30 April 2000

421. Transparansi, Budaya Ewuh-Pakewuh dan sekali lagi Tap MPRS No.XXV/MPRS/1966

Transparansi yang mulai dirintis oleh kepemimpinan Habibie kini mengalami set back, kembali ke masa kepemimpinan Orde Lama dan Orde Baru. Rapat konsultasi antara eksekutif dengan legislatif berlangsung tertutup. Menurut Ketua DPR Akbar Tanjung keinginan konsultasi tertutup itu atas permintaan Gus Dur. Tetapi menurut Sekretaris Kabinet Marsilam Simanjuntak rapat konsultasi tertutup itu atas inisiatif DPR. Mestilah salah seorang di antaranya yang berkata tidak benar, kasarnya berbohong. Sebab tidak mungkin kedua-duanya benar atau kedua-duanya berbohong. Inilah salah satu dari sekian banyak jeleknya ketertutupan, yaitu menimbulkan kontroversi.

Masyarakat punya hak untuk mengetahui proses dialog dalam sidang konsultasi itu. Sidang tertutup itu dipersekongkolkan antara DPR dengan Pemerintah supaya katenye Gus Dur dapat secara blak-blakan memberikan penjelasan yang sesungguh-sungguhnya mengenai alasan pencopotan Yusuf Kalla dan Laksamana Sukardi. Sayangnya substansi yang akan dikonsultasikan itu bukan hanya sekadar pencopotan kedua menteri itu. Banyak yang dirindukan oleh masyarakat untuk dapat diketahui pula (karena itu haknya) apa gerangan jawaban Gus Dur tentang susbstansi antara lain khususnya usulan pencabutan Tap MPRS No.XXV/MPRS/1966, hubungan antara melanglang-buana dengan penanggulangan krisis ekonomi dan timbulnya unjuk-rasa yang diakibatkan oleh rasa diperlakukan tidak adil dalam hal sistem penggajian (baca: tunjangan struktural).

Betulkah kalau ketertutupan itu hanya karena aasan Gus Dur dapat leluasa secara blak-blakan memberikan "alasan lain" (menurut istilah Akbar Tanjung) di samping alasan formal ketidak-kompakan dari kedua orang menteri itu? Bukankah kedua mantan menteri yang dicoba untuk dilindungi itu dapat memberikan klarifikasi secara terbuka tentang "alasan lain" itu. Kemudian serahkanlah kepada masyarakat untuk menilai setelah mendengarkan "alasan lain" yang dikemukakan Gus Dur dan hasil klarifikasi dari kedua mantan menteri bersangkutan. Saya menduga bahwa alasan yang sebenarnya dari ketertutupan rapat konsultasi itu, adalah alasan ewuh-pakewuh, tidak sampai hati ditransparankan anggota DPR "membantai" Gus Dur dalam dialog terbuka itu.

***
Menurut Akbar Tanjung melalui TVRI alasan Gus Dur untuk mengusulkan pencabutan Tap MPRS No.XXV/MPRS/1966, karena pelarangan komunisme, leninisme dan marxisme tidak ada dalam UUD-1945, sedangkan Pemerintah tidak wajib melaksanakan Tap MPR. Rupanya Akbar Tanjung tidak puas dengan jawaban Gus Dur ini. Kita dapat mendengarkan "kekesalan" Akbar Tanjung ini di TVRI. Akbar mengatakan bahwa Presiden telah disumpah untuk sungguh-sungguh melaksanakan amanat UUD-1945, Undang-Undang dan peraturan perundang-undangan lainnya.

Bagi para angkatan muda yang hanya mengenal komunisme dari kulitnya saja, dan mendambakan pelurusan sejarah, karena masih ada yang termakan agitasi sehingga angkatan muda itu menyangsikan bahwa PKI yang memberontak di Madiun dan Gestapu, lalu mungkin termakan pula akalnya akan penjelasan Gus Dur bahwa komunisme tidak patut dilarang karena tidak ada dalam UUD-1945, kiranya bermanfaat jika penulis kolom ini mengemukakan hal yang berikut:

Tahun 1847 Karl Marx bersama-sama dengan Engels menulis dan menerbitkan "Communist Manifesto", yang juga biasa disebut dengan "Worker's Declaration of Independence". Buah tangan Marx-Engels tersebut merupakan sebuah literatur yang paling sengit dan radikal yang pernah diterbitkan. Brosur itu menyimpulkan slogan yang sangat agitatif:
The communists consider it superfluous to conceal their opinions and their intentions. They openly declare that their aims can only be achieved by the violence overthrow of the whole contemporary social order. Let the governing classes tremble before the communistic revolutions. The workers have nothing to lose but their chains. They have the whole world to gain. Workers of the world, unite!
(Orang-orang komunis menimbang, itu terlalu berlebihan untuk merahasiakan opini dan niat mereka. Tanpa tedeng aling-aling mereka maklumkan bahwa tujuan mereka hanya dapat dicapai dengan secara dahsyat menumbangkan segenap tatanan sosial kontemporer. Biarkan kelas penguasa gemetar sebelum revolusi komunistis. Para buruh tidak akan kehilangan apa-apa kecuali belenggu-belenggu mereka. Seluruh dunia harus mereka menangkan. Para buruh sedunia, bersatulah!).

Tap MPRS No.XXV/MPRS/1966 bukanlah keputusan emosional seperti yang dituduhkan oleh Agil Siraj, melainkan adalah ibarat penangkal kilat dari sambaran kilat agitasi "Communist Manifesto", yang sudah dua kali membumi di Indonesia, yaitu pemberontakan Madiun dan Gestapu dari kaum komunis. Lahan agitasi "Communist Manifesto" di Indonesia masih kondusif, karena rakyat kita masih banyak yang miskin dan pada umumnya pendidikan mereka masih rendah. Tap MPRS No.XXV/MPRS/1966 adalah upaya taktis dan tujuan nasional mensejahterakan rakyat (Pembukaan UUD-1945, alinea 4) adalah upaya strategis untuk membentengi rakyat Indonesia dari kekafiran marxisme.

Perihal alasan normatif Gus Dur bahwa dalam UUD-1945 tidak ada larangan komunisme adalah alasan yang dhaif, hanya untuk menegakkan benang basah saja. Gus Dur sudah bersumpah untuk sungguh-sungguh melaksanakan amanat UUD-1945, Undang-Undang dan peraturan perundang-undangan lainnya. Kalau Undang-Undang saja harus dilaksanakan, maka walaupun tidak disebutkan secara eksplisit Tap MPR, sesungguhnya termasuklah pula kewajiban Presiden untuk melaksanakan amanat Tap MPR yang antara lain Tap MPRS No.XXV/MPRS/1966. Allah berfirman: WLA TQRBWA ALZINY (S. BNY ASRA^YL, 32), dibaca: Wala- taqrabuz zina- (s. bani- isra-i-l), artinya: janganlah kamu dekati zina (17:23). Kalau mendekati zina saja sudah dilarang, apatah pula perbuatan zina yang kedudukannya lebih atas dari pada mendekati zina. Kalau amanat Undang-Undang saja sudah wajib dilaksanakan oleh Pemerintah, apatah pula Tap MPR yang kedudukannya lebih atas dari pada Undang-Undang! WaLlahu A'lamu bi Al Shawa-b.

*** Makassar, 30 April 2000