12 Desember 1999

402. Undang-undang Tidak Boleh Berlaku Surut?, dan Hukum Harus Ditegakkan Sekalipun Langit Akan Runtuh?

Firman Allah SWT: YAYHA ALDZYN AMNWA KTB 'ALYKM ALSHYAM KMA KTB ALY ALDZYN MN QBLKM L'ALKM TTQWN (S. ALBQRT, 183), dibaca: Ya-ayyuhal ladzi-na a-manu- kutiba 'alaykumush shiya-mu kama- kutiba 'alal ladzi-na ming qablikum la'allkum tattaqu-n (s. albaqarah), artinya: Hai orang-orang beriman, diperlukan atas kamu berpuasa, seperti diperlukan atas orang-orang sebelum kamu, supaya kamu bertaqwa (S. Sapi betina, 2:183).

Ayat (2:183) tersebut sangat populer dida'wakan pada permulaan bulan puasa. Ayat itu menjelaskan bahwa puasa merupakan wasilah supaya orang beriman mencapai derajat taqwa. La'allakum tattaqu-n, supaya kamu bertaqwa. Tujuan akhir adalah bertaqwa, derajat yang lebih tinggi dari beriman. Ayat (2:183) adalah berorientasi luaran (output oriented) yang bernilai tambah.

Di bangku SMP diajarkan makna peribahasa: Bahasa menunjukkan bangsa, yaitu tutur sapa dan perilaku sopan santun seseorang menunjukkan bahwa ia dari keturunan orang baik-baik. Sesungguhnya makna peribahasa itu dapat dikembangkan lebih jauh. Bahasa sebuah bangsa menunjukkan visi bangsa itu. Menanak nasi, appallu kanre, mannasu nanre, menunjukkan visi beberapa rumpun dari ras Melayu berorientasi luaran yang bernilai tambah, karena nasi mempunyai nilai tambah ketimbang beras. (Ada penyimpangan yaitu rumah sakit, balla' garring, bukan rumah sehat, balla' gassing, tetapi ini pengaruh dari visi Belanda: zieken huis, ziek = sakit, huis = rumah).

Berdasar atas prinsip berorientasi luaran yang bernilai tambah, akan dibahas kedua penggal dari judul di atas.

Narkoba mengancam kelanjutan generasi anak-anak bangsa. Masyarakat menuntut hukuman mati bagi pengedar Narkoba, termasuk Zarima si genderuwo Narkoba. Sayangnya rasa keadilan masyarakat yang menuntut hukuman mati atas para perusak generasi muda itu tidak dapat dipenuhi. Mengapa? Karena tidak ada sanksi berupa hukuman mati dalam Undang-Undang Psikotropika. Bagaimana kalau Undang-Undang tersebut ditambal sulam dimasukkan sanksi berupa hukuman mati ke dalamnya? Masih tetap tidak dapat menjaring mereka yang dituntut oleh masyarakat itu, karena dihadang oleh Pasal 1 ayat 2 dalam KUHP: "Apabila ada perubahan peraturan perundangan sesudah perbuatan itu dilakukan, maka haruslah dipakai aturan yang ringan bagi tersangka." Kalau demikian Undang-Undang Psikotropika direformasi, dibuat Undang-Undang yang baru, yaitu Undang-Undang Anti Narkoba. Inipun dihadang oleh sebuah visi bahwa tidak perlu membuat banyak-banyak Undang-Undang. Sebab yang penting adalah pelaksanaan Undang-Undang yang baik. Lebih baik Undang-Undangnya jelek tetapi yang menjalankan Undang-Undang itu baik, ketimbang Undang-Undangnya yang bagus, tetapi yang menjalankannya tidak baik. Visi tersebut bertentangan dengan prinsip orientasi luaran yang bernilai tambah seperti dikemukakan oleh Al Quran dan budaya bangsa. Jadi seharusnya ialah Undang-Undang yang baik dan pelaksanaannya yang baik. Ini barulah namanya berorientasi luaran yang bernilai tambah.

