16 April 2000

419. Pandangan Marxisme Tentang Moral

Materialisme adalah buah pikiran yang bertitik tolak dari pangkal kepercayaan bahwa tidak ada realitas di luar materi. Semua buah pikiran materialisme, termasuk versi marxisme, bertujuan untuk mengejar tercapainya hasrat kepuasan kehidupan bersifat materi. Keadilan, kejujuran, kemerdekaan, persamaan, persaudaraan, dan semua nilai moral yang lain dipertahankan bukan karena nilai-nilai yang luhur itu an sich, melainkan hanya karena nilai-nilai itu kelihatannya memberikan kontribusi dalam hal efisiensi bagi hasrat tercapainya kesenangan dan keamanan dalam kehidupan yang bersifat materi. Artinya moral dalam pandangan materialisme tidak lain hanyalah produk sampingan belaka.

Dengan mengaplikasikan proses dialektis, Karl Marx dalam bukunya A Contribution to the Critique of Political Economy mengatakan bahwa ragam (mode) dari produksi dalam kehidupan bersifat materi menentukan proses kehidupan politik, sosial, ekonomi dan intelektual. Manusia tidak mempunyai kebebasan memilih dalam hal moralitas, oleh karena sistem sosial-ekonomi telah menentukan gagasan tentang moral dan ukuran etis sebagai barang- jadi. Bukanlah kesadaran moralitas manusia yang menentukan kondisi sosial-ekonomi, melainkan sistem sosial-ekonomilah yang menentukan kesadaran manusia. Setiap orang harus menyesuaikan diri pada kode moral yang ditentukan sistem sosial-ekonomi. Oleh karena masyarakat bergerak dalam irama pertentangan kelas, maka moralitas itu senantiasa berupa moralitas kelas. Singkat kata moral manusia ditentukan oleh sistem sosial-ekonomi.

Syahdan, kita akan kuliti buah pikiran marxisme yang berspekulasi bahwa moral manusia ditentukan oleh sistem sosial-ekonomi. Marilah kita perhadapkan spekulasi Marx ini pada sejarah Yunani Kuno, pada zaman "negara kota" (city states). Dalam rentang waktu dari 725 SM. hingga 325 SM. tiga negara kota, yaitu Corinth, Sparta dan Athene menghadapi sistem sosial-ekonomi yang sama, yaitu surplus penduduk. Jika benarlah teori "ilmiyah" Marx yang mengatakan bahwa manusia tidak mempunyai kebebasan memilih, oleh karena sistem sosial-ekonomilah yang menentukan kesadaran moralitas dan kehidupan intelektual manusia, maka niscaya ketiga negara kota itu akan menempuh pula upaya yang sama, karena mempunyai sistem moral yang sama, yang dibentuk oleh sistem sosial-ekonomi yang sama.

Namun sejarah berkata lain. Corinth memecahkan masalah surplus penduduknya dengan emigrasi, mencari daerah pertanian ke seberang laut di Siqiliyah (Sicily), Italia selatan, Thrace dll, dimana daerah kolonisasi itu jarang penduduknya, atau penduduknya terlalu lemah untuk dapat membendung invasi emigran dari Corinth itu. Koloni-koloni Yunani itu memperluas daerah georgafis dari masyarakat Yunani tanpa mengubah watak, sehingga pada hakekatnya merupakan reproduksi kebudayaan (baca: sistem moral) dari negeri asalnya. Sparta menempuh cara lain, yaitu menaklukkan negeri-negeri tetangganya seperti Messene, dan untuk memelihara kekuasaannya atas negeri-negeri taklukannya itu Sparta menjadi negara militer dalam arti struktur organisasi dan SDM. Seluruh penduduknya dibina berwatak militer dari atas sampai ke bawah. Caranya ialah dengan jalan menempa anak-anak di dalam barak-barak militer, bahkan bayi-bayi yang dianggap kondisi tubuhnya tidak mampu nanti menjadi militer, dibuang ke jurang-jurang. Athene menempuh cara lain pula, yaitu dengan jalan pengkhususan produksi pertanian untuk ekspor. Athene menempuh perbaikan sistem sosial-ekonomi dengan jalan perdagangan. Athene mengalami zaman keemasan di bawah Pericles. Kemajuan arsitektur memperindah Athene. Kota ini menjadi pusat perdagangan dan kebudayaan, serta kesenian dan kesusatraan maju dengan pesat.

Alhasil buah pikiran Marx bahwa moral sudah merupakan "barang jadi" yang ditentukan oleh sistem sosial-ekonomi digugurkan oleh sejarah ketiga negara kota Yunani Kuno itu. Sistem moral ketiga kota itu bukanlah produk dari sistem sosial-ekonomi yang surplus penduduknya. Sebaliknya sistem moral yang berbeda menghasilkan perubahan sistem sosial-ekonomi yang berbeda pula dari ketiga kota itu, Corinth, Sparta dan Athene seperti yang telah ditunjukkan di atas. Alhasil sejarah Yunani Kuno menunjukkan bahwa bukanlah sistem sosial-ekonomi yang selalu menentukan moral, tetapi dapat pula sebaliknya, sistem morallah yang mengubah wajah sistem sosial-ekonomi.

Karl Marx mengkritik filosof yang hanya mengkaji saja. Marx berpendirian tidak cukup mengkaji saja, melainkan hasil kajian itu harus dipakai untuk mengubah masa depan. Sesuai dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tentang tujuan nasional dalam alinea ke-4, bahwa negara harus melindungi seluruh tumpah darah Indonesia, maka perlu sekali negara menghabisi upaya revolusioner kaum komunis yang ingin mengubah masa depan Indonesia berpedomankan marxisme. Itulah guna dan pentingnya Tap MPRS No.XXV/MPRS/1966.

Dalam mengkaji masa lalu Abad Pertengahan di kontinen Eropa, Marx melakukan dua kesalahan. Pertama, kesalahan teknis, yaitu kecerobohan generalisasi. Bahwa apa yang terjadi di Eropa di Abad Pertengahan itu Marx mengira berlaku di segala tempat dari dahulu hingga yang akan datang. Kedua, kesalahan prinsipiel, yaitu kekafiran (atheisme), menolak realitas di luar materi. Ada moralitas yang tidak bersumber dari akar sejarah, melainkan bersumber dari wahyu yaitu ajaran akhlaq yang dibawakan oleh para Nabi dan Rasul. Ajaran akhlaq tertinggi adalah taqwa. Ketaqwaan memegang peranan yang sangat penting dalam mengkaji masa lalu. Orang yang berpikiran jernih akan mengatakan bahwa perombakan sistem sosial-ekonomi masyarakat Arab jahiliyah disebabkan oleh ajaran akhlaq dan kemasyarakatan dari Risalah yang dibawakan oleh Nabi Muhammad SAW. Ketaqwaan sangatlah perlu dalam mengkaji masa lalu untuk hari esok. Firman Allah SWT dalam ayat yang berikut mengapit perintah mengkaji itu dengan perintah taqwa: YAYHA ALDZYN AMNWA ATQWA ALLH WLTNZHR NFS MA QDMT LGHD WATQWA ALLH (S. ALHSYR, 18), dibaca: Ya-ayyuhal ladzi-na a-manut taquLla-ha waltanzhur nafsum ma- qaddamat lighadiw taquLla-ha (59:18), artinya: Hai orang-orang beriman, taqwalah kepada Allah dan mestilah orang mengkaji masa lalu untuk masa depan, dan taqwalah kepada Allah (s. berkumpul). WaLlahu A'lamu bi Al Shawa-b.

*** Makassar, 16 April 2000