Baru-baru ini saya menerima "surat panjang" dari yang menyatakan dirinya "Imam" Majlis Al-Munajah Al-Ardh dengan tembusan kepada segala macam, yang tebalnya cukup lumayan 28 halaman. Pada pokoknya sang "Imam" memprotes apa yang saya tulis dalam Seri 699 mngenai bagian ceramahnya, bahwa itu sudah menyeleweng dan keluar jalur ajaran Islam, karena sang "Imam" menyatakan ada Al-Quran rahasia, dan untuk dapat mengetahui Al-Quran rahasia itu haruslah mengetahui rahasia titik nun dan titik ba, yang ujung-ujungnya sang "Imam" menyatakan: "Al-Quran yang dikodifikasikan/dibukukan dalam 30 Juz, 114 Surah, tidak dapat dijadikan sebagai pegangan hidup /penentu/penunjuk." Anehnya dalam "surat panjang" itu sama sekali sang "Imam" tidak menyinggung sedikitpun tentang "Al-Quran yang dikodifikasikan/dibukukan dalam 30 Juz, 114 Surah, tidak dapat dijadikan sebagai pegangan hidup /penentu/penunjuk."
Pengasuh kolom ini, yang Wakil Ketua Majlis Syura KPPSI, menjadi "kesal" dengan pernyataan sang "Imam" bahwa Al-Quran yang dikodifikasikan/dibukukan dalam 30 Juz, 114 Surah, tidak dapat dijadikan sebagai pegangan hidup /penentu/penunjuk. Mengapa "kesal", karena pernyataan itu "menantang/menyalahkan" yang diperjuangkan KPPSI menegakkan Syari'at Islam menurut AL-Quran yang 114 Surah dan 30 Juz. Seperti diketahui, berdasarkan hasil jajak pendapat dari Tim Pengkajian Konsep Syari'at Islam (TPKSI) yang dibentuk atas dasar SK Gubernur Sul-Sel No.601/X/2001, tgl.2 Oktober 2001, masyarakat di Sul-Sel 91% yang setuju pelakanaan Syari'at Islam. Perlu ditabayyun kata "Konsep" dalam TPKSI itu bukan "Konsep" tentang Syari'at islam, karena Syari'at Islam itu bukan "Konsep" manusia, melainkan dari Allah SWT. Alhasil yang dimaksud ialah "Konsep" tentang PELAKSANAAN Syari'at Islam.
***
Saya fokuskan jawaban saya pada titik Nun dan titik Ba yang dijadikan paradigma, karena dengan tertebasnya paradigma tersebut, maka tertebaslah pula pandangan sang "Imam" yang keluar dari Jalur Syari'at Islam tersebut, yaitu "Al-Quran yang dikodifikasikan / dibukukan dalam 30 Juz, 114 Surah, tidak dapat dijadikan sebagai pegangan hidup / penentu / penunjuk."
Dalam "surat panjang" itu, sang "Imam" menulis:
-- "Pernyataan tuan ini, yaitu tidak ada titik Nun dan titik Ba, dengan sendirinya membantah keotentikan Al-Quran yang tuan maksudkan. Jika menurut tuan awal turunnya quran itu tidak mempunyai titik dan sekarang sudah mempunyai titik dan tanda baca berarti secara logika sederhana dengan sendirinya Al-Quran telah dirubah (mestinya diubah-HMNA-) dengan adanya campur tangan manusia." Sang "Imam" menguatkan pendapatnya itu dengan ayat yang sama sekali tidak relevan dengan apa yang dibantahnya itu.
-- Dan demikianlah Kami menurunkan Al-Quran itu sebagai peraturan (yang) benar dalam bahasa Arab ... (S. Ar-Ra'd: 37).
Ini lucu, sang "Imam" memakai ayat dari "Al-Quran yang dikodifikasikan / dibukukan dalam 30 Juz, 114 Surah", padahal sang "Imam" bilang itu "tidak dapat dijadikan sebagai pegangan hidup / penentu / penunjuk." Rupanya sang "Imam" hanya memakainya untuk "berdebat" saja.
