitasi, medan elektro-magnet, gaya kuat (gaya nuklir) dan gaya lemah (penyebab radio-aktif suatu zat). Jenis yang pertama dominan mengendalikan benda-benda langit di makro-kosmos dan ketiga jenis yang berikutnya mengendalikan zarrah-zarrah di mikro-kosmos. Maka sebagai konsekwensi Allah Maha Esa dalam perbuatanNya, wajiblah kita imani, bahwa gravitasi bekerja pula terhadap satelit-satelit dalam GSO-nya masing-masing itu.
Bayangkanlah sebuah menara yang puncaknya tinggi sekali. Naiklah ke puncaknya dan jatuhkanlah batu. Maka batu itu dengan bebas jatuh lurus ke bawah dan tiba dekat kaki menara. Ini sudah diamati oleh nenek moyang kita, bukan hanya Galileo Galilei saja. Buktinya? Ada pepatah yang mengatakan: Buah itu jatuhnya tidak jauh dari pokok pohon. Akan berbeda jika dari ketinggian itu batu itu dilempar mendatar sejajar dengan muka bumi. Batu itu akan menempuh lintasan yang dikenal dalam ilmu mekanika dengan lintasan peluru. Makin besar kecepatan permulaan batu itu waktu dilemparkan, makin jauh pula letak jatuhnya batu itu dari kaki menara. Kalau ketinggian itu dipertinggi cukup tingginya, dan sementara itu kecepatan permulaan dari batu itu ditambah terus besarnya, akan tiba saatnya batu itu akan jatuh meliwati lengkungan bumi. Maka dalam keadaan demikian itu batu tersebut akan jatuh bebas terus-menerus, tidak ada henti-hentinya. Itulah yang disebut mengedari atau mengorbit bumi. Karena proses jatuh bebas itu disebabkan oleh gravitasi, maka jatuh bebas terus-menerus atau mengorbit itu juga karena gravitasi.
Satelit-satelit komunikasi itu dibawa ke atas oleh roket ke ketinggian yang tidak ada udara (sangat tipis sehingga diabaikan) kemudian di-"lempar"-kan sejajar dengan permukaan bumi (disebut kecepatan tangensial). Maka mengorbitlah satelit-satelit itu. Jadi satelit-satelit itu mengorbit bumi dalam GSO-nya masing-masing karena tiga hal: Pertama, satelit-satelit itu dilempar dengan kecepatan yang cukup besar dalam rah tangensial. Kedua, satelit-satelit itu tidak terlempar terus untum meninggalkan bumi karena ditarik/ditahan oleh gravitasi bumi. Ketiga, kecepatan satelit-satelit itu tidak berkurang, karena tidak lagi bergesek dengan udara. Alhasil terhadap satelit-satelit itu gravitasi tetap bekerja.
Mengapa satelit-satelit itu stasioner tetap menempati (kaplingnya masing-masing) ibarat helikopter yang melayang-layang di udara atau kupu-kupu yang diam di udara selama menyedot cairan manis bunga-bungaan ? Sesungguhnya helikopter, kupu-kupu yang berhenti di uadara itu sedang ikut mengorbit bumi. Kecepatan berputarnya (mengorbitnya) yang dalam ilmu mekanika disebut kecepatan sudut, sama besar dengan kecepatan sudut perpusingan bumi pada sumbunya. Kitapun ini yang berpijak di atas permukaan bumi sebenarnya ikut pula mengorbit, karena kita melekat pada bumi. Helikopter dan kupu-kupu yang sedang tidak bergerak di udara, permukaan bumi, serta semua yang melekat pada permukaan bumi (termasuk kita) mengorbit dengan kecepatan sudut sekitar 24 jam sekali mengorbit (sehari semalam). Satelit-satelit komunikasi itu diberi kecepatan mengorbit juga dalam 24 jam sehari semalam, sehingga satelit-satelit itu samalah keadaannya dengan helikopter dan kupu-kupu yang sedang menyedot madu bunga-bungaan, yaitu seakan-akan berhenti melayang di udara. Artinya helikopter, kupu-kupu dan satelit-satelit itu relatif tidak bergerak terhadap kita sebagai pengamat yang melekat pada permukaan bumi.
Maka pertanyaan: "Stasioner artinya diam, sedangkan lintasan berhubungan dengan gerak, itu bagaimana mungkin?", terjawablah sudah. Satelit-satelit itu mengorbit, namun stasioner relatif terhadap kita yang melekat pada permukaan bumi. WaLla-hu a'lamu bishshawa-b.
