25 Juli 1999

382. Lupa Sumpah dan Ingkar Sumpah

Dalam halaman opini harian FAJAR, edisi 23 Juli 1999, Ahkam Jayadi, yang mengaku dirinya pemerhati masalah ketatanegaraan, antara lain menulis: "Bahwasanya isu-isu agama Islam yang digulirkan oleh partai-partai Islam selama ini ternyata tidak didengar atau tidak diperdulikan oleh um(m)at Islam itu sendiri, sebuah ironi memang."

Pernyataan yang berwarna sindiran yang senada dengan Ahkam Jayadi tersebut sering saya jumpai. Maka sayapun merasa terpanggil untuk menyambut gayung sindiran itu.

Ummat Islam yang tidak pemah meninggalkan shalat wajib (termasuk Ahakam Jayadi?) dalam 24 jam sekurang-kuranguya 5 kali bersumpah:
-- AN SHLATY WNSKY WMhYAY WMMTY LLH RB AL’ALMYN, dihaca: inna shala-ti- wanusuki- wamahya-ya wamamati- lilla-hi rabbil 'a-lami-n, artinya: Sesungguhnya shalatku, persembahan pengorbananku, hidupku dan matiku adalah untuk Allah Pemelihara semesta alam.

La]u mengapa tidak kurang jumlahnya ummat Islam yang shalat melanggar sumpahnya, seperti mencuri, korupsi, merampok dan seribu satu jenis kekejian, yaitu lawan dari persembahan, pengorbanan hidup dan mati untuk Allah?!
Bukankah:
-- AN ALSHLWT TNHY 'AN FHSYAa WALMNKR (S. AL'ANKBWT, 29:45), dihaca: Innash shah-ta tanha- 'anil fahsya-i wal ungkari (s. al'ankabu-t), artinya: Sesungguhnya shalat itu mencegah berbuat keji dan mungkar.

Orang melanggar sumpah yang diucapkannya dalam shalat karena pekerjaan iblis dan bala-tenteranya yang disebut syaithan. Orang melanggar sumpah lalu berbuat keji karena setan membuat ia lupa akan sumpahnya. Adapun pcngaruh yang lebih hebat lagi jika orang melanggar sumpah karena ingkar. Ia bersumpah dalam shalatnya semua karena Allah, Allah yang diprioritaskan, akan tetapi ia ingkar, yaitu menempatkan nilai-nilai wahyu dan Allah di bawah nilai kebangsaan.

Apakah ada yang menempatkan nilai-nilai wahyu dibawah nilai kebangsaan? Bung Karno pada mulanya demikian. Pancasila menurut konsep Bung Karno pada 1 Juni 1945 menempatkan substansi beban pada nomor satu, sedangkan substansi ketuhanan pada nomor lima. Boleh jadi Bung Karno menyadari akan sumpahnya di dalam shalat, sehingga pada waktu dirumuskan Piagam Jakarta pada 22 Juni 1945, ia menerima perubahan menempatkan substansi ketuhanan dalam nomor satu, kemudian substansi kemanusiaan, barulah substansi kebangsaan. Sayangnya dalam batang-tubuh UUD-1945, substansi kebangsaan masih dalam urutan nomor satu, mengikuti konsep Pancasila dari Bung Karno tanggal 1 Juni 1945 tersebut. Dari aspek asasi (baca: tidak memprioritaskan Allah) di samping aspek teknis dalam batang tubuh UUD-1945, maka perlu sekali mengadakan amandemen UUD-1945 baik dari segi substansi maupun urutan Bab-Bab dan Pasal-Pasalnya.

Apakab masih ada sekarang yang ingkar akan sumpahnya di dalam shalat dalam wujud menempatkan kebangsaan di atas nilai-nilai agama (baca: wahyu)? Saya pikir masih banyak, di antaranya ialah Ahkam Jayadi sendiri. Bacalah penutup artikelnya: "Bagi saya apapun yang kita lakukan harus senantiasa bersandar pada Pancasila dan UUD-1945 barulah kemudian kita beralih kepada tatanan nilai-nilai agama yang kita anut sebagai um(m)at beragama, bulkan sebaliknya yaitu bersandar kepada tatanan mlai-nilai agama yang kita anut dalam mengkaji permasalahan yang dihadapi oleh bangsa dan negara ini”.

Sudah berulang kali dikemukakan dalam kolom ini bahwa ada dua jenis nilai, yaitu yang mutlak dan relatif. Tatanan nilai agama yang bersumberkan wahyu kebenarannya adalab mutlak karena bersumber dari Maha Sumber Yang Maha Mutlak. Tatanan nilai budaya (antara lain Pancasila) adalah suatu kebenaran relatif. Ia diterima sebagai kebenaran budaya oleh bangsa Indonesia berdasar atas kesepakatan bersama. Demokrasi sebagai kebenaran budaya tidak mempunyai batasan yang tegas secara universal. Demokrasi di zaman Yunani Kuno hanya sebatas untuk yang bukan budak. Demokrasi barat adalah demokrasi sekuler (secula artinya dunia, bermakna pemisahan antara negara dengan agama, scheiding lussen kerk en staat). Demokrasi di Indonesia adalah tentu saja adalah: Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Ummat Islam di Indonesia dapat menerima demokrasi yang deniikian itu. Bukan hanya sekadar karena berdasar atas kesepakatan, namun lebih dari itu, kata kunci dalam "Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan", yakni musyawarah berasal dari bahasa Al Quran, yang dibentuk oleh akar: syin-waw-ra, artinya mengeluarkan madu dari sarang lebah. Makanan lebah sari bunga yang bersih, madunyapun bersih dan bergizi. Demokrasi itu menurut tatanan nilai wahyu harus menghasilkan sesuatu yang seperti madu.

Kembali pada apa yang dikatakan Ahkam Jayadi bahwa ternyata isu-isu agama Islam yang digulirkan oleh partai-partai Islam selama ini ternyata tidak didengar atau tidak diperdulikan oleb um(m)at Islam itu sendiri, sebaiknya kita berkaca sejarah peta politik Pemilu yang jurdil tahun 1955. Parpol Islam Masyumi yang menempati posisi pertama berbasis massa di luar Jawa, Parpol kebangsaan PNI yang nomor dua herbasis massa di Jateng, Parpol Islam NU yang nomor tiga berbasis massa di Jatim dan Parpol kafir-marxisme PKI yang nomor empat berbasis massa di Jateng. (Jika kedua Parpol yang berbasis massa di Jateng ini digabungkan suaranya, maka akan herposisi nomor 1). Peta politik hasil Pemilu tahun 1955 itu tidak berbeda dengan peta politik hasil Pemilu tahun l999 kini. Walaupun Pak Habibie dihujat oleh lawan-lawan politlknya sebagai perpanjangan tangan Orde Baru, namun Partai Golkar dapat berposisi nomor 2 (22,4%), karena Pak Habibie, yang dijadikan calon tunggal oleh Partai Golkar, adalah mantan Ketua ICMI. Sedangkan Ibu Megawati, walaupun ia perpanjangan tangan ayah dan gurunya (baca: Soekano-Orde Lama), PDlP yang berbasis massa di Jateng berposisi nomor l(33,7%). Tidak berbeda dengan peta polilik 1955 kedua Parpol (PNI dan PKI) yang berbasis massa di Jateng berposisi nomor 1 jika digabungkan suaranya. Demikianlah kenyataan palu godam sejarah peta politik 1955 dengan l999 yang tidak berubah, alias status quo. WaLlahu a'lamu bisshawab.

*** Makassar, 25 Juli 1999