5 Desember 1999

401. Wasilah Da'wah

Dalam menghadapi bulan Ramadhan DPP IMMIM melaksanakan kegiatan Refreshing Muballigh, pada hari Kamis 24 Sya'ban 1420 H, 2 Desember 1999. Penulis kolom ini mendapat amanah memberikan materi Wasilah Da'wah, yang sebagian dari padanya dinukilkan dalam seri ini. Dalam Seri 399 yang berjudul: Wasilah dan Paradigma Ilmu telah dijelaskan bahwa wasilah berarti perantara. Orang-orang Arab pada zaman jahiliyah ada yang menyembah berhala, namun ada pula yang tidak menyembah berhala melainkan menjadikan berhala itu sebagai wasilah dalam menyembah Allah. Dalam Al Quran Allah hanya mengabulkan do'a hambaNya jika ditujukan langsung kepadaNya tanpa perantara disertai dengan syarat: AJYB DA'WATA ALDA'A ADZA D'AAN FLYSTJYBWA LY WLYW"MNWA BY (S. ALBQRT, 186), dibaca: Uji-bu da'watad da-'i idza- da'a-ni falyastaji-bu- liy walyu"minu- bi- (S. albaqarah), artinya: Aku perkenankan permohonan (do'a) pemohon (pendo'a) apabila bermohon (berdo'a) kepadaKu, namun (dengan syarat) haruslah mengikuti perintahKu dan beriman kepadaKu (S. Sapi betina, 2:186).

Wasilah atau perantara dalam bahasa Indonesia yang diserap dari bahasa barat disebut media. Bentuk kata ini sebenarnya bentuk jama', bentuk tunggalnya adalah medium. Akan tetapi dalam bahasa Indonesia bentuk kata media dipakai baik dalam bentuk tunggal maupun jama'.

Kita dapat baca kata da'wah dalam ayat (2:186) yang dikutip di atas, yaitu dalam bacaan: da'watad da-'i. Kurang begitu jelas kelihatan kata da'wah, karena konsonan d sesungguhnya mesti dilekatkan pada da-'i, jadi da'wata dda-'i. Bunyi ta apabila ada di akhir kata yang berdiri sendiri dibaca: h. Jadi da'wata dibaca da'wah kalau berdiri sendiri atau di akhir perhentian kalimat yang diucapkan. Dalam ayat (2:186) da'wah berarti permohonan, karena ditujukan kepada Allah. Apabila da'wah ditujukan kepada sesama manusia berarti himbauan. Secara substantif kedua terjemahan itu menujukkan bahwa si pemohon ataupun si penghimbau tidaklah mempunyai otoritas atas kepada siapa permohonan ataupun himbauan itu ditujukan. Demikianlah seluk-beluk kedua kata yang membentuk judul di atas.

Demikianlah seorang muballigh (penyampai) ataupun da'i (penghimbau) harus dapat menyadari posisinya bahwa ia tidak berada di atas orang yang dihimbaunya, tidak mempunyai otoritas atas mereka, tidak dapat memerintah mereka. Sehingga seorang muballigh ataupun da'i tidak dapat melakukan amar ma'ruf nahi mungkar (memerintahkan kebajikan, mencegah kemungkaran). Ia hanya dapat yad'u-na ilal khayr (menghimbau, menyampaikan nilai-nilai kebajikan). Oleh sebab itu orang mengenal dua jenis organisasi, yaitu organisasi da'wah dan organisasi (baca: partai) politik. Organisasi da'wah tidak termasuk dalam sistem kekuasaan, seperti misalnya MUI, Muhammadiyah, NU dll, jadi tidak dapat memerintahkan kebajikan dan mencegah kemungkaran. Partai politik termasuk dalam sistem kekuasaan, sehingga dapat memerintahkan kebajikan dan mencegah kemungkaran jika Parpol itu menang dalam Pemilu. Sayangnya ummat Islam masih banyak yang tidak menyadari hal ini, sehingga tidak dapat memerintahkan kebajikan menurut nilai Islam, oleh karena tidak atau belum mau mengelompokkan diri dalam partai yang berasaskan Islam.

Hanya pada kesempatan tertentu seorang muballigh dapat menyampaikan pesan-pesan secara langsung kepada ummat yang jumlahnya ratusan ataupun ribuan. Itu hanya dapat dilakukan pada kesempatan membacakan khuthbah Jum'at, khuthbah 'Iydu lFithri dan 'Iydu lQurban, serta pada peringatan hari-hari besar Islam yang lain, seperti peringatan Mawlid dan Isra-Mi'raj Nabi Muhammad SAW. Sedangkan pada kesempatan lain yang lebih sering muballigh menyampaikan pesan-pesan secara langsung hanya terbatas kepada jumlah ummat yang sedikit, seperti dalam pendidikan formal, paling banyak yang mengisi ruang aula.

Oleh sebab itu muballigh dalam keadaan biasa hanya dapat menyampaikan pesan-pesan secara tidak langsung dengan memakai wasilah: media cetak, media elektronik dan kesenian. Wali Songo mempergunakan cerita wayang dengan gamelan sebagai wasilah da'wah. Cerita wayang itu dimodifikasi sedemikan rupa sehingga dapat berwujud da'wah Islam, seperti misalnya mengintroduser senjata pamungkas yang paling tangguh yang disebut senjata Kalimasodo, yang maksudnya tidak lain dari Kalimah Syahadatain. Substansi pesan-pesan yang disampaikan hanya dapat mengenai sasarannya jika keluar sepenuhnya dengan ikhlas dari qalbu muballigh. Apabila pesan-pesan itu keluar dari sektor shadru dari qalbu (hati nurani) para muballigh, maka pesan-pesan itu akan menghunjam masuk juga ke dalam hati nurani pendengarnya. Jika pesan-pesan itu keluar dari sektor fuad dari qalbu (nalar) para mubaligh, maka pesan-pesan itu akan termakan dengan baik oleh nalar pendengarnya.

Kesenian adalah wasilah yang paling cocok untuk substansi yang berhubungan dengan hati nurani. Rhoma Irama dengan lagu dangdutnya, Ainun Najib dengan Kiyai Kanjengnya merupakan wasilah di bidang musik dewasa ini yang populer. Hanya sayangnya lagu-lagu dangdut mempunyai irama yang genit, merayu dan vulgar (irama India), sehingga tidak begitu cocok untuk wasilah da'wah. Buktinya lagu-lagu dangdut itu pada umumnya menjurus kepada rangsangan kekerasan dan libido kaum remaja. Sebenarnya lagu-lagu jenis keroncong dan seriosa yang cocok sebagai wasilah da'wah. Sayangnya lagu-lagu seriosa tidak merakyat, sedangkan lagu-lagu keroncong yang pernah merakyat itu dikalahkan oleh lagu-lagu dangdut. Menjadi tantangan bagi seniman Muslim untuk menggubah lagu-lagu keroncong sebagai wasilah da'wah. Di Tugu di pinggiran Jakarta ada komunitas saudara-saudara sebangsa kita yang beragama Nasrani, konon turunan dari bangsa Portugis, yang memakai lagu keroncong sebagai musik dalam gereja. Walla-hu a'lamu bishshawa-b. *)

*** Makassar, 5 Desember 1999