8 April 2000

418. Pandangan Marxisme Tentang Sejarah dan Negara

Dalam tulisan ini dipakai istilah marxis kalau penekanannya pada buah- pikiran, sedangkan komunis, kalau penekanannya sebagai kekuatan sosial politik. Filsafat historische materialisme (buah pikiran Karl Marx yang materialistik dalam menafsirkan sejarah) merupakan paradigma dari seluruh sistem pemikiran Marx. Dengan menjiplak metode dialektika dari Hegel (these, anti-these, synthese), Marx memahamkan proses sejarah sebagai rentetan konflik (antagonism) dalam wujud revolusi di antara dua kelas yang berlawanan (these melawan anti-these). Buah dari revolusi itu menghasilkan kelas baru (synthese), yang ordenya lebih tinggi dari kedua kelas (these dan anti-these) yang selesai tabrakan itu. Demikianlah proses yang dialektis itu berjalan terus. Begitu tumbuh orde sosial-ekonomi yang baru (new emerging force), maka terjadilah pula konflik dengan kelas hasil synthese tadi (old established force). Maka terjadilah pula revolusi, kekuatan baru (anti-these) melabrak kekuatan lama (these) yang berupaya mempertahankan status-quo, oleh karena jika terjadi perubahan sistem-ekonomi tentu saja akan menghapuskan supremasi kelas yang bertahan itu. Marx sama sekali menepis mengenai kemungkinan terjadinya konsiliasi ataupun kompromi dari kedua kelas itu.

Teori pertentangan kelas itu ditimba Marx dari sejarah Abad Pertengahan di Eropah (rentang waktu antara zaman Klasik dengan Renaissance, dari abad ke-5 M., hingga sekitar tahun 1500 M.). Golongan tukang pada waktu itu bertumbuh menjadi kelas saudagar dan industriawan, yang kemudian disebut kelas borjuis lalu menjadi anti-these dari kelas feodal (these) sebagai kelas penguasa. Benturan kelas borjuis dengan kelas feodal tersebut membuahkan synthese berupa kelas kapitalis. Selanjutnya tanpa didukung oleh fakta sejarah Marx berspekulasi menduga bahwa proses dialektis berlanjut terus dengan timbulnya kelas baru, yaitu kelas proletar, sebagai anti-these dari kelas kapitalis. Revolusi kelas proletar itu akan menghasilkan masyarakat tanpa kelas, dan inilah akhir sejarah pertentangan kelas menurut spekulasi Marx. Kemudian Marx berangan-angan lebih lanjut, yaitu masyarakat tanpa kelas ini nanti dapat berjalan tanpa negara, semua orang bekerja sesuai dengan kemampuannya dan mendapatkan sesuai dengan kebutuhannya. Untuk itu diperlukan waktu antara yang dikendalikan oleh Diktator Proletar. Menurut Marx negara harus bubar, oleh karena negara itu tidak lain dari alat kelas atas untuk menekan kelas bawah, yaitu alat kelas feodal menekan kelas borjuis dan alat kelas kapitalis menekan kelas proletar.

Ada tiga hal yang perlu dikuliti dari pemahaman Marx tersebut.

Pertama, pendapatnya yang menepis akan kemungkinan terjadinya kompromi diantara kelas yang baru tumbuh yang ditekan dengan kelas lama yang menekan. Pada tahun 1689 di Inggris terjadi kompromi antara golongan feodal sebagai kelas penguasa dengan kelas borjuis. Tidak seperti rekannya di daratan Eropa golongan aristokrat di Inggris mempunyai sikap keterbukaan, sehingga dapat mengakomodasikan diri untuk menerima perubahan-perubahan dalam sistem sosial-ekonomi. Maka perubahan sistem sosial-ekonomi dapat berlangsung dengan mulus tanpa tumbangnya dengan sengit kelas penguasa. Di sinilah letak kesalahan Marx, yaitu mengadakan rampatan (generalisasi) dengan hanya melihat di daratan Eropa. (Kecerobohan Marx dengan generalisasi ini tampak pula dalam pandangannya terhadap agama, bahwa agama itu candu bagi rakyat, yang insya-Allah akan dibahas tersendiri dalam sebuah nomor seri).

Kedua, pertentangan kelas antara kaum feodal sebagai kelas penekan dengan kaum borjuis sebagai kelas yang ditekan. Apa sesungguhnya yang terjadi pada Abad Pertengahan di Eropah, kalau disimak dengan teliti, kelas borjuis bukanlah kelas yang ditekan oleh kelas feodal. Pertikaian antara kelas feodal dengan kelas borjuis bukanlah pertikaian antara kelas penekan dengan kelas yang ditekan. Karena sesungguhnya kelas yang ditekan oleh kaum feodal adalah petani yang terikat pada tanah. Kelas petani inilah kelas yang tertekan, baik oleh kelas feodal maupun oleh kelas borjuis, ibarat seekor kelinci yang dijepit dua ekor gajah yang berkelahi. Kedua ekor gajah itu adalah kelas feodal dan kelas borjuis, sedangkan sang kelinci adalah petani.

Ketiga, apakah mungkin terjadi masyarakat tanpa kelas, tanpa negara, yang berjalan seperti arloji otomatis. Masyarakat angan-angan (utopia), tanpa negara, tanpa kelas, orang bekerja sesuai dengan kemampuannya dan mendapatkan sesuai dengan kebutuhannya yang berjalan seperti arloji otomatis tidak berhasil diwujudkan oleh Diktator Proletar, dengan hancurnya Uni Sovyet. (Arloji otomatis adalah ungkapan pengasuh kolom ini saja, bukan dari Marx). Alhasil konsep Marx yang materialistik dalam menafsirkan sejarah yang menjadi paradigma dari seluruh sistem pemikiran Marx ditolak oleh kenyataan sejarah.

Walaupun teori pertentangan kelas yang berwujud pemberontakan adalah hasil generalisasi yang ceroboh dari Marx, namun kaum komunis sudah menganggapnya doktrin yang dogmatis. Para marxist telah dua kali memberontak di Indonesia, yaitu pemberontakan komunis di Madiun yang dikendalikan dari Uni Sovyet dan pemberontakan Gestapu PKI yang dikendalikan dari RRC. Sungguh kebablasan jika ada pendapat yang ingin memberi kebebasan para kamerad itu atas nama demokrasi dan HAM untuk menyebarkan komunisme. Sebab walaupun kekuatan komunis sukar untuk memberontak kembali, namun sekurang-kurangnya mereka dapat mengecoh masyarakat miskin, lagi pula mereka akan bergerak bebas menanamkan antagonisme dalam masyarakat. Kita sudah cukup dipusingi oleh peristiwa Banyuwangi, Ketapang, Kupang, Sambas, Ambon dan Maluku Utara, yang boleh jadi dicetuskan oleh orang-orang yang terpikat pada teori pertentangan kelas dari Marx. Maka pimpinan MPR tidak perlu mengagendakan peninjauan tentang Tap MPRS No.XXV/MPRS/1966.

Bagi generasi muda Islam tidak perlu terpikat oleh teori "ilmiyah" pertentangan kelas dari Marx. Ingatlah akan Firman Allah:
-- WTLK ALAYAM NDAWLHA BYN ALNAS (AL 'AMRAN, 140), dibaca: wa tilkal ayya-mu nuda-wiluha- baynan na-s (s. ali 'imra-n), artinya: hari-hari itu Kami gulirkan di antara manusia (3:140). WaLlahu A'lamu bi Al Shawa-b.

*** Makassar, 8 April 2000