27 September 1998

341. Partai-Partai Politik yang Berdasar Marxisme yang Pernah Ada di Republik Indonesia

Seri 338 tgl. 6 September 1998 yang berjudul: Bingkai Reformasi mendapat tanggapan melalui deringan-deringan telepon. Ini sehubungan dengan penggalan tulisan seperti berikut: "Reformasi bukanlah revolusi. Reformasi tidaklah menebas secara penuh serta membuang sama sekali semua nilai, produk zaman yang silam. Reformasi ialah meneruskan yang baik, meluruskan yang menyimpang, memperbaiki yang salah, menambah yang kurang dan membuang yang lebih dalam bingkai nilai yang telah disepakati secara nasional."

Yang ditanggapi ialah meneruskan yang baik dari produk zaman yang silam. Mereka bertanya, yang manakah yang baik yang harus diteruskan dari Orde Baru. Sedianya Seri ini bernomor-urut 339, untuk menjawab tanggapan deringan itu. Namun sengaja ditunda dua nomor dengan pertimbangan tanggal 27 September 1998 hari ini lebih dekat ke hari pemberontakan Gerakan 30 September 1965 oleh Partai Komunis Indonesia, 33 tahun yang lalu. Ada baiknya generasi muda sekarang ini diberikan informasi tentang partai-partai politik yang seasas dengan PKI, yang mungkin kurang diketahui oleh generasi muda kita itu tentang partai-partai politik yang berdasar Marxisme yang pernah hidup dalam negara Republik Indonesia.

Kembali kepada deringan telepon tadi, saya jawab dengan ayat yang telah saya kutip dalam Seri 338: WLA YRJMNAKM SYNAN QWMN 'ALY ALA T'ADLWA A'ADLWA HW AQRB LLTQWY (S. Al MAaDT, 8), dibaca: wala- yarjimannakum syana.a-nu qawmin 'ala- allaa- ta'dilu- i-dilu- huwa aqrabu littaqwa- (s. alma-idah), artinya: Janganlah karena kebencianmu atas suatu golongan sehingga kamu tidak berlaku adil, berlaku adillah karena keadilan itu lebih dekat kepada ketaqwaan (5:8).

Janganlah karena ketidak senangan kepada Orde Baru membuat orang tidak berlaku adil. Jangan sampai kebaikan seseorang ditutupi oleh rasa benci. Kalau kita mau adil, haruslah dengan jujur mengakui bahwa ada jasa Pak Harto bersama-sama dengan masyarakat yang anti komunis menyelamatkan Republik Indonesia dari cengkeraman komunisme. Inilah yang dimaksud dengan meneruskan yang baik dari produk zaman yang silam. Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang. Anti komunis, itulah gading Soeharto, KKN itulah belang Soeharto. Itu baru namanya adil, menimbang sama rata, menimbun sama tinggi, menggali sama dalam, menempatkan sesuatu pada tempatnya, mengeluarkan sesuatu dari yang bukan tempatnya.

Ketetapan MPR mengenai Marxisme dilarang di Indonesia harus tetap dipertahankan oleh bangsa Indonesia, oleh karena Das Kapitalnya Karl Marx walaupun memang mengenai ekonomi, akan tetapi berlandaskan atas filsafat historische materialisme, teori pertentangan kelas yang dialektis, radikalisme, dan sikap atheis yang memandang agama itu candu bagi rakyat. (Insya-Allah akan dikuliti nanti Marxisme dalam kolom ini). Maka perlu sekali Orde Reformasi menolak sekeras-kerasnya unjuk-rasa yang menyamaratakan untuk membebaskan semua napol, yang tidak memilah mana napol yang komunis, mana napol uang bukan komunis.

Berikut ini partai-partai politik yang berdasarkan Marxisme:

Partai Komunis Indonesia periode I, dipimpin oleh Muso, dihancurkan oleh Divisi Siliwangi setelah pemberontakan Madiun 1948. Pusatnya di Moscow ibu kota Uni Sovyet. Disebut Marxisme Leninisme, karena diterapkan oleh Lenin. Menerima Marxisme sebagai dogma.

