28 September 1997

291. Fitnah

Fitnah setelah menjadi kosa kata bahasa Indonesia maknanya sudah menyimpang dari bahasa asalnya yaitu bahasa Al Quran. Menurut bahasa Indonesia memfitnah adalah menuduh seseorang mengatakan atau berbuat yang sesungguhnya orang yang dituduh itu tidak pernah mengatakan ataupun berbuat seperti yang dituduhkan kepadanya. Akan tetapi menurut bahasa Al Quran fitnah bermakna musibah dalam kualitas cobaan, atau teguran keras, ataupun kemurkaan dari Allah SWT. Ketiga ayat di bawah ini menjelaskan kepada kita apa yang dimaksud dengan fitnah itu.

WA'ALMWA ANMA AMWALKM WAWLADKM FTNT WAN ALLH 'ANDH AJR 'AZHYM (S. ALANFAL, 28), dibaca: wa'lamu- annama- amwa-lukum wa awla-dukum fitnah (s. al anfa-l), artinya: Ketahuilah bahwa harta-harta kamu dan anak-anak kamu itu fitnah (8:28).

Dalam ayat (8:28) ini fitnah berarti cobaan dari Allah SWT. Orang tua almarhumah Anni Mujahidah Rasunah (Una) yaitu suami isteri Drs. Jubaedi Saleh dan Dra. Nur Huda Noor mendapat cobaan dari Allah SWT. Dalam tayangan televisi Jubaedi Saleh tampak tegar menerima cobaan itu. Una, anak kesayangan mereka, umur 9 tahun yang telah menghafal 2 juz Al Quran dibantai oleh Benny yang kabarnya penderita Schizophrenia. Menghadapi orang gila semacam itu masyarakat kecil yang bertanggung jawab dalam hal penyakit gila ini kelihatannya terlalu sok (ero' nikana) manusiawi. Mestinya orang gila semacam itu karena tidak dapat dijamin kesembuhannya diisoler saja secara tradisional: dipasung pada batang dedap! Demikian pula sikap sok normatif formalistis tidak boleh menjadi hakim sendiri, sehingga Benny dibawa hidup-hidup ke rumah sakit, tidak membiarkan saja ia mampus diamuk massa, menyebabkan kemarahan massa yang ingin menegakkan siri' na pacce bertambah meluap-luap. Sebenarnya andaikata Benny dibiarkan saja mampus diamuk massa maka prinsip tidak boleh menjadi hakim sendiri sudah terpenuhi juga, karena massa tidak menjadi hakim sendiri melainkan menjadi hakim beramai-ramai. Akhirnya kota Makassar menjadi lautan api.

TKN FTNT FY ALARDH WFSAD KBYR (S. ALANFAL, 73), dibaca: Takun fitnatun fil ardhi wa fasa-dung Kabi-yr (s. al anfa-l), artinya: terjadilah fitnah di bumi dan kerusakan besar (8:73).

Dalam ayat (8:73) ini fitnah berarti peringatan keras dari Allah SWT. Allah telah memberikan peringatan keras dengan menghancurkan klub-klub malam di Jalan Sulawesi, Jalan Nusantara dan di tempat-tempat lain di Kota Makassar ini, melalui tangan-tangan mereka yang bersimpati menegakkan harga diri dan solidaritas (appaenteng siri' siagang pacce) dari suami-isteri yang mendapat cobaan dari Allah SWT itu.

