22 Juni 1997

278. Dari Defensif ke Ofensif, dari Apologi ke Proaktif

Pada waktu Neil Armsrong menginjakkan kakinya di bulan, maka banyaklah yang berlomba-lomba mangutip dan membacakan ayat: Yama'syara lJinni walInsi Inistata'tum an Tanfudzuw min Aqtha-ri sSamawati wa lArdhi faNfudzuw La- Tanfuzuwna Illa- bi Sulthanin (S. Ar Rahman, 33). Hai para jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus penjuru-penjuru langit dan bumi, maka tembuslah, namun kamu tidak akan mampu menembusnya kecuali dengan kekuatan (55:33).

S. Ar Rahman 33 tersebut dikemukakan berlatar belakang sikap apologi, yaitu bermaksud membela diri ummat Islam dari keterbelakangannya di bidang Iptek, jangan sampai ada tanggapan bahwa keterbelakangan ummat Islam karena ajaran Al Quran. Sikap apologi yang demikian itu sifatnya negatif, karena bukankah itu berarti menempatkan Al Quran dibawah isu kemajuan Iptek?

Sikap apologi adalah suatu sikap dan gairah membela apa yang kita yakini dalam bentuk lisan maupun tulisan. Maka posisi para apolog itu selalu dalam keadaan yang defensif. Walaupun selamanya berada dalam keadaan yang defensif, sikap apologi tidaklah selamanya negatif, melainkan dapat pula positif, seperti jika Illa- bisulthanin dalam S. Ar Rahman 33, persyaratan tentang kekuatan, energi, tegasnya persyaratan bahan bakar difokuskan pada situasi krisis energi yang melanda peradaban ummat manusia sekarang ini. Bukankah lebih baik jika persediaan bahan bakar yang sudah menipis itu dipakai saja untuk aktivitas pembangunan di muka bumi ini, ketimbang untuk mengarungi angkasa luar? Mufassir yang memfokuskan pada krisis energi ini menempatkan Al Quran di atas isu Iptek. Maka sikap apologi positif itu harus memenuhi kriteria: Al Quran tidak diletakkan di bawah isu apapun juga dan membela salah pengertian terhadap pemahaman Al Quran, baik yang datang dari kalangan ummat Islam sendiri, maupun utamanya yang berasal dari luar kalangan ummat Islam.

Bukankan telah tiba saatnya kita berupaya menggali Al Quran sehingga sikap apologi positif yang defensif meningkat menjadi sikap ofensif, yaitu proaktif. Yakni mencari ayat-ayat Al Quran untuk mengoreksi Iptek. Berikut ini saya kemukakan sikap ofensif itu dalam bidang ilmu falak.

Dalam istilah sehari-hari benda-benda yang kita lihat di atas bola langit hanya dibedakan dalam: matahari, bulan dan bintang-bintang. Untuk keperluan praktis dalam hal pelayaran dan pertanian beberapa dari bintang itu diberi nama diri. Dalam ilmu falak bintang-bintang itu di samping diberi nama diri juga diberikan pula nama jenis atau nama golongan. Ada yang disebut dengan bintang-bintang tetap. Mengapa dikatakan demikian, karena walaupun bintang-bintang itu kelihatannya beredar mengelilingi bumi dilihat dari bumi ini, bintang-bintang itu jaraknya tidak berubah-ubah antara satu dengan yang lain di atas bola langit. Ada pula yang digolongkan dalam jenis planet. Istilah ini diambil dari bahasa Yunani yang berarti musafir. Mengapa disebut musafir, oleh karena bintang-bintang jenis planet itu bergerak terhadap bintang-bintang tetap itu. Dilihat dari segi gerak ini, kalau kita mau konsekwen, maka baik matahari maupun bulan tergolong dalam planet, oleh karena kedua benda langit ini adalah musafir. Letak kedunya bergeser, tidak tetap jaraknya terhadap bintang-bintang tetap. Golongan yang ketiga disebut dengan galaxy yaitu gugus bintang-bintang tetap. Ada pula gugus yang lebih besar, yaitu gugus yang anggotanya terdiri atas galaxy dan disebut dengan super-galaxy atau cluster.