Namun apabila dibuat Undang-Undang Anti Narkoba yang baru dengan sanksi berupa hukuman mati, itupun tidak dapat menjaring para penjahat pengedar Narkoba yang ada sebelum Undang-Undang baru itu lahir karena dihadang oleh ketentuan bahwa Undang-Undang tidak boleh berlaku surut, yang digariskan oleh Pasal 1 ayat 1 KUHP: "Sesuatu perbuatan tidak dapat dihukum selain atas kekuatan aturan Pidana dalam Undang-Undang, yang diadakan sebelum perbuatan itu terjadi." Dasar filosofi Pasal 1 ayat 1 KUHP konon berasal dari nyanyian Paul Johann Anselm von Feurbach (1775 - 1833), seorang jurist dan filosof berbangsa Jerman, spesialist dalam Kriminologi dan orang yang mula pertama mengilmiyahkan atheisme. Ia bernyanyi seperti berikut:

Nulla poena sine lege
Nulla poena sine Crimine
Nullum Crimen
sine poena legali

artinya:
Tak ada hukuman, tanpa Undang-Undang
Tak ada hukuman, tanpa kejahatan
Tak ada kejahatan,
tanpa hukuman berdasar Undang-Undang

Syahdan, tidaklah dapat dijaring para penjahat pengedar Narkoba seperti Alfred yang ditangkap basah Lettu Pol Jamila Andy misalnya, jika tetap "mensakralkan" nyanyian Feurbach (dibaca: Foirbakh), yang dilulur bulat-bulat dalam KUHP made in Holland (Wetboek van Strafrecht, lahir 1 Januari 1918, yang masih dipakai sekarang ini, berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945), yang menggariskan: Undang-Undang tidak boleh berlaku surut tersebut. Oleh sebab itu dalam KUHP made in Indonesia yang sudah lama digodok dalam DPR sejak Orde Baru, dimasukkanlah substansi yang berikut: "Menyangkut tindak pidana Narkoba, Korupsi dan Hak Asasi Manusia haruslah peraturan perundangan dinyatakan berlaku surut selama 20 tahun." Seharusnya hari peringatan HAM kemarin itu menjadi cambuk bagi DPR dan Pemerintah supaya KUHP made in Indonesia itu diselesaikan secepat-cepatnya, sehingga para pelanggar HAM selama dan sesudah DOM di Aceh dapat dijaring dengan Undang-Undang HAM.

Bertahun-tahun lalu saya pernah berbincang-bincang dengan Prof. MG Ohorella yang baru saja pulang dari p. Seram sehubungan dengan penobatan beliau sebagai Raja. Dalam berbincang-bincang itu beliau berkata, bahwa ada seorang pakar ilmu hukum (saya sudah lupa-lupa ingat nama pakar itu) yang sangat ketat memegang prinsip: Hukum harus ditegakkan sekalipun "langit" akan runtuh. Prinsip yang dinyatakan dalam gaya hiperbolis itu saya baca pula baru-baru ini dalam tulisan Siswanto Sunarso, anggota DPRD Tingkat I Sulsel yang berjudul: Main Hakim Sendiri terhadap Pelaku Kejahatan (FAJAR, edisi Selasa 7 Desember 1999, halaman 4).

Mengenai penggalan kedua dari judul di atas akan dibahas singkat saja. Prinsip hukum harus ditegakkan sekalipun "langit" akan runtuh, adalah prinsip menjadikan hukum sebagai panglima. Sebenarnya tidaklah mesti selalu hukum yang menjadi panglima, karena sewaktu-waktu politik perlu pula menjadi panglima. Jadi lihat sikonnya. Buat apa menjalankan hukum secara ngotot kalau "langit" akan runtuh. Pelaksanaan DOM di Aceh itu berdasar atas hukum dijadikan panglima. Maka runtuhlah "langit" di Aceh, yaitu pelanggaran HAM. Alhasil, haruslah prinsip orientasi luaran yang bernilai tambah yang dipegang. Menghadapi Aceh haruslah menjadikan politik sebagai panglima, jangan hukum yang dijadikan panglima, sebab "langit" akan runtuh, seperti terjadi selama dan sesudah DOM. Walla-hu a'lamu bishshawa-b.

*** Makassar, 12 Desember 1999