Partai Komunis Indonesia periode II, dipimpin oleh Aidid, dihancurkan setelah pemberontakan Gerakan 30 September 1965. Pusatnya di Peking (sekarang dieja Beijing), ibu kota Republik Rakyat Cina. Disebut Marxisme Maoisme, karena diterapkan oleh Mao Tse Tung (sekarang dieja Mao Tse Dong). Menerima Marxisme sebagai dogma.

Partai Murba didirikan oleh Tan Malaka. Pernah memberontak dipimpin oleh Chairul Saleh, yang dikenal sebagai gerombolan pengacau Merapi-Merbabu komplex. Disebut Marxisme Trotzkisme, karena diterapkan oleh Trotzky. Juga menerima Marxisme sebagai dogma. Berbeda dengan Marxisme Leninisme dan Marxisme Maoisme yang menempuh gerakan terpusat secara internasional, maka Marxisme Trotzkisme bersifat gerakan nasional, artinya tidak perlu terpusat secara internasional.

Partai Sosialis Indonesia (PSI). Menerima Marxisme sebagai ajaran (leer) bukan sebagai dogma. Mereka lebih suka dengan istilah wetenschappelijke socialisme, sosialisme ilmiyah. Walaupun sama-sama Marxisme, PSI ini berbeda dengan PKI, bahkan mereka bermusuhan dalam kancah politik. PSI menghendaki tujuan partai harus dicapai secara parlementer melalui Pemilu, sedangkan PKI dengan jalan revolusi apabila secara parlementer tidak tercapai. Dalam lapangan politik PSI yang walaupun dasar dan tujuannya berbeda dengan Masyumi, namun karena cara kedua partai itu untuk mencapai tujuan sama, yaitu secara parlementer melalui Pemilu, maka PSI berjinak-jinakan dengan Masyumi, bahkan pernah bersama-sama duduk dalam kabinet pemerintahan. Karena kurang mendapat suara dalam Pemilu tahun 1955 mereka Para pemimpin PSI mengejek dirinya sendiri dengan: Wij zijn officieren zonder soldaten (kami ini perwira tanpa prajurit), tetapi mereka juga mengejek NU yang mendapat banyak suara di Jatim dengan: Zij zijn soldaten zonder officieren (mereka itu para prajurit tanpa perwira). Para pemimpin PSI bangga karena mereka umumnya kaum terpelajar jebolan barat. Itulah sebabnya gerangan setelah Soeharto mendirikan Orde Baru, maka secara individual dari tokoh-tokoh PSI inilah, yang umumnya bermadzhab Berkeley, yang diterima oleh Soeharto konsep strategi pembangunannya, yang berat ke atas, menumpuk pada konglomerasi perusahaan dan industri padat modal, sehingga membuahkan buah pahit, yaitu KKN, perekonomian keropos ke bawah, yang akhirnya bermuara pada serba krisis yang kita alami sekarang ini.

Sebagai tambahan informasi, setelah Bung Karno banting stir ke kiri, Partai Nasional Indonesia pecah dua menjadi PNI-Asu dan PNI-Osa Usep, maka Marhaenisme ajaran Bung Karno diplesetkan menjadi kependekan dari 3 nama orang pencetus dasar filsafat yang menjadi landasan komunisme yaitu Marx-Haegel-Engels. Ini untuk mengejek PNI-Asu yang bermesraan dengan PKI. Asu adalah kependekan dari nama 2 orang yaitu Ali Sastro Amidjojo dan Surachman. PNI yang dipimpin oleh Osa Maliki dan Usep yang anti komunis menyelamatkan PNI dari pengaruh komunisme. Tragedi pecah dua itu berulang kembali pada partai anak dari PNI ini, yaitu PDI. WaLla-hu a'lamu bishshawab.

*** Makassar, 27 September 1998