Dalam Perang Salib Sultan Salahuddin alAyyubi mengumumkan gencetan senjata sepihak. Dasar pertimbangannya oleh karena lawannya, yaitu Raja Richard the Lion Heart sedang sakit. Inilah nilai "Rijal", semangat sportivitas kejantanan, yaitu tidaklah patut memerangi lawan yang dalam keadaan sakit. Bahkan Salahuddin menyamar sebagai tabib datang keperkemahan Richard, untuk mengobatinya. Kedua belah pihak yang berperang menghormati tata-krama tidak mengusik tabib. Setelah Richard disembuhkan Salahuddin atas pertolongan Allah SWT, perang dilanjutkan kembali. Nilai Rijal ini berakar pada keadilan dan kejujuran.
Dua orang petinju saling gebuk. Mata bengkak berdarah, hidung bercucuran darah memperlihatkan keduanya bersungguh-sungguh saling gebuk. Setelah pertandingan usai, keduanya saling merangkul. Inilah semangat sportivitas, yang menang mengakui perlawanan sengit yang kalah, yang kalah mengakui kelebihan lawannya. Semangat sportivitas ini berakar pada kejujuran dan keadilan sang wasit yang tidak memihak sehingga pertandingan berlangsung sesuai dengan aturan main dunia pertinjuan.
Pertarungan yang sportif yang menghasilkan sikap yang sportif tidak mungkin tercapai apabila ada salah satu kontestan yang sedang sakit seperti dalam kasus Salahuddin melawan Richard di atas itu. Masalah kontestan yang sakit kita dapat lihat misalnya PDI sebagai salah satu kontestan. PDI menderita sakit, atau mencari penyakit menjelang Pemilu. Apakah Fatimah Ahmad, motor penggerak utama Kongres Medan itu, yang walaupun mendapat tekanan external, tidak jeli melihat bahwa Kongres Medan itu akan menghasilkan penyakit bagi PDI? Padahal untuk menghadapi Pemilu memerlukan kondisi seprima mungkin?
Suppoter ataupun simpatisan yang sportif dari para kontestan itu (bukan supporter karena berjudi) walaupun jagoannya menang, ia akan menerima kemenangan itu tidak dengan rasa puas, lebih-lebih lagi bagi supporter dari kontestan yang kalah. Sewaktu saya menanyakan kepada seorang simpatisan Golkar bagaimana perasaannya tatkala menyaksikan hasil perhitungan suara di TV ia menjawab sepotong dalam bahasa Indonesia, sepotong dalam bahasa Makassar. Demikian jawabannya: "Tentu saja saya merasa senang Golkar menang, mingka tena bela nassipa' kusa'ring (namun bagi saya tidak sedap rasanya)." "Mengapa tidak sedap?" tanya saya lebih lanjut. "Kaniya' jekkonna (ada kecurangan)". "Sebagai simpatisan Golkar, apakah anda percaya ada kecurangan?" "Ya, mana mungkin ada asap kalau tidak ada api", jawabnya polos.
Dalam suatu pertandingan tidak terkecuali bagi kontestan OPP dalam Pemilu, harus dinyatakan dengan jujur dan terbuka bahwa mesti ada yang menang ada yang kalah. Yang mengatakan dalam Pemilu siapapun yang menang adalah kemenangan kita semua itu sikap apologi namanya. Yang benar jika dikatakan dalam Pemilu mesti ada kontestan yang menang ada yang kalah, namun perlu ditambah dengan ungkapan: Yang menang haruslah menang dengan jujur dan yang kalah adalah kalah secara terhormat. Ibarat petinju di atas, yang menang mengakui secara sportif sengitnya perlawanan yang kalah dan yang kalah dengan sportif mengakui keunggulan sang pemenang. Juga tak perlu kita menegakkan benang basah bahwa tidak ada kecurangan, sebab seperti dikatakan oleh simpatisan Golkar di atas itu bahwa mana mungkin ada asap kalau tidak ada api.
Nilai instrumen (mekanisme) Pemilu yang kita miliki sekarang ini terus terang sangatlah sukar untuk mendapatkan kinerja yang memadai dari manusia pelaksana, sehingga nilai praxis tidaklah dapat berjalan dengan mulus. Dalam nilai instrumen wasit (baca: anggota Panitia Pemilu yang pejabat) sekaligus menjadi pemain (baca: kader ataupun fungsionaris Golkar). Sebagai manusia biasa yang senantiasa digoda oleh iblis, sangat sukar baginya untuk memilah dirinya antara wasit yang berdiri sama tengah dengan kader OPP yang diberi target. Bisikan iblis untuk berlaku curang akan lebih nyaring bunyinya dari bisikan hati nurani yang menyuruh untuk berlaku jujur. Panggilan dunia untuk mempertahankan jabatan yang sementara dijabat akan lebih dominan dari panggilan iman: Wabi lAkhirati Hum Yuwqinuwna (S. Al Baqarah, 4). Mereka yakin akan akhirat (2:4). Pertanggung-jawaban untuk mencapai target lebih difokuskan ketimbang pertanggung-jawaban kepada Allah SWT sebagai Maliku Yawmi dDiyni, Penguasa Hari Pengadilan di Hari Kiamat.
Allah SWT berfirman:
YaAyyuha- Lladziyna Amanuw Ttaquw Llaha waLtanzhur Nafsun Ma- Qaddamat liGhadin waTtaquw Llaha Inna Llaha Khabiyrun biMa- Ta'maluwna (S. Al Hasyr, 18). Hai orang-orang beriman, taqwalah kepada Allah dan mestilah orang memperhatikan apa yang lalu untuk orientasi masa depan, dan taqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Meliput apa yang kamu kerjakan (59:18).
Demikianlah, Allah memberi petunjuk supaya belajar dari pengalaman masa lalu, untuk rencana perbaikan masa depan. Mengapa sampai terjadi kecurangan dalam Pemilu di masa-masa lalu, seperti telah dikatakan di atas, akar masalahnya terletak dalam hal wasit merangkap menjadi pemain. Oleh sebab itu sangat perlu Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat yang berwenang membuat undang-undang (nilai instrumen) untuk memperbaiki struktur organisasi Panitia Pemilu. Dikatakan sangat perlu, supaya dalam Pemilu yang akan datang insya Allah tidak lagi timbul riak, ombak, gelombang di sana sini akibat terjadinya kecurangan.
Struktur organisasi Panitia Pemilu yang akan datang kelak patut mencontoh pola struktur Panitia Hari-Hari Besar Islam dan Panitia TilawatilQuran. Ketuanya dari Pemda, namun sejumlah organisasi kemasyarakatan diikut-sertakan dalam panitia. Jadi perlu ada kemauan politik utamanya dari Golkar yang memenangkan Pemilu untuk mengubah nilai instrumen yang ada sekarang ini menjadi berpola seperti struktur kedua panitia semi-formal tersebut di atas. Yaitu Panitia Pemilu bukan pantia yang independen, melainkan semua pihak terlibat di dalamnya. Panitia Pemilu terdiri atas koalisi antara Pemda dengan kontestan OPP dan LSM. Panitia koalisi ini di samping menghindarkan wasit ikut bermain, mempunyai pula efek tambahan, yaitu pejabat yang duduk dalam panitia koalisi itu terbebas dari tekanan psikologis untuk mencapai target. Tentu saja kemauan politik ini membutuhkan keberanian untuk mewujudkannya. WaLlahu A'lamu bi shShawab.
*** Makassar 8 Juni 1997