Dalam museum di Al Qahirah (Cairo) ada tersimpan surat asli Nabi Muhammad SAW kepada Pembesar Qibthi, kita kutip kalimat pertama dari surat itu:
-- MN MhMD 'ABD ALLH WRSWLH ALY ALMQWQS 'AzhM ALQBTh dibaca min muhammadin 'abdiLla-hi warasu-lihi ilal muqawqisi 'azhi-mil qibthi. Artinya: Dari Muhammad hamba Allah dan RasulNya, kepada Muqawqis pembesar Qibthi. Dalam surat asli tersebut ada huruf-huruf Nun, Ba, Ya, Qaf dan Zha yang semuanya tidak pakai titik.
Pemberian titik dan tanda baca tidak mengubah Rasm 'Utsmaniy, tidak menambah ataupun mengurangi jumlah huruf. Kalimah Basmalah; terdiri atas huruf-huruf: (1)Ba, (2)Sin, (3)Mim, (4)Alif, (5)Lam, (6)Lam, (7)Ha, (8)Alif, (9)Lam, (10)Ra, (11)ha, (12)Mim, (13)Nun, (14)Alif, (15)Lam, (16)Ra, (17)ha, (18)Ya, (19)Mim, jumlahnya 19. Angka 19 ini tidak berubah baik sebelum maupun sesudah huruf Ba dan Nun dalam kalimah Basmalah diberi titik.
-- Atas perintah Nabi SAW, Al-Quran ditulis oleh penulis-penulis wahyu di atas pelepah kurma, kulit binatang, tulang dan batu. Semuanya ditulis teratur seperti yang Allah wahyukan dan belum terhimpun dalam satu mushhaf. Semuanya ditulis dalam huruf gundul belum ada titik dan belum diberi baris.
-- Atas anjuran 'Umar ibn Khattab RA, maka Khalifah Abu Bakar As-Shiddiq RA, memerintahkan kepada Zaid bin Tsabit untuk mengumpulkan ayat-ayat Al Qur'an dari para penulis wahyu, kemudian di simpan oleh Hafshah bt. 'Umar.
-- Di masa Khalifah 'Usman bin 'Affan, untuk pertama kali Al Qur'an ditulis dalam satu mushhaf. Penulisan ini disesuaikan dengan tulisan aslinya berupa huruf gundul yang terdapat pada Hafshah. 'Usman bin 'Affan RA memberikan tanggung jawab penulisan ini kepada Zaid Bin Tsabit, Abdullah Bin Zubair, Sa'id bin 'Ash dan Abdur-Rahman bin Al Haris bin Hisyam. Mushhaf tersebut ditulis masih tetap tanpa titik dan tanpa baris. Hasil penulisan tersebut satu disimpan oleh 'Usman bin 'Affan RA dan sisanya disebar ke berbagai penjuru wilayah Khilafah.
-- Abul Asad Ad-Dualy, yang ditugaskan Mu'awiyah bin Abi Sufyan, meletakkan titik pada tiap akhir kalimat dari ayat. Abdul Malik bin Marwan menugaskan Al Hajjaj bin Yusuf supaya huruf-huruf Ba, Ta, Tsa, dst dengan mudah dapat dibedakan. Al Hajjaj minta bantuan kepada Nashr bin 'Ashim dan Hay bin Ya'mar, maka pada Ba diberi satu titik di bawah, Ta dua titik di atas, Tsa tiga titik di atas dst. Peletakan baris atau tanda baca (i'rab) seperti: Dhammah, Fathah, Kasrah, Sukun dan tanda panjang, dilakukan oleh Khalil bin Ahmad Al Farahidy.
Alhasil dengan belum adanya titik Nun dan titik Ba pada zaman RasuluLlah SAW, tertebaslah paradigma yang di atasnya bertumpu pandangan sang "Imam" yang keluar dari Jalur Syari'at Islam, yaitu yang katanya: "Al-Quran yang dikodifikasikan/dibukukan dalam 30 Juz, 114 Surah, tidak dapat dijadikan sebagai pegangan hidup /penentu/penunjuk." Na'udzu biLlah min dzalik. WaLlahu a'lamu bisshawab.
*** Makassar, 4 Desember 2005