6 September 1998

338. Bingkai Reformasi

Reformasi bukanlah revolusi. Reformasi tidaklah menebas secara penuh serta membuang sama sekali semua nilai, produk zaman yang silam. Reformasi ialah meneruskan yang baik, meluruskan yang menyimpang, memperbaiki yang salah, menambah yang kurang dan membuang yang lebih dalam bingkai nilai yang telah disepakati secara nasional. Reformasi tanpa bingkai menghasilkan khaos, keamburadulan. Siang hari bertenun kain, malam hari benang-benang kain dilepaskan kembali. Reformasi tanpa bingkai menghasilkan kesimpang-siuran cara pandang, masing-masing orang memandang masalah poleksosbudhankam menurut selera dan kepentingan masing-masing, kepala sama berbulu pandangan berlain-lainan. Reformasi tanpa bingkai menghasilkan asal-asalan, tidak ada tujuan yang jelas dalam bereformasi, ibarat perahu tanpa kemudi. Reformasi tanpa bingkai menghasilkan produk tanpa konsep dasar, bagai bersandar tanpa tumpuan.

Setting dokumen sejarah yang berikut adalah bingkai reformasi yang dimaksud:

Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa dan oleh karena itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.

Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.

Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya. (tiga alinea Piagam Jakarta, 22 Juni 1945).

Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia. Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain diselenggarakan dengan cara saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. (Teks Proklamasi, 17 Agustus 1945, proklamator Soekarno - Hatta).

Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang bekedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. (alinea ke-4 Pembukaan Undang-Undang Dasar, 18 Agustus 1945).

Bingkai yang di atas itu dipakai baik selama Orde Lama dan Orde Baru di masa lampau maupun Orde Reformasi yang sekarang. Jangan sampai kebencian kepada rejim Soekarno dan rejim Soeharto menyebabkan pula bingkai nilai itu dibuang jauh, jangan sampai kebencian kepada suatu kaum menyebabkan kita tidak berlaku adil dan jujur.

***

Kebenaran itu ada dua jenis. Pertama, kebenaran relatif yang berasal dari kelompok manusia. Kebenaran jenis ini berdasar atas dasar kesepakatan bersama oleh kelompok. Kedua, kebenaran mutlak yang bersumber dari Maha Sumber yang diturunkan kepada para Nabi dan Rasul. Kebenaran relatif akan dapat bertahan selama kesepakatan itu tidak bertentangan dengan kebenaran mutlak.

Kalau disimak bingkai nilai yang telah disepakati oleh bangsa Indonesia di atas itu, tidaklah bertentangan dengan nilai mutlak. Bahkan nilai relatif bingkai tersebut adalah aktualisasi nilai mutlak yang dioperasionalkan oleh bangsa Indonesia dalam menegara. Bingkai di atas itu sesungguhnya membumikan nilai wahyu ke atas bumi persada Indonesia. Supaya tidak salah paham perlu ditekankan bahwa bingkai itu tetap dipertahankan bukan karena disakralkan, melainkan karena bingkai itu merupakan satu kesatuan dengan negara Republik Indonesia. Melepaskan bingkai itu berarti membubarkan negara Republik Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, suatu perbuatan yang sia-sia, yang dikandung berceceran yang dikejar tidak dapat.

***

Sekarang ada yang membicarakan cara pemilihan presiden, apakah secara langsung atau tidak langsung. Undang-Undang Dasar jangan disakralkan, dapat diubah jika dianggap perlu. Reformasi berupa perubahan cara pemilihan presiden itu masih dalam bingkai yang dikemukakan di atas.

Yang lebih ramai dibicarakan yaitu tentang bentuk negara kesatuan atau negara federasi. Sebenarnya jika bingkai nilai di atas itu diperlakukan dalam bereformasi, kemudian disusul dengan perilaku menegara di atas keadilan antara pusat dengan daerah, serta antara daerah dengan daerah yang lain, maka apa yang disebutkan provinsi dengan negara bagian pada hakekatnya hanyalah permainan semantik belaka. Mengapa? Oleh karena keadilan dalam kontex pembagian rezeki antara pusat dengan daerah dan antara daerah dengan daerah, maka provinsi dengan negara bagian secara substansial adalah sama, hanya berbeda dalam hal semantik. Lihatlah contoh misalnya negara India, suatu negara kesatuan dibagi atas provinsi, namun Hyderabad sebenarnya suatu kerajaan kecil dalam negara kesatuan India. "Kerajaan" Hyderabad sesungguhnya jauh lebih kental sifat "kerajaannya" ketimbang Daerah Istimewa Yogyakarta.

Firman Allah SWT dalam Al Quran:

Ya-ayyuhallasziyna A-manuw Kuwnuw Qawwamoyna liLla-hi Syuhada-a bilQisthi wa Laa Yarjimannakum Syanaanu Qawmin 'alay Allaa Ta'diluw I'diluw Huwa Aqrabu lilTaqway IttaquLla-ha inna Lla-ha Khabiyrun biMaa Ta'maluwn (S. Al Maaidah, 5:8). Hai orang-orang beriman jadikanlah (dirimu) berpendirian karena Allah, bersaksi dengan jujur, janganlah karena kebencianmu atas suatu golongan sehingga kamu tidak berlaku adil, berlaku adillah karena keadilan itu lebih dekat kepada ketaqwaan, taqwalah kepada Allah sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa-apa yang kamu lakukan. WaLla-hu a'lamu bisshawab.

*** Makassar, 6 September 1998