*** Makassar, 14 September 1997
7 September 1997
[+/-] |
288. Mimpi |
Malam Selasa tgl.1 atau 2 September 1997 isteri saya bermimpi. Berat dugaan saya mimpi itu pada tgl.2 September 1997, oleh karena lazimnya orang bermimpi di malam yang larut sekitar 2/3 malam, jadi liwat jam 24.00. Konon dalam tidurnya itu ia melihat dirinya membaca koran, tidak jelas koran apa, pada halaman pertama tertera judul berita: Pembunuh Bayaran yang Berkedok Paparazzi. Isi beritanya mengenai Polisi Perancis yang berhasil mengungkap bahwa pengendara motor yang menyilang mobil Putri Diana bersama Dodi Alfayed ternyata pembunuh bayaran yang berkedok paparazzi.
Sebermula saya tidak bermaksud untuk menceritakan mimpi isteri saya itu dalam kolom ini, akan tetapi dalam Harian FAJAR edisi Rabu, 3 September pada halaman 1 tertera judul berita Diana-Dodi Sengaja Dibunuh? yang berisikan berita bahwa Pers Eropa, terutama di Italia tertarik akan hipotesis yang datang dari pemberitaan pers Arab. Menurut hipotesis itu kecelakaan tersebut memang direkayasa oleh sebuah komplotan yang mungkin berasal dari salah satu keluarga kerajaan yang tidak menghendaki hubungan Diana dengan Dodi berlanjut ke lembaga perkawinan. Saya bertanya-tanya mengapa sampai mimpi isteri saya itu sejalan dengan hipotesis tersebut, bahkan mimpi itu secara teknis lebih maju, oleh karena adanya perincian bahwa yang membunuh itu adalah pembunuh bayaran yang berkedok paparazzi.
Menurut psikoanalisis Freud, mimpi itu adalah pencapaian tersembunyi dari hasrat yang tertekan; bahwa mimpi itu merupakan drama dalam alam bawah sadar; bahwa mimpi itu adalah buah konflik antara Id dengan Super-Ego dalam alam bawah sadar. Dengan demikian doktrin Freud tidak berdaya untuk menjelaskan kesejajaran mimpi isteri saya itu dengan hipotesis tersebut, karena mana mungkin akan terjadi drama dalam alam bawah sadar, jika sebelum isteri saya bermimpi, ia baru mendapatkan input informasi Diana - Dodi dikejar paparazzi, ia belum mendapat input hipotesis
tersebut.
Freud mengklasifikasikan aktivitas mental dalam tiga tataran: Id, Ego dan Super-Ego. Id dan Super-Ego terletak dalam alam bawah sadar, hanya Ego yang menyadari alam sekelilingnya, ibarat bagian gunung es yang tersembul di atas permukaan air. Ego menempati posisi sub-ordinat, kasarnya kesadaran itu adalah budak dari alam bawah sadar. Id bersifat primitif, buta dan serampangan, tidak mengenal moralitas, mengandung tenaga psikis yang disebut libido yang berkarakteristik seksual.
Kita tinggalkan dahulu doktrin Freud dalam kontex mimpi tersebut. Seperti yang telah ditulis dalam Seri 001, Allah meniupkan ruh ke dalam diri manusia, yang tidak diberikanNya kepada makhluq bumi yang lain. Karena manusia mempunyai ruh, ia mempunyai kekuatan ruhaniyah yaitu akal. Dengan akal itu manusia mempunyai kesadaran akan wujud dirinya. Dengan otak sebagai mekanisme, akal manusia dapat berpikir dan dengan qalbu sebagai mekanisme akal manusia dapat merenung dan merasa. Allah menciptakan manusia dalam keadaan, "fiy ahsani taqwiym" (95:4).
Manusia terdiri atas tiga tataran: Tataran pertama, ialah jasmani beserta ALHWY (al hawa-) atau naluri. Tataran kedua ialah nafsani, atau kedirian, atau jiwa. Tataran ketiga ialah ruhani. Qalb terdapat baik pada tataran pertama maupun pada kedua. Qalb pada tataran pertama adalah jantung, yang kalau ini rusak, rusaklah seluruh tubuh, karena qalb kembang kempis untuk memompa darah. Qalb pada tataran nafsani itulah yang disebut dengan hati nurani dalam bahasa Indonesia. Qalb pada tataran ini juga kembang kempis, sebentar cenderung beriman, sebentar cenderung kafir. Kalau ini rusak, rusaklah jiwa manusia. Kedua tataran ini dapat dipelajari, oleh sebab itu ada ilmu jasmani dan ilmu nafsani atau ilmu jiwa. Tidak ada ilmu ruhani, karena: WYSaLWNK 'AN ALRWh QL ALRWh MN AMR RBY WMA AWTYTM MN AL'ALM QLYLA (S. BNY ASRAaYL, 85), dibaca: wayas.alu-naka 'anir ru-hi, qulir ru-hu min amri rabbbi- wamaa u-ti-tum minal 'ilmi illa- qali-la- (s. bani isra-i-l), artinya: mereka bertanya kepadamu (hai Muhammad) tentang ruh, katakan, ruh itu (bagian) dari urusan Maha Pengaturku, tiadalah kamu diberi ilmu kecuali sedikit (7:85).