Dengan berkembangnya ilmu falak ditambah pula lagi dengan penggunaan instrumen yang canggih-canggih yang menopang ilmu falak itu utamanya teropong bintang dan kamera untuk membuat foto, maka penggunaan istilah bintang tetap itu sudah tidak dapat dipertahankan lagi. Hasil foto bintang-bintang tetap itu dilihat dari bumi pada bola langit dengan instrumen yang sudah canggih, hanya dalam jangka waktu tahunan sudah dapat dilihat bahwa letak bintang-bintang tetap itu tidak tetap lagi jaraknya.

Maka dalam ilmu falak perlu dibongkar kriteria yang dipakai dalam klasifikasi jenis bintang. Kita tentu tidak dapat lagi mempergunakan gerak sebagai kriteria dalam klasifikasi penggolongan jenis bintang. Maka di sinilah sikap ofensif yang ptoaktif itu diterapkan. Al Quran memberikan kriteria yang lain sama sekali dalam klasifikasi jenis bintang itu.

Dalam Al Quran bintang-bintang dibedakan dalam tiga jenis: kawkabun, bentuk jama'nya kawakibun, najmun, bentuk jama'nya nujuwmun dan buruwjun.

Adapun kawkabun adalah jenis bintang-bintang yang letaknya dekat dengan bumi, seperti dalam S. Ashshaffat 6: Inna- Zayyanna- sSama-a dDunya- biZiynati (ni)lKawa-kibi, sesungguhnya Kami hiasi langit yang dekat dunia dengan hiasan kawakib. Kemudian dalam S. An Nur dijelaskan bahwa kawkabun itu tidak mempunyai cahaya sendiri, ia bercahaya karena memantulkan cahaya dari sebuah sumber cahaya. Dengarlah firman Allah dalam S. An Nur 35: al Mishba-hu fiy Zuja-jatin azZuja-jatu Kaannaha- Kawkabun, pelita di tengah kaca dan kaca itu ibarat kawkabun. Ayat itu menggambarkan sebuah pelita yang dikelilingi gelas. Maka tentu permukaan gelas itu memantulkan cahaya pelita, seperti kawkabun yang permukaannya memantulkan cahaya matahari. Bahwa bumi bercahaya juga yaitu cahaya pantulan dapat kita lihat di televisi hasil pemotretan dari pesawat ulang-alik. Kriteria yang diberikan Al Quran pada jenis bintang Kawkab adalah jaraknya yang dekat dan sifat fisiknya tidak bercahaya sendiri. Bintang-bintang jenis kawkab ini adalah bintang-bintang yang menjadi anggota tatasurya kita.

Allah berfirman dalam S. Al An'a-m 97 dan S. Ath Tha-riq 3: Wa Huwa Lladziy Ja'ala Lakumu nNujuwma liTahtaduw biHa fiy Zhulumati lBarri walBahri. An Najmu tsTsa-qibu. Dan Dialah yang menjadikan bagimu nujum untuk menjadi pedoman dengannya dalam kegelapan malam baik di darat maupun di laut. Najmun itu panas menyala.

Kriteria yang dipergunakan Al Quran dalam jenis bintang yang disebut Najmun yaitu jarak yang jauh karena dapat dipakai sebagai pedoman dalam kegelapan malam dan sifat fisiknya yang panas menyala, ibarat suluh api atau obor yang menyala, (Syihabun tsaqib).

Jadi baik kawkabun maupun najmun kriteria dalam penggolongan bintang-bintang itu bukanlah geraknya seperti cara lama, melainkan jatak dan keadaan fifiknya.

Akan halnya istilah gugus bintang dengan nama jenis galaxy yang dalam bahasa Al Quran disebut buruwjun, tidak ada permasalahan. Boleh tetap dipakai galaxy, namun tentu lebih elok jika memakai istilah Al Quran yaitu buruj. WaLlahu A'lamu bi shShawab.

*** Makassar, 22 Juni 1997