11 Agustus 1996

236. Memancing di Air Keruh

Para nelayan yang menangkap ikan dengan pancing akan bergembira, berharap penuh akan dapat mengail ikan banyak-banyak, jika air di kuala sedang keruh. Ikan-ikan yang berenang berlalu-lalang dalam air yang keruh tidak akan dapat membedakan makanan yang bebas melayang-layang di dalam air dengan makanan yang berupa umpan yang dikaitkan pada pancing. Maka dalam air yang keruh banyaklah ikan yang kena pancing, karena umpan yang dilahapnya itu dikiranya makanan biasa yang tidak berbahaya. Nenek-nenek moyang kita dahulu telah mengkaji fenomena ini sehingga lahirlah peribahasa: Memancing di air keruh.

Bukan ikan saja yang mudah terpancing di air keruh, manusiapun akan mudah terpancing dalam suasana politik yang keruh. Pada ikan, yang memancing adalah tukang pancing, sedangkan air atau kuala yang keruh bukanlah tukang pancing yang membuatnya demikian. Kuala memang sudah keruh, tukang pancing hanya memanfaatkan kekeruhan air untuk mendapatkan ikan hasil pancingan yang banyak.

Akan tetapi dalam hal manusia yang memancing manusia, suasana politik yang keruh direkayasa, atau akibat kebijakan yang keliru (blunder). Dalam hal yang pertama, yang memancing dan yang merekayasa kekeruhan politik dilakukan oleh golongan yang sama, sedangkan dalam hal yang kedua, lain golongan yang memancing, lain pula yang membuat kebijakan yang keliru. Dalam hal yang kedua ini tukang pancing biasa disebut dengan golongan yang membonceng atau menunggangi.

Apa yang terjadi baru-baru ini, yakni malapetaka 27 Juli, adalah buah suasana politik yang keruh. Apabila ditilik dengan pikiran yang jernih, blunder yang mengakibatkan kekeruhan politik itu berpangkal dari orang intern PDI sendiri, yaitu Fatimah Ahmad dkk. Lalu terjadilah rentetan yang beruntun yang terkait: Kongres Medan - dua kubu kepemimpinan dalam tubuh PDI - mimbar bebas - tawuran antara penyerbu dari pihak kubu Suryadi melawan yang bertahan dari pihak kubu Megawati - melebar menjadi malapetaka 27 Juli.

Seperti yang diumumkan secara resmi dan formal oleh pihak yang berwajib, malapetaka 27 Juli ditunggangi oleh Partai Rakyat Demokratik, yang berupaya membangkitkan kembali ideologi komunis. Lebih lanjut diinformasikan oleh yang berwajib bahwa PRD mempunyai organisasi payung (onderbouw) yaitu Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID), Pusat Perjuangan Buruh Indonesia (PPBI), Serikat Rakyat Indonesia (SRI), Serikat Tani Nasional (STN), dan Jaringan Kerja Kesenian Rakyat (Jakker).

Kita semua sama sekali tidak menginginkan akan terjadinya tragedi nasional lagi. Kita tidak ingin ditohok oleh komunis untuk yang ketiga kalinya. Kita ditohok yang pertama kali pada pemberontakan PKI Madiun, ditohok untuk kedua kalinya pada pemberontakan G.30S/PKI.

Setiap celaka ada gunanya, demikian peribahasa. Walaupun malapetaka 27 Juli mengakibatkan kerugian baik jiwa maupun harta benda, namun ada pula hikmahnya. Yaitu organisasi-organisasi dan LSM-LSM dapatlah disaring sehingga dapat dibedakan mana organisasi dan LSM yang mebahayakan Negara Republik Indonesia, dan mana organisasi dan LSM yang korektif membangun, yang benar dikatakan benar, yang salah dikatakan salah. Yang pertama menyalah-gunakan keterbukaan untuk tujuan yang destruktif, sehingga tidak mempunyai hak untuk hidup dalam Negara Republik Indonesia. Sedangkan yang kedua memanfaatkan keterbukaan untuk tujuan yang konstruktif, dengan sikap berani karena benar, takut karena salah, sehingga eksistensinya perlu dipelihara baik oleh masyarakat maupun oleh yang berwajib. Tolok ukur mengenai benar adalah yang sesuai dengan nilai dasar pada Pembukaan UUD-1945 dan sesuai pula dengan Kaidah Agama. Sebaliknya yang disebut salah ialah yang bertentangan dengan nilai dasar dan bertentangan dengan Kaidah Agama.

Sehubungan malapetaka 27 Juli itu terasa perlu untuk mengutip pernyataan politik DPP PPP yang antara lain seperti berikut. DPP PPP mengecam dan sangat menyesalkan terjadinya kerusuhan 27 Juli beserta seluruh rangkaian yang melatar-belakangi persitiwa tersebut dan mendesak pemerintah untuk mengambil tindakan tegas terhadap para pelakunya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Seluruh rakyat Indonesia perlu melakukan konsolidasi nasional dengan semangat dan jiwa kesatria, jujur dan berani melakukan introspeksi dan koreksi terhadap kekurangan dan penyimpangan yang masih dirasakan selama ini. Penyimpangan dan kekurangan yang dimaksud adalah dalam keadilan politik, keadilan sosial dan ekonomi, keadilan hukum dan keadilan di bidang lainnya.

Terakhir kiranya perlu dikemukakan di sini nilai-nilai sub-kultur dalam Kelong Rambang-Rambang yang telah pernah ditulis dalam Seri 139. Kelong Rambang-Rambang ini umurnya sudah tua. Dahulu di Selayar pakelong (penyanyi solo) yang diiringi dengan biola dan rebana disebut Parambang-rambang, oleh karena "orkes" tradisional itu selalu dibuka dengan Rambang-Rambang.

Rambang-Rambang

Ikkattepa ssamaturu'
Pakabajiki boritta
Naki'rambangang
Ansombali mate'nea

Teaki naparakatte
Sigea' siganra-ganra
Nalewa lino
Naamang pa'rasanganta

Mari membina kesepakatan
Membangun negeri kita
Berlomba berdampingan
Berlayar menuju bahagia

Janganlah di antara kita
Tumbuh silang-sengketa
Agar tercapai kestabilan
Amanlah kampung-halaman

Adapun membina kesepakatan, membangun negeri, berlomba berdampingan, jika ditarik ke atas akan terkait pada Qaidah Agama Ta'a-wanaw 'alay lBirri, tolong-menolonglah kamu berbuat baik. Selanjutnya menjauhi silang-sengketa akan terkait pada Qaidah Agama La- Ta'a-naw 'alay lItsmi wa l'Udwa-ni, janganlah kamu bertolong-tolongan berbuat dosa dan agressi. Adapun lengkapnya Qaidah Agama itu:

Ta'a-wanaw 'alay lBirri wa tTaqway wa la- Ta'a-naw 'alay lItsmi wa l'Udwa-ni (S.Al Ma-idah 2). Tolong-menolonglah kamu berbuat baik dan taqwa, dan janganlah kamu bertolong-tolongan berbuat dosa dan agressi (5:2). WaLlahu A'lamu bi shShawab.

*** Makassar, 11 Agustus 1996