20 September 1998

340. Serba Serbi Sanggahan Terhadap Pemerintahan Habibie

Ada kebijakan strategis yang ditempuh oleh Pemerintahan Habibie, yaitu kebijakan membuka katup aspirasi seluas-luasnya. Maka maraklah timbulnya sanggahan di sana-sini.

Perpu no.2 thn.98 bertujuan membatasi jumlah pengunjuk-rasa, supaya unjuk-rasa itu tidak mudah disusupi perusuh. Walaupun Perpu ini tidak membatasi substansi aspirasi, namun ramai mendapat sanggahan berhubung adanya ketentuan perizinan, terutama pasal 9 yang mengganjal kebebasan pers. Perpu ini belum diberlakukan dan sementara digodok dalam DPR.

Rizal Ramli mengusulkan supaya Pemerintahan Habibie segera melakukan perombakan tim ekonomi yang jelas-jelas buruk kinerjanya. Ini pendapat kuda bendi yang hanya melihat satu arah. Coba bayangkan jika tim ekonomi segera dirombak maka rusaklah sistem kibernetika (cybernetics), terutama mizan (equilibrium) sistem dengan komitmen terhadap IMF yang sangat perlu untuk mendapatkan dana untuk mengatasi krisis. Tidaklah betul seperti pendapat Syahrir yang diucapkannya secara emosional bahwa IMF memberi bantuan kepada kita karena mereka kasihan kepada bangsa Indonesia yang hampir mampus, bukan karena kepercayaan IMF terhadap Pemerintahan Habibie. (Gaya preman hujatan mampus yang dilontarkan oleh Syahrir itu saya tidak dapat terima sebagai anggota dari bangsa Indonesia). Sistem kibernetika yang dirusak mizannya akan bereaksi membentuk dirinya menuju mizan yang baru. Akibatnya fatal, tanpa batuan IMF Indonesia yang terdiri dari kepulauan mudah sekali membentuk mizan yang baru yang berwujud Yugoslavia kedua, melalui proses khaos.

Dilihat dari segi ilmu nafsani kacamata kuda bendi ini yang hanya melihat tim ekonomi Pemerintahan Habibie, dalam hati kecil Rizal Ramli ingin diajak menduduki tim ekonomi dengan keyakinan dirinya lebih baik dari tim ekonomi Pemerintahan Habibie. Ibarat fabel anjing hutan dengan buah anggur. Karena lompatan anjing hutan itu tidak berhasil mencapai anggur, maka anjing hutan itu merepet, ah itu anggur yang asam. De druiven zijn hem te zuur (anggur itu asam baginya), kata pepatah Belanda.

Emil Salim mengatakan bahwa kebijakan Pemerintahan Habibie mengusut harta mantan Presiden Soeharto hanya sekadar untuk memuaskan golongan bawah, populis. Gayung bersambut, kata berjawab. Gayung Emil Salim disambut oleh Presiden Habibie dengan ucapan yang kurang populer di mata orang banyak, yaitu Presiden Habibie minta dengan hormat kepada masyarakat yang sedang ramai-ramai menghujat untuk segera berhenti mengakhiri sikap penghujatan atas Haji Muhammad Soeharto. Kalau kebijakan Pemerintahan Habibie mengusut harta mantan Presiden Soeharto hanya sekadar untuk memuaskan masyarakat, lebih baik ia diam saja buat apa mengeluarkan permintaan yang kurang populer di mata orang banyak yang sedang bersikap menghujat Soeharto.

Sarwono Kusuma Atmaja menganggap bahwa keputusan untuk mengusut kekayaan Pak Harto sesungguhnya terlambat dan bersifat reaktif, tidak proaktif. Menurut hemat saya kebijakan strategis Presiden Habibie untuk memberi kesempatan kepada masyarakat untuk bebas sebebas-bebasnya mengeluarkan pendapat adalah bersifat proaktif, karena kebijakan itu diambil tanpa ada tuntutan sebelumnya. Secara kacamata kuda bendi, alias pandangan sempit, memang kelihatannya kebijakan pengusutan harta mantan Presiden Soeharto itu bersifat reaktif. Akan tetapi jika penutup mata kanan kiri mata kuda bendi itu dibuka (baca: pandangan yang lebih luas), maka kebijakan pengusutan itu termasuk dalam kerangka strategis yang proaktif, yaitu hasil dari kemerdekaan mengeluarkan pendapat. Soal lambat atau cepat itu relatif. Mobil dengan laju 60 km pada jalan dalam kota yang simpang siur termasuk cepat, akan tetapi pada jalan bebas hambatan termasuk lambat. Pemerintahan Habibie ibarat orang yang harus membenahi bengkalai orang berpesta pora yang meninggalkan kesemrautan bersimpang siur, ibarat jaringan jalan dalam kota. Dilihat dari segi ini, maka keputusan Presiden Habibie untuk mengusut harta mantan Presiden Soeharto termasuk tindakan yang cepat.

Unjukrasa mahasiswa yang berlabel Reformasi Kedua antara lain menuntut dibentuknya komite untuk mengambil alih tugas pemerintahan. Menurut mantan kepala Bakin, Mendagri dan Ketua Badan Koordinasi Pemuda Remaja Masjid Indonesia (BKPRMI) itu direkayasa, atau sekurang-kurangnya ditunggangi oleh kepentingan politik suatu golongan. Kita sayangkan golongan yang memanfaatkan mahasiswa untuk kepentingan politiknya. Mengapa tidak bersikap satria dan demokratis untuk tampil kedepan membentuk partai politik dan bersaing secara jujur dengan parpol yang lain dalam Pemilu yad., yaitu salah satu agenda politik Pemerintahan Habibie. Tindakan membentuk komite untuk mengambil alih pemerintahan ini bernuansa kekirian, tidak konstitusional dan keluar dari bingkai reformasi. Apakah dapat dijamin komite ini akan ditaati oleh seluruh bangsa Indonesia? Apa mau kalau Republik Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agusutus 1945 yang dengan susah payah berkuah darah berlinang airmata dipertahankan eksistensinya, akan menjadi Yugoslavia kedua?

Amin Rais dengan sikap curiga melalui wawancara di TV mengatakan bahwa pemerintah mengulur-ulur pembahasan UU Parpol, UU Pemilu, UU Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD, untuk memperlambat Pemilu, tidak menepati agenda politik yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Ternyata pada hari Rabu, 16 September 1998 pemerintah telah mengirimkan kepada DPR naskah RUU Parpol, RUU Pemilu, RUU Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD untuk segera dibahas. Hendaknya nilai Islami yang dalam hal ini sikap Husnuzhzhan, berprasangka baik, tidak hanya diterjemahkan dalam dunia hukum dengan apa yang kita kenal dengan asas praduga tak bersalah. Hendaknya Amin Rais meninggalkan pemahaman barat bahwa politik itu harus bersikap curiga. Nilai Islami Husnuzhzhan eloklah pula diterjemahkan ke dalam dunia poltik dengan tidak bersikap curiga terhadap sesama ummat, ASYiDaA"u ALaY (A)LKuFfaARi RuHaMaA"u BaYNaHuMHuM (S. Al FaTH, 48:29). Tegas atas orang kafir, bersikap lembut di antara mereka. Husnuzhzhan secara substantif serupa dengan lembut.
Wa Llahu a'lamu bisshawab.

*** Makassar, 20 September 1998