Pada tataran pertama, ada persamaan antara manusia dengan binatang, yaitu naluri yang membangkitkan hasrat untuk mempertahankan hidup, yakni hasrat makan, minum dan sex untuk melanjutkan keturunan. Yang tidak dimiliki oleh binatang, hanya dimiliki oleh manusia ialah naluri yang membangkitkan hasrat untuk meningkatkan kehidupan. Upaya akal yang bersungguh-sungguh mengendalikan al hawa dalam keadaan sadar, sehingga orang mendapatkan pahala jika al hawa dapat dikendalikan oleh akal, sebaliknya mendapat dosa jika akal tidak dapat mengendalikan al hawa.
Adapun doktorin Freud tentang konflik antara Id dengan Super-Ego yang berlangsung dalam alam bawah sadar, sesungguhnya melecehkan adanya tanggung-jawab (baca: kewajiban asasi manusia). Buat apa dipertanggung-jawabkan, bukankah pertarungan itu berlangsung dalam alam bawah sadar? Pelecehan atas kewajiban asasi manusia ini bertentangan dengan ajaran tentang adanya Hari Pengadilan untuk mempertanggung-jawabkan aktivitas manusia di hadapan Allah SWT. Ini patut menjadi perhatian bagi para pakar psikologi ummat Islam yang mengecer doktrin Freud.
Seperti telah dijelaskan dalam Seri 001, dengan otak sebagai mekanisme, akal manusia dapat berpikir dan dengan qalbu (hati nurani) sebagai mekanisme akal manusia dapat merenung dan merasa. Akal sebagai kekuatan ruhaniyah tetap bekerja baik di waktu bangun maupun waktu tidur. Apa yang kita coba pikirkan pada waktu bangun, proses berpikir itu dapat berlanjut terus sewaktu kita tidur. Terkadang kita dapat memecahkan masalah dalam keadaan bangun, tetapi dapat pula pemecahan masalah itu diperoleh tatkala kita sedang tidur dalam wujud mimpi.
Mimpi itu tidak lain adalah pertanda untuk masa yang akan datang dari Allah SWT yang diberikan kepada para Nabi, waliyuLlah ataupun orang-orang tertentu, atau mimpi itu adalah proses merasa, berpikir dan bernaluri yang berlanjut terus tatkala tidur. Apabila ada dua alternatif yang sama berat yang harus dipilih salah satunya, ataupun dua alternatif memilih atau tidak memilih, kita shalat istikharah = memohon pilihan, dan tidak jarang jawabannya diperoleh melalui mimpi.
Namun kebanyakan mimpi itu hanya merupakan "bunga-bunga tidur", karena tatkala mau tidur pikiran ataupun qalbu tidak serius terfokus pada masalah tertentu yang ingin dipercahkan, melainkan pikiran itu melantur kiri-kanan secara sporadis. Ada satu hal penting pula yang perlu dicatat, bahwa dalam keadaan "relax" tiba-tiba timbul begitu saja pemecahan masalah, seperti yang dialami Sir Isaac Newton (1642-1727). Dalam keadaan relax ia tertimpa bua appel yang jatuh, maka terjawablah apa yang selama ini dipikirkannya, yaitu mekanisme yang mengatur gerak benda-benda langit di makro-kosmos, yaitu appel jatuh karena "ditarik" oleh bumi. Maka dalam keadaan relaxpun sama dengan tidur, proses merasa, berpikir dan bernaluri berlanjut terus.
Kembali pada mimpi isteri saya. Pada waktu terdengar berita di Televisi maupun terbaca di koran-koran tentang tragedi yang menimpa pasangan Diana - Dodi, memang pada waktu itu isteri saya langsung berkomentar tentang kemungkinan sabotase. Sewaktu tidur pada malam Selasa itu proses berpikir isteri saya berjalan terus, dan hasilnya ialah bermimpi membaca berita di koran: Pembunuh Bayaran yang Berkedok Paparazzi. Tentu saja proses berpikir terus dalam tidur yang berwujud mimpi itu sifatnya tidak berbeda dengan hasil pemikiran keadaan bangun, yaitu mungkin benar, mungkin pula salah.
Harus diingat bahwa tidak selamanya mimpi itu berupa aktivitas berpikir tatkala tidur. Ada mimpi yang bersumber dari Maha Sumber, tetapi ini sangat jarang, seperti mimpinya Yusuf (belum nabi) dan mimpinya Raja Mesir (bukan Fir'aun).
Mimpi Raja Mesir ini dita'wilkan oleh Nabi Yusuf AS bahwa tujuh ekor sapi gemuk adalah tujuh tahun produksi cocok tanam dan tujuh ekor sapi kurus adalah tujuh tahun musim paceklik. WaLlahu A'lamu bi shShawab.
*** Makassar, 7 September 1997