4 Juli 1999

379. Nabi Muhammad SAW Sebagai Diplomat dan Negarawan

Ada dua thema yang biasa dikemukakan dalam memperingati mawlid ataupun mawlud Nabi Muhammad RasuluLlah SAW, pertama:
-- W MA ARSLNK ALA RhMt LL’ALMYN (S.ALANBYAa, 107) dibaca: wama- arsa1na-ka illa- rahmatal lil'a-lami-n (s. alanbiyai), artinya: tidaklah Kami mengutusmu (hai Muhammad) melainkan untuk rahmat semesta alam. Kedua:
-- LQD KAN LKM FY RSWL ALLH ASWthSNt (S. ALAHZAB, 21), dibaca: laqad ka-na lakum fi- rasu-luLla-hi uswatun hasanah (S. al ahza-b), artinya: Sesungguhnya pada rasul Allah ada panutan yang baik bagimu.

Seri 378 yang baru lalu mengambil thema ayat (21:107) kutipan pertama di atas, sedangkan Seri 379 mengambil thema ayat (33:21) kutipan kedua di atas. Panutan yang baik tersebut dibatasi dalam hal Nabi Muhammad SAW sehagai diplomat dan negarawan yang mempunyai visi yang mendalam dan jangkauan ke depan. Saya pikir para anggota MPR yang baru secara obyektif sangatlah patut mengadakan penilaian di antara Habibie dengan Megawati dengan memakai kriteria diplomat dan neagarawan yang mempunyai visi tersebut sebagai tolok ukur evaluasi. Yang jelas Megawati tidak mempunyai visi yang stabil dalam konteks amandemen UUD-1945, pada mulanya ngotot tidak mau mengubah, lalu belakangan ini sudah mau mengubah. Jadi visinya dipengaruhi oleh situasi politik, bukan visi yang menjadi pedoman dalam mengambil keputusan politik.

RasuluLlah SAW mempunyai visi bahwa kelak negara-kota Madinah akan melebar mencakup negara-kota Makkah yang masih dikuasai oleh qaum kafir Quraisy. Visi Nabi Muhammad SAW akhirnya mendapatkan pembenaran dari Allah SWT, dengan turunnya ayat:
-- LQD SHDQ ALLH RSWLH ALRaYA BALhQ LTDKHLN ALMSJD ALhRAM ANSYAa ALLH AMNYN (S. ALFTH, 27), dibaca: laqad shadaqaLla-hu rasu-lahur ru'ya- bil haqqi latadkhulannal masjidal hara-ma insya-Alla-hu a-mini-n (s. alfath), artinya: Sesungguhnya Allah telah menyatakan pembenaran ru’yah (visi) rasulNya yang benar, yaitu demi sesungguhnya engkau akan masuk ke Al Masjid Al Haram insya Allah dengan aman (48:27).

Karena ayat (48:27) tersebut tidak menyebutkan waktu bilakah visi itu akan menjadi kenyataan, maka Nabi Muhammad SAW dengan beberapa sahabat berangkat ke Makkah dalam musim haji untuk mengadakan penjajakan. (Upacara haji ini yang dilakukan oleb orang-orang Arab penyembah berhala, menunjukkan bahwa masih ada Syari’at Nabi Isma'il AS yang membekas dalam kalangan orang-orang Arab penyembah berhala tersebut. Upaya penjajakan itu merupakan langkah kemenangan diplomatik Nabi Muhammad SAW dengan disepakatinya Perjanjian Hudaibiyah antara negara-kota Madinah dengan negara-kota Makkah. Kemenangan diplomatik dalam wujud Perjanjian Hudaibiyah (disebut demikian karena permusyawaratan diplomatik itu mengambil tempat di Hudaibiyah) bukan hanya sekadar karena adanya diktum dalam perjanjian itu bahwa tahun berikutnya ummat Islam dari Madinah diperbolehkan masuk ke Al Masjid Al Haram dengan aman, melainkan yang tidak kurang pula pentingnya ialah adanya pengakuan negara-kota Makkah atas eksistensi negara-kota Madinah.

