13 September 1998

339. Mengapa Alergi Terhadap Partai Politik?

Kalau hasrat mengeluarkan aspirasi dikekang puluhan tahun, lalu tiba-tiba kekangan itu dilepas, maka orangpun bebas berunjuk-rasa dari yang tertib sampai yang berakibat menurunkan kurs rupiah, dari aspirasi murni hingga aspirasi titipan yang dibayar, menyembur seperti air yang menerpa keluar dari bendungan. Tidak terkecuali hasrat ingin berkumpul yang dikekang sehingga berakumulasi ibarat air dalam bendungan, setelah diberi kebebasan, maka bermunculanlah sejumlah partai politik. Seorang demokrat tidaklah perlu alergi dengan munculnya partai politik yang banyak itu, karena itu akan diseleksi oleh rakyat melalui Pemilu.

Ada alasan dangkal bagi pengidap alergi partai politik itu. Yakni yang penting sekarang adalah bagaimana menurunkan harga Sembako. Saya katakan dangkal oleh karena para pengidap alergi partai itu tidak dapat melihat jangka pendek dan jangka panjang. Menurunkan harga Sembako adalah jangka pendek, harus dengan segera ditanggulangi. Itulah pekerjaan kita semua, baik masyarakat maupun pemerintah. Bahu-bahu membantu dengan otak dan otot. Memberikan input kepada pemerintah cara terefisien penyaluran beras ke konsumen di pasar-pasar. Membantu memberikan informasi kepada yang berwajib tentang orang-orang yang terlibat dalam aktivitas subversi yaitu mafia beras yang menimbun beras untuk dilempar ke pasar luar negeri, sementara masyarakat kesulitan beras. Atau semacam demo Sembako para mahasiswa Teknologi Industri UMI yang berjalan kaki membagikan paket Sembako kepada abang-abang becak yang berpos pada simpang jalan antara Jal.Urip Sumoharjo dengan Jal.Racing Centre, Jal.Pampang Raya, dan Jal.Pongtiku. Itulah jangka pendeknya.

Kemudian jangka panjangnya ialah mengupayakan kestabilan politik, sehingga berlangsung pembangunan yang adil yang sesuai dengan aspirasi masyarakat. Untuk itu perlu diselenggarakan Pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, adil dan bersih, untuk memilih wakil-wakil kita yang akan membawakan aspirasi kita dalam MPR dan DPR. Untuk itulah perlu partai politik.

Sebenarnya pada zaman Orde Baru ada juga yang alergi terhadap partai politik. Tetapi tidak alergi terhadap partai politik pada umumnya, melainkan alergi terhadap partai politik yang berasaskan Islam. Boleh jadi alergi itu adalah penyakit rekayasa sebagai perintis ke arah asas tunggal (menurut GBHN, satu-satunya asas). Yang menderita penyakit simptomatik alergi itu dipelopori oleh Nurcholis Majid dengan semboyannya yang terkenal: Islam, yes. Partai Islam, no! Maka disamping muslihat wasit menjadi pemain (baca: birokrat sebagai panitia Pemilu) dalam Pemilu, Nurcholis Majid secara komunikasi politik ikut pula bertanggung jawab dalam strategi menciptakan monster yang disebut single majority.

Firman Allah SWT dalam Al Quran: WLTKN MNKM AMT YD'AWN ALY ALKHYR WYaMRWN BALM'ARWF WYNHWN 'AN ALMNKR WAWLAaK HM MFLhWN (S. AL 'AMRAN, 3:104), dibaca: waltakum mingkum ummatuy yad'u-na ilal khayri waya'muru-na bil ma'ru-fi wayanhawna 'anil mungkari waula-ika humul muflihu-na (s. ali 'ilra-n), haruslah ada di antara kamu kelompok yang menyampaikan pesan-pesan kebajikan, memberikan perintah dengan arif dan mencegah kemungkaran, dan mereka itu orang-orang yang mendapat kemenangan.

Kalimah WLTKN -waltakun- dalam ayat (3:104) itu terdapat Lam Al Amr, yaitu huruf Lam yang menyatakan perintah, sehingga apa yang dinyatakan ayat itu wajib hukumnya tentang adanya kelompok berupa organisasi ataupun partai politik dalam kalangan ummat Islam. Sehingga mendirikan organisasi da'wah untuk menyampaikan pesan-pesan kebajikan dan organisasi berupa partai politik untuk memberikan perintah dengan arif dan mencegah kemungkaran merupakan fardhu kifayah. Organisasi da'wah menjalankan komunikasi berjenjang naik (bottom up) dan partai politik meneruskan kekuatan bertangga turun (top down).

Selama ini baik secara perorangan maupun secara organisasi da'wah Islamiyah telah dilancarkan secara intensif. Secara perorangan seperti para khatib melalui Khuthbah Jum'ah, para muballigh melalui ceramah-ceramah dalam bulan Ramadhan dan selesai shalat wajib berjama'ah, melalui majlis ta'lim, melalui peringatan mawlid dan isra/mi'raj, melalui media televisi dan tulisan-tulisan berupa artikel di media cetak dan berupa makalah dalam diskusi. Secara organisasi berupa seruan dari organisasi-organisasi da'wah seperti Dewan Da'wah, Muhammadiyah, NU, Persis, dll., bahkan fatwa dari Majelis 'Ulama.

Mereka itu semua telah menyampaikan pesan-pesan kebajikan. Akan tetapi mereka itu semua selama ini tidak dapat memberikan perintah dengan arif dan mencegah kemungkaran. Mengapa khatib, muballigh, da'i, Dewan Da'wah, Muhammadiyah, NU, Persis dll, hanya sebatas menyampaikan pesan, namun tidak dapat memberikan perintah dengan arif dan mencegah kemungkaran? Karena mereka tidak punya otoritas untuk Ya'muruwna, memerintahkan, memberikan instruksi. Apakah mereka itu semua para khatib, muballigh, da'i, Muhammadiyah, NU, Persis dll, dapat memberikan sanksi jika penyelenggara tempat-tempat maksiyat yang berkedok tempat hiburan itu tidak mau menutup night clubnya? Jika mereka itu memberikan sanksi dengan mengerahkan massa untuk mengobrak-abrik tempat-tempat maksiyat itu, tentu saja mereka sanggup, akan tetapi dengan cara itu mereka akan melanggar hukum positif yaitu menjadi hakim sendiri secara beramai-ramai.

Untuk itu ummat Islam supaya dapat melakukan ya'muru-na bil ma'ru-fi wayanhawna 'anil mungkari , haruslah membentuk kekuatan dengan mendirikan partai politik berasaskan Islam. Partai politik berasaskan Islam ini bukan hanya sekadar menampung aspirasi ummat Islam, akan tetapi yang terpenting ialah membumikan Nilai Wahyu di atas bumi Indonesia. Yaitu mentransfer Nilai Wahyu sebagai Rahmatan lil'A-lami-n menjadi konsep dasar dalam menyusun sistem politik, ekonomi, dan pemerintahan sehingga tidak terjadi "one man show". Sistem itu diwujudkan berupa peraturan perundang-undangan di negara Republik Indonesia. Itulah gunanya mendirikan partai politik berasaskan Islam, dan ini tidak keluar dari bingkai reformasi seperti yang telah dibahas dalam Seri 338 pada hari Ahad yang lalu. Kita tidak sependapat dengan Nurcholis Majid (jika seandainya masih demikian pendiriannya). Alhasil kita katakan Islam, yes. Partai Islam, yes. WaLla-hu a'lamu bishshawab.

*** Makassar, 13 September 1998