Ibarat rumpun bambu diantara batang-batang terdapat sela-sela. Khuthbah-khuthbah 'Iedil Fithri diibaratkan pohon-pohon bambu yang berupa isi dari rumpun bambu yang merupakan fokus perhatian, sedangkan sela-sela itu biasanya luput. Lalu pada kesempatan ini kita coba memandang sela-sela ini.
Kita mulai dahulu dari kata 'ied(un). Bukan makna ungkapan 'Iedu lFithri yang akan dibahas, karena kita sudah katakan tadi yang akan menjadi pembahasan adalah sela-selanya. Sedangkan makna ungkapan tersebut merupakan isi atau batang-batang bambu. 'Ied(un) adalah bahasa Al Quran (Quranun 'Arabiyyun). Kata ini mempunyai keistimewaan, yaitu hanya satu kali disebutkan dalam Al Quran dalam bentuk maf'uwlun bih (derde naamval, kasus ke-3 maenlich dem), yaitu 'iedan, dalam S.Al Maidah, 144:
Qala 'iesa bnu maryama allahumma rabbana anzil 'alayna maidatan mina ssamai takuwnu lana 'iedan, berkata Isa putera Maryam, ya Tuhan kami turunkanlah kepada kami hidangan dari langit yang akan menjadi (santapan) hari raya.
Pada Hari Raya 'Ied tiga hari yang lalu ketika dalam perjalanan dari rumah ke lapangan parker Mall Studio Jalan Cenderawasih, barulah saya mengerti betul hikmah larangan Rasulullah SAW untuk mempergunakan jalanan sebagai tempat shalat. Mobil harus menerobos liku-liku pelosok jalan untuk dapat lolos dari hambatan. Fasalnya yang dahulunya lapangan sekarang sudah jadi jalanan. Yang mantan lapangan itu yang biasa dipakai untuk shalat 'Ied, tetap dipakai, walupun sudah jadi jalan, walaupun sudah jadi lapangan parkir. Di Jalan Andi Pangerang Petta Rani misalnya dahulu ada dua lapangan yang dipergunakan untuk shalat 'ied. Bahkan poros jalan Abdullah Dg. Sirua dijadikan lapangan utama untuk shalat 'ied. Saya lihat mimbar tempat khatib berkhutbah diletakkan pada simpang tiga Andi Pangerang Petta Rani - Abdullah Dg. Sirua.
Demikian pesatnya pembangunan fisik sehingga lapangan-lapangan yang dahulu ada habis dilahap olehnya. Boleh jadi pembangunan fisik ini yang mengabaikan ilmu planologi tentang perbandingan open space 60% dengan bangunan 40% menjadi salah satu penyebab perkelahian kelompok remaja. Lapangan untuk shalat 'ied selama ini menempati lapangan olah raga. Sekarang lapangan olah raga itu sudah menjadi komplex pemukiman seperti contohnya komplex perumahan Pertamina di Ujung Pandang Baru dahulunya lapangan sepak bola. Atau lapangan olah raga itu sudah menjadi jalan raya seperti misalnya di Jalan Andi Pangerang Petta Rani dan Abdullah Dg. Siruwa itu. Atau lapangan olah raga itu sudah menjadi gedung dengan lapangan parker yang masih dapat dipakai untuk shalat 'ied, namun untuk olah raga tentu tidak mungkin. Dorongan-dorongan kejiwaan yang agresif para remaja tidak dapat disalurkan lagi melalui olah raga. Lalu beralihlah menjadi perkelahian kelompok, apalagi bagi para remaja yang putus sekolah, atau merasa tidak diacuhkan oleh orang tuanya dan masyarakat, yaitu kelompok yang menamakan dirinya antanija (anak tanijampangi = anak jalanan tak terurus, diekspresikan dalam lagu daerah I Kukang).
Bahwa pembangunan fisik yang mengabaikan perbandingan 60% dengan 40% itu tentu bukan salah perencana kota. Ilmu planologi tentang perbandingan itu tinggal menjadi teori belaka. Sebabnya? Pembangunan fisik kelihatannya tidak dapat dikendalikan lagi. Penduduk bertambah terus, kebutuhan bangunan dan jalan raya serta jalan air bertambah terus. Pemecahannya tidak dapat dengan secara parsial belaka. Harus menyeluruh, integrated bahasa canggihnya, yaitu pembangunan wilayah. Kota-kota harus distop pertumbuhannya. Dengan cara apa?
Adalah TaqdiruLlah bahwa batu itu jatuh ke bawah ditarik oleh gravitasi. Namun demikian burung dapat membubung ke udara. Lalu manusia dengan teknologinya juga dapat naik melawan gravitasi, juga dengan TaqdiruLlah yang disebut aerodynamica. Nah kalau dalam lapangan fisika manusia punya upaya berkat rahmat Allah berupa akal yang diberikan kepada manusia, mengapa pula dalam ilmu sosial kita tidak dapat mengupayakan aliran urbanisasi ini dapat dihentikan. Upaya itu sudah ada dasar teorinya. Buat growth centers, pusat-pusat pengembangan di daerah rural, pedalaman. Nah silakan itu dikembangkan, untuk memperlengkap tri konsepsinya Gubernur Ahmad Amiruddin.
Yang terakhir dari sela-sela itu ialah tentang arus lalu lintas masuk dan keluar lapangan. Pada zaman Rasullah SAW belum ada kendaraan bermotor, hanya kuda dan unta. Kuda dan unta gampang diputar haluannya, tidak seperti mobil, untuk putar haluan harus achter uit, mundur dahulu, kemudian maju lagi. Susah kalau sudah banyak berdempet. Walaupun kuda dan unta gampang diputar arah, namun Rasulullah mencotohkan, demikian dalam sunnah, arah masuk misalnya dari selatan, keluar mengarah ke utara. Dan inilah yang kita laksanakan sekarang dengan mobil. Bahkan bukan pada waktu shalat 'ied saja, sampai-sampai masuk keluar pompa bensin dan lapangan parker, kita ikut sunnah Rasulullah SAW tanpa menyadarinya bahwa kita telah ikut sunnah. Ini penting disadari, karena kalau kita masuk keluar pompa bensin atau lapangan parker hanya karena ikut rambu-rambu, tidak akan dapat nilai ukhrawi. Namun apabila kita niatkan bahwa itu karena ikut sunnah maka akan memperoleh nilai ukhrawi.
WaLlahu a'lamu bishshawab.
*** Makassar, 28 Maret 1993