20 Maret 1994

120. Nuku vs Wieling, Membuktikan Diri Bersih, vs Asas Praduga Tak Bersalah

Perselisihan antara Nuku dengan Wieling perihal asas tersangka harus membuktikan dirinya bersih bertentangan dengan asas praduga tak bersalah betul-betul pernah terjadi dalam sejarah yang merobek gencetan senjata menjadi perang yang tidak dimaklumkan pada tahun 1805. Nuku adalah Sultan Tidore yang membebaskan kerajaannya dari bagian-bagian wilayah tiga gubernuran Kompeni Belanda (de drie Oostersche Provintien van Gouvernementen): Ternate, Ambon dan Banda. Nama lengkapnya Nuku Sulthan Said alJihad Muhammad alMabus Amiruddin Syah Kaicil Paparangan Gelar Tuan Barakat Sultan Tidore, Papua dan Seram. Ia membebaskan (1780-1797) dan mempertahankan (1797-1805) wilayah kerajaannya dengan jalan peperangan yang sengit diselingi dengan diplomasi yang handal dan dengan siasat mengadu domba ketiga gubernur itu selama 25 tahun. Beberapa tahun menjelang akhir hayatnya (14 November 1805), yaitu sejak Gubernur Ternate menjalankan mekanisme pemerintahan Inggeris (1799), terjadi gencetan senjata antara Kerajaaan Tidore dengan Gubernur Ternate, yang menjalankan mekanisme pemerintahan Inggeris itu. Setelah Pemerintah Inggeris menyerahkan kembali kekuasaan kepada Pemerintah Belanda (1 Maret 1803), Ternate dimasukkan ke dalam wilayah Gubernur Ambon. Di Ternate hanya ditempatkan Wakil Gubernur Ambon, yaitu Carel Lodewijk Wieling.

Syahdan, 2 orang penghuni istana Tidore, yaitu dayang-dayang puteri Boki Fathimah yang bernama Sulasi dan Barunarasa mencuri emas, intan-berlian puteri itu dan melarikan diri ke Ternate. Nuku bersurat kepada Wieling pada 28 Muharram 1220 (18 April 1885) supaya kedua tersangka itu diextradisikan ke Tidore. Wieling menolak permintaan extradisi itu oleh karena menurut penyelidikannya Sulasi yang dahulunya bernama Sarbanun adalah sesungguhnya berasal dari sebuah kampung dekat Gamkonora di Ternate, dan Barunarasa dahulu bernama Kuning adalah budak Kapitan Makassar di Ternate. Keduanya adalah penduduk Ternate, bukan penduduk Tidore, jadi tidak tergolong di bawah jurisdictie kerajaan Tidore (en dus in geen opsigte tot de Jurisdictie van het Tidorsche Rijk behooren; ejaan Belanda lama, sekarang opzicht dan behoren). Nuku dapat memahami penolakan itu, tidak seperti Amerika dan Inggeris yang tidak mau memahami Moammer Qaddafi yang menolak extradisi 2 orang tersangka warga Libia. Bukan hanya sekadar tidak mau mengerti bahkan melalui PBB memboikot Libia.

Yang Nuku tidak mau mengerti ialah bahwa hasil pengadilan Belanda di Ternate menyatakan kedua tersangka tidak bersalah karena penuntut tidak dapat membuktikan kesalahan mereka. Seseorang tidak dapat dikatakan bersalah apabila tidak dapat dibuktikan kesalahannya, yakni asas praduga tak bersalah. Kejaksaan bukan saja bertugas memberantas kejahatan, tetapi juga melindungi siapa yang tidak bersalah (om zoo wel de ontschuld te beschermen als het quaad te beteugelen; ejaan lama, sekarang zo dan kwaad). Sedangkan dalam Kerajaan Tidore sejak Kolano Kaicil Cire raja Tidore yang mula-pertama masuk Islam (1450), berlaku hukum acara sesuai yang diletakkan asasnya oleh Khalifah 'Umar ibn Khattab RA: anna- laka hadza, dari mana milikmu ini, tersangka harus membuktikan kebersihan dirinya.

Sesungguhnya tidaklah adil jika asas praduga tak bersalah ini diperlakukan tanpa batas. Mesti diberi berbingkai dengan anna- laka hadza. Memang kata orang asas praduga tak bersalah ini sinkron dengan Hak Asasi Manusia, semua manusia mempunyai hak untuk dinyatakan tak bersalah sebelum dibuktikan kesalahannya oleh putusan pengadilan. Namun tak dapat disangkal bahwa kelemahan asas praduga tak bersalah ini terletak dalam hal: tidak semua orang yang tak dapat dibuktikan kesalahannya itu betul-betul menjamin bahwa mereka itu tidak bersalah. Banyak para penjahat kaliber kerapu (sebangsa kakap namun jauh lebih besar) yang berlindung di balik perisai asas praduga tak bersalah ini. Seperti contoh data sekunder yang dikemukakan oleh Ahmad Ali, di Amerika Serikat hanya 17% penjahat kerapu ini yang dapat dijaring oleh putusan pengadilan. Tentulah sangat tidak adil jika asas praduga tak bersalah ini lebih banyak melindungi penjahat ketimbang perlindungan hukum terhadap saksi korban. Dalam 100 tindak pidana, 17 orang saksi korban yang dilindungi hukum, 83 orang penjahat yang terlindungi oleh asas praduga tak bersalah, demikian cerita data dari negerinya Uncle Sam di atas itu.

Dengan asas praduga tak bersalah sukarlah pengadilan dapat menjaring para pemegang posisi kunci yaitu Sumarlin dan Mooy serta yang memberikan rekomendasi (lonceng kucing, kattebelletje) yaitu Sudomo pada waktu Eddy Tansil melicinkan jalan untuk mendapatkan kredit Rp1,3 triliun. Sangat sukar sekali jaksa untuk menutut apapula untuk dapat membuktikan kesalahan tiga serangkai tersebut. Namun andaikata hukum acara kita menganut asas anna- laka hadza, maka dalam pengadilan ketiga serangkai itu yang harus mengemukakan daftar kekayaan masing-masing dan dari mana asalnya. Dan jika ada kekayaan yang tidak jelas dari mana rimbanya, maka rimbanya itu adalah dari komisi yang didapatkan sebagai wang jasa dalam kasus korupsi kelas kerapu Eddy Tansil ini. Paling-paling yang dapat dijaring oleh pengadilan yang hukum acaranya berasaskan praduga tak bersalah ini hanyalah para tersangka yang terlibat langsung, yaitu Eddy Tansil, Maman Suparman, Towil Heryoto dan Subekti Ismaun (siapa-siapa lagi yang menyusul?).

Walaupun sebenarnya RI tidak menganut asas anna- laka hadza, eloklah kiranya untuk kebaikan mereka sendiri di mata (baca pengadilan) masyarakat, maka ketiga sekawan itu, mereka itu patut secara jantan menjawab tantangan "pengadilan" masyarakat itu dengan sukarela secara terbuka mengumumkan daftar kekayaan dan asal-usul kekayaannya itu sehingga dengan demikian bersihlah mereka itu di mata masyarakat, jikalau ketiganya memang bersih!

Walhasil sebagai kesimpulan asas praduga tak bersalah itu harus diberi berbingkai. Yang menyangkut korupsi apapun jenis kelasnya dipakailah asas anna- laka hadza sebagai bingkai asas praduga tak bersalah. Ini bahan pemikiran bagi para pembuat undang-undang, jika mereka mau berpikir dan mempunyai waktu untuk itu! WaLlahu a'lamu bishshawab.

*** Makassar, 20 Maret 1994