27 Maret 1994

121. Kesehatan para Muballigh, Tantangan bagi BAZIS

Hari Sabtu, 2 hari menjelang lebaran kami berdua, yaitu Drs.H.Mustafa Kamal dan saya berangkat ke Soroako. Mustafa Kamal akan membaca Khuthbah 'Iydilfithri di Wasuponda dan saya di komplex Inco di Soroako. Perhubungan udara Mandai - Soroako 3 kali dalam sepekan, yaitu pada hari-hari: Sabtu, Selasa, Kamis. Namun apabila hari libur tidak ada penerbangan. Berhubung karena Selasa hari libur, maka kami berdua baru dapat kembali pada hari Kamis. Antara hari lebaran dengan hari Kamis itu kami mendapat amanah mengisi acara da'wah, diskusi dan ceramah Silaturrahim (biasanya disebut Halal bi Halal, kata-kata dari bahasa Arab dengan ungkapan Indonesia). Menurut jadwal yang disusun panitia dalam acara-acara itu kami dijadwalkan hadir berdua. Akan tetapi untuk menghemat tenaga disepakati bahwa yang hadir satu orang saja, dan sementara itu yang satunya dapat beristirahat di kamar tamu Masjid Al Ikhwan, Soroako.

Pada hari Rabu menurut jadwal adalah hari yang terakhir, acaranya di pagi hari di Masjid Raya Timampu, dan acara ini adalah giliran saya. Sekadar informasi Timampu ini terletak di pinggir danau Towuti. Kalau dari Soroako, yang terletak di pinggir danau Matano, dalam perjalanan menuju ke Wasuponda, Malili, Palopo, kita akan sampai pada jalan bersimpang dua, ke kanan menuju Wasuponda, sedangkan ke kiri menuju Wawondula. Setelah sampai di Wawondula kita membelok ke kiri meninggalkan jalan mulus, masuk ke dalam jalan provinsi yang kurang mulus, hingga tiba di Timampu. Di Timampu ini baru pertama kali saya mengalami acara Silaturrahim (Halal bi Halal) yang disertai dengan diskusi. Yang menjadikan saya terharu dan juga bangga bahwa baik remaja maupun yang sudah tua tanggapan yang dikemukakan dalam diskusi menunjukkan bahwa pengetahuan ke-Islaman mereka itu wawasannya cukup luas tidak kalah dengan orang kota.

Setelah tiba kembali di Masjid Al Ikhwan di Soroako, saya dapati Mustafa Kamal kesehatannya menurun, lidahnya terasa kaku, tubuh sebelah kanan terasa pegal. Sebelum ke Soroako ia bersafari Ramadhan ke daerah pedalaman Mamuju yang lapangannya termasuk berat. Segera menjelang asar dia dibawa ke bagian emergency RS Soroako, langsung diopmaname. Menurut Panitia sebaiknya datang sehat pulang sehat, tetapi menurut dokter secepatnya harus ke RS di Ujung Pandang. Esoknya, hari Kamis, dengan ambulance Mustafa Kamal dibawa ke lapangan terbang Soroako tetap dalam keadaan diinfus. Tiba di Mandai ambulance sudah menunggu pula dan langsung di bawa ke RS Labuang Baji kamar L7.

Dalam penerbangan pulang di udara antara Soroako dan Mandai ada yang menggelitik dan mengusik batin saya sehingga tidak sempat tertidur, yang biasa saya lakukan dalam perjalanan di udara. Yaitu masalah kesehatan para muballigh kita. Tidak ada lembaga yang bertanggung-jawab tentang kesehatan mereka. Para muballigh kita mengurus kesehatannya masing-masing secara individual. Kalau seperti misalnya Mustafa Kamal yang sedang tidur terbaring di atas tandu dalam pesawat yang kecil itu ada yang mengurus kesehatannya yaitu melalui kartu dana. Ia itu mempunyai kartu dana karena ia seorang dosen senior IKIP yang tidak naik-naik pangkat, tetap IV-B, tetapi bukannya karena tidak cakap. Semua orang di IKIP tahu akan hal itu, ia tidak naik-naik pangkat karena tidak mau menanda tangani formulir pernyataan masuk Golkar sebagai lampiran usulan kenaikan pangkat.

Yang mengusik batin saya ialah para muballigh yang tidak mempunyai kartu dana katakanlah misalnya KH Moh Danyal yang tubuhnya sudah melemah, namun masih penuh dengan semangat, yang kelihatannya menjadi segar-bugar bila berda'wah di atas mimbar. Para muballigh semacam itu perlu ada lembaga yang bertanggung jawab atas kesehatan mereka, sekurang-kurangnya dalam bulan Ramadhan, utamanya menjelang 2 pekan akhir Ramadhan. Mereka perlu cek-up karena tentu saja kondisi fisik akan melemah, melayani 2 sampai 3 kali setiap malam berpindah dari masjid ke masjid dari satu kota ke kota yang lain.

Maka dalam perjalanan pulang itu terpikirlah oleh saya tentang lembaga-lembaga ke-Islaman yang sudah ada. Ada BAZIS, ada RS Islam Faisal, ada IMMIM dan tidak kurang jumlahnya dokter-dokter Muslim yang tinggi dedikasinya. Lembaga-lembaga itu tinggal dikordinasikan saja. Pokoknya itu hanya masalah manajemen, sumberdaya manusia cukup, fasilitas ada. Para muballigh berhak mendapatkan dana pelayanan kesehatan dari BAZIS. Mereka itu adalah Ibnu sSabiyl, pejuang di jalan Allah, yang disebut dalam S. Al Baqarah 177. Adapun mereka yang mengeluarkan zakat, infaq dan sadaqahnya (ZIS), yang mendanai BAZIS, mereka itulah yang disebut dengan wa Ata lMaala 'ala- Hubbihi, juga dalam ayat yang sama: wa Ata lMa-la 'ala- Hubbihi Dzawi lQurba- wa lYataama wa lMasaakiyna wa bna sSabiyli wa fiy rRiqaabi artinya, dan dia memberikan harta yang disayanginya kepada kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, pejuang di jalan Allah, dan untuk memerdekakan budak.

Sedikit catatan yang tidak kurang pentingnya tentang budak: jangan dikira sekarang ini budak sudah tidak ada lagi. Contohnya seperti sebagian para pramuria yang jatuh ke lembah nista itu karena penipuan sindikat yang "menjual" mereka kepada tauke pemilik night club, kemudian mereka itu terperangkap tidak dapat membebaskan dirinya lagi. Kasihan, mereka itu statusnya sudah menjadi budak. Mereka ini perlu pula dipikirkan dan diupayakan mengangkatnya dari lembah nista, seperti Firman Allah dalam S. Al Balad 13: Fakku Raqabah, (upaya) memerdekakan budak. WaLlahu a'lamu bishshawab.

*** Makassar, 27 Maret 1994