Tempat-tempat hiburan (klub malam) yang dijadikan persyaratan sebuah kota metropolit ataupun megapolit adalah suatu mithos yang menyesatkan ummat. Mithos ini wajib dipupus dari benak para penanggung-jawab pembangunan kota metropolit seperti Kota Makassar ini dan kota-kota lain. Dengan dihancurkannya klub malam di Jalan Sulawesi, Jalan Nusantara dan di tempat-tempat lain maka para penanggung-jawab pembangunan kota perlu ihtisaban, introspeksi. Bahwa hancurnya tempat-tempat maksiyat klub malam yang sesungguhnya tempat pelacuran terselubung tersebut merupakan teguran keras dari Allah SWT, karena telah memberikan perizinan berdirinya tempat-tempat tersebut. Bahwa tanpa klub malam tersebut Kota Makassar tidak akan berkurang nilainya sebagai kota metropolit, dan bahwa tanpa uang setoran pajak dari tempat-tempat maksiyat itu Pemda tidak akan menjadi miskin karenanya, dan tanpa pajak pendapatan dari tempat-tempat maksiyat itu Pemda insya Allah akan dapat menyesuaikan diri dalam pendanaan pembangunan kota, dan bahwa dengan tidak masuknya lagi pajak dari tempat-tempat maksiyat itu kas Pemda akan menjadi bersih dan akan mendapat barakah dari Allah SWT.

ANA J'ALNHA FTNT LLZHALMYN (S. ALSHFT, 63), dibaca: Inna- ja'alna-ha- fitnatal lizhzha-limi-n (s. ashshafa-t), artinya: sesungguhnya Kami jadikan ia (pohon zaqqum) fitnah bagi orang-orang aniaya (37:63). Pohon zaqqum adalah pohon pahit yang tumbuh di dasar neraka.

Dalam ayat ini fitnah berarti kemurkaan atau kutukan dari Allah SWT. Orang-orang aniaya dalam kontex kerusuhan di Kota Makassar ini adalah mereka yang berkolusi baik dari pihak oknum pejabat maupun dari pihak pengusaha non-pribumi yang menyebabkan terjadinya kesenjangan sosial yang selanjutnya menimbulkan kecemburuan sosial.

Sebenarnya secara teori kita bangsa Indonesia telah mempunyai nilai dasar dalam Pembukaan UUD-1945 alinea ke-4 dan nilai instrumen dalam GBHN yang dapat mencegah terjadinya kesenjangan sosial. Yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, dan pemerataan pembangunan dan hasil-hasil pembangunan. Sayangnya nilai praxis tidak jalan karena terjadinya kolusi antara oknum pejabat dengan pengusaha non-pribumi. Maka nilai dasar dan nilai instrumen itu tidak dapat diterjemahkan ke dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, bahkan terjadi sebaliknya dari yang dikehendaki oleh nilai dasar dan nilai instrumen, yaitu terjadinya kesenjangan sosial yang menimbulkan kecemburuan sosial.

Syahdan, marilah kita kaji ayat yang berikut:
WATQWA FTNT LA TSHYBN ALDZYN ZHLMWA MNKM KHASHT W'ALMWA AN ALLH SYDYD AL'AQAB (S. ALANFAL, 25), dibaca: wattaqu- fitnatal la- tushi-bannal ladzi-na zhalamu- mingkum kha-shshah (s. al anfa-l), artinya: Hindarkanlah fitnah yang tidak hanya akan menimpa orang-orang aniaya secara khusus, dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaanNya (8:25).

Dalam ayat ini fitnah dalam kontex peristiwa 15, 16 dan 17 September 1997 di Makassar adalah musibah kemarahan massal yang timbul karena kecemburuan sosial dalam budaya siri' na pacce, akibat terjadinya kesenjangan sosial hasil kolusi oknum pejabat dengan pengusaha non-pribumi yang dipicu oleh pelatuk anak perempuan berumur 9 tahun yang baru pulang dari mengaji yaitu Anni Mujahidah Rasunah yang dibantai oleh Benny yang semestinya dipasung. Dalam aksi solidaritas yang non-proporsional itu bukan yang aniaya saja yaitu yang berkolusi yang ditimpa musibah melainkan orang-orang non-pribumi yang baik-baikpun (walaupun jumlahnya tidak banyak) kena getahnya. WaLlahu A'lamu bi shShawab.

*** Makassar, 28 September 1997