Kita sudah terbiasa mendengar, membaca, menyebutkan abdi bangsa dan abdi negara. Bagi warga Kopri sekurang-kurangnya sekali dalam sebulan, yaitu tanggal 17 setiap bulan mengucapkan ungkapan abdi negara. Sehingga kelihatannya dan kedengarannya wajar-wajar saja. Namun pada 15 Maret 1993 malam hari mulai timbul rasa tidak wajar mendengarkan ungkapan abdi bangsa itu. Yakni tatkala Mr Mustamin Daeng Matutu dengan lantang meengemukakan ia tidak mau menjadi abdi bangsa, ia cuma mau menjadi hamba Allah. Fasalnya pada malam itu di rumah jabatan Rektor Unhas PT Abdi Bangsa yang mendanai Harian Umum Republika, hariannya ICMI, diadakan upaya dan diskusi menyangkut penyebaran PT tersebut. Mustamin DM melancarkan kritik, yang sudah tentu kritik membangun, terhadap nama PT itu Abdi Bangsa. Kritik itu patut mendapat tanggapan yang serius, oleh karena PT itu adalah milik ICMI yang mengandung huruf-huruf C dan M, cendekiawan dan Muslim. Artinya sepantasnya harus jeli dalam memilih nama. Sebab pandangan seorang sastrawan yang mengatakan what is in a name bertentangan dengan sabda Rasulullah SAW bahwa nama itu penting.
Abdi adalah bentuk genitive dari 'abdun artinya hamba. Sebelum datangnya Islam terkenal nama Abdu l'Uzza, artinya hamba 'Uzza. Seperti diketahui 'Uzza ini adalah salah satu dewa yang disembah oleh masyarakat Arab jahiliyah. Sungguhpun demikian masyarakat jahiliyah juga telah mengenal Allah sebagai warisan dari Millah Ibrahim. Artinya bekas-bekas Millah Ibrahim, nenek moyang bangsa Arab dari jalur Nabi Isma'il AS, sekurang-kurangnya masih ada yang tersisa yakni asma Allah. Buktinya? Ayahanda Nabi Muhammad SAW bernama 'Abdullah. Maka nama-nama orang Islam berpola kepada nama ayahanda Nabi Muhammad SAW, yaitu dengan membubuhkan Asmau lHusna, nama-nama indah Allah SWT, seperti misalnya 'Abdu lRahman, 'Abdu lRahiem, 'Abdu rRabb, 'Abdu lMalik, 'Abdu lHadie, ada 99 Asmau lHusna ini. Kelima asma Allah yang dicontohkan di atas itu diambil dari S. Al Fathihah. Ar Rahman artinya Maha Pengasih, Ar Rahiem artinya Maha Penyayang, Ar Rabb artinya Maha Pengatur, Al Malik artinya Maha Memliki dan Al Hadie artinya Maha Menunjuki. Jadi sebenarnya dilihat dari segi aqiedah terlarang orang Islam bernama Rahman, Rahim, Malik dll karena itu adalah nama-nama Allah SWT.
Manusia itu adalah hamba Allah, bukan hamba siapa-siapa. Allah tidak boleh disejajarkan dengan apapun juga. Wa lam yakun lahu qufuwan ahad, dan tidak suatu juapun yang setara dengaNya (S.Al Ikhlash, 5). "Sesuatu" yang disejajarkan dengan Allah itu adalah berhala, dan menyembah berhala artinya musyrik.
Para perumus Piagam Jakarta, yang kemudian menjadi Pembukaan UUD 1945, dengan sedikit perubahan redaksional dalam alinea ke-4, meletakkan kebangsaan dua tingkat di bawah sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan sangat sadar para pendiri Republik ini tidak memberhalakan bangsa.
Lalu kembali kita kepada yang diprotes oleh Mustamin, abdi bangsa. Bukankah itu berarti mensejajarkan bangsa dengan Allah? Apakah itu bukan memberhalakan bangsa? Ayuh, coba kita jawab dengan sejujurnya! Inilah jeritan seorang hamba Allah yang bernama Mustamin Daeng Matutu dalam bulan Ramdhan malam 22 di rumah jabatan Rektor Unhas, dalam acara promosi saham PT Abdi Bangsa milik Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia. Yaitu jeritan hati dari qalbu yang bertawhied.
Jeritan yang tulus ini perlu mendapat tanggapan serius. Walaupun selama ini ucapan, tulisan abdi bangsa, abdi negara kedengarannya dan kelihatannya biasa-biasa saja. Yang ternyata tidak biasa. Menjurus kepada pemujaan selain Allah, menjurus kepada memberhalakan bangsa, menjurus kepada kemusyrikan. Ya, perlu mendapat tanggapan serius. Lebih-lebih bagi para penanggung jawab ICMI, pencetus nama Abdi Bangsa.
Alhasil, bagaimana jika ungkapan abdi rakyat, abdi negara dan abdi bangsa diganti dengan pelayan rakyat, pelayan negara dan pelayan banga? Setuju, wahai hamba Allah? Utamanya para pakar Bahasa Indomesia? WaLlahu a'lamu bishshawab.
*** Makassar, 21 Maret 1993