Ada hal yang menarik dalam musyawarah diplomatik tersebut baik dalam hal substansi maupun dalam hal proses, yang memperlihatkan visi yang mendalam dan jangkauan ke depan dari Nabi Muhammad SAW sebagai seorang diplomat dan negarawan yang sepintas lalu kelihataannya hasil perjanjian itu memenangkan pihak negara-kota Makkah, bahkan dalam pandangan para sahabat, termasuk ‘Umar ibn Khattab, berpandangan demikian pula, yaitu pihak negara-kota Madinah terletak di bawah angin.

Tatkala Nabi Muhammad SAW menginstruksikan kepada salah seorang juru—tulis beliau, yaltu ‘Ali bin Abi Thalib RA: ‘Tuliskan, BSM ALLH AL RhMN AL RhYM, dibaca: bismiLlahir rahma-nir rahi-m. Suhail utusan dari negara-kota Makkah menyela menyatakan ketidak setujuannya, ia berkata: Allah kita kenal, tetapi apa itu arrhma-n dan arrahi-m, saya tidak kenal (Orang ‘Arab pra-Islam sudah mengenal Allah, ajaran tawhid yang masih terpelihara dari Nabi Isma'il AS. buktinya ayahanda Nabi Muhammad SAW bernama Abdullah, artinya abdi Allah). Maka RasuluLlah SAW menanyakan apa maunya Suhail. Lalu Suhail mengusulkan: "Tuliskan saja seperti menurut yang biasa dipakai oleh nenek moyang kita, Bismika Allahumma" (artinya atas namamu, ya Allah). Usul Suhail diterima. Kemudian Nabi Muhammad SAW melanjutkan: “Tuliskan lebih lanjut, inilah perjanjian antara Muhammad RasuluLlah,” baru saja sampai di situ ucapan RasuluLlah SAW, Suhail memotong: “Hai Muhammad. justru engkau menyatakan dirimu utusan Allah, maka kita perang. Tuliskan saja Muhammad bin Abdullah". RasuluLlah SAW menerima lagi usul amandemen Suhail tersebut. Yang dianggap paling merugikan pihak negara-kota Madinah, baik dalam pandangan para sahabat, maupun dalam pandangan utusan negara-kota Makkah ialah diktum dari Perjanjian Hudaibiyah yang berikut: Apabila ada warga Makkah yang melarikan diri ke Madinah, maka pihak Makkah berhak mengambil kembali pelarian itu. Jika ada warga Madinah yang ke Makkah, maka pihak Madinah tidak mempunyai hak untuk mengambilnya kembali ke Madinah.

Setelah utusan Makkah Suhail meninggalkan tempat, maka RasuluLlah SAW menjelaskan: BSMALLHALRHMNALRHYM, dibaca: bismiLlahir rahma-nir rahi-m, diganti dengan Bismika Allahumma, secara substantif tidak ada perbedaannya, keduanya mengandung makna atas nama Allah. Demikian pula Muhammad RasuluLlah diganti dengan Muhammad bin Abdullah, secara substantif tidak ada perbedaanya juga, keduanya mengandung Allah dan Muhammad. Tentang diktum yang dinilai merugikan pihak negara-kota Madinah, bahwa di dalam diktum itu tersirat kemenangan diplomatik Nabi Muhammad SAW. Apa yang sesungguhnya yang tersirat ialah para da’i dari Madinah dengan bebas pindah ke Makkah, menyebarkan Islam dalam negara kota tersebut. Warga Makkah yang masuk Islam (hasil dari penyusup resmi para da’i dari Madinah tadi itu), tidak melarikan diri ke Madinah, melainkan membentuk komunitas pemukiman di luar kota Madinah, sehingga mereka itu tidak terikat oleh Perjanjian Perdamaian Hudaibiyah. WaLlahu a'lamu bisshawab.

*** Makassar, 4 Juli 1999