10 November 1996

249. Distribusi dan Kepemilikan, Konglomerasi dan Dekonglomerasi

Judul di atas itu akan dibahas menurut pandangan Syari'at Islam dan hukum positif dalam Negara Republik Indonesia. Akan dikemukakan dua jenis nash, satu dari Firman Allah SWT dan satu dari Hadits RasuluLlah SAW.

Kay laa yakuwna duwlatan bayna l.aghniyaai minkum (S. Al Hasyr, 7), artinya: Agar supaya kedaulatan (ekonomi) itu tidak hanya berputar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu (59:7).
Hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Dawud dari Abu Khirasyi: Annaasu syurakaau fiy tsalaatsin almaai wannaari walkalaai. Manusia secara bersama-sama mempunyai hak atas tiga (sumberdaya alam): air, api dan rumput.

AlhamduliLlah, ayat (59:7) oleh bangsa Indonesia telah dijadikan hukum positif dalam wujud GBHN seperti dinyatakan dalam urutan pertama Trilogi Pembangunan: Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya dengan lebih memberi peran kepada rakyat untuk berperan serta aktif dalam pembangunan. Sedangkan Hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Dawud tersebut, sebelum Trilogi Pembangunan telah lebih dahulu menjadi hukum positif yang sumber hukumnya lebih tinggi dari GBHN, yaitu dalam UUD-1945, Fasal 33, ayat 3: Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran Rakyat.

Syari'at Islam menghendaki modal itu tidak boleh hanya beredar dalam kalangan pemodal besar saja. Pembangunan yang merata menuntut pula pemilik modal yang merata dalam kalangan rakyat banyak, yang menyebabkan terciptanya lapangan kerja, sehingga hasil-hasil pembangunan merata pula. Usaha perdagangan dan industri dalam skala modal besar diperlukan dalam persaingan pasar bebas di luar negeri dalam era globalisasi. Pemodal kecil dalam skala perdagangan dan industri kecil sasarannya adalah pasar dalam negeri, industri kecil ada pula yang dapat berperan dalam pasar bebas di luar negeri, yaitu menjadi sub-kontraktor dari perusahaan pemodal besar untuk memproduksi komponen-komponen yang konstruksinya mudah. Ini yang dikenal dengan sistem payung (umbrella system).

Mekanisme distribusi dalam negeri disalurkan melalui koperasi dan pedangan-pedagang kecil, seumpama pedagang beras. Ibarat dalam tubuh manusia jika terjadi penyempitan dalam pembuluh darah, akan terjadi tekanan darah tinggi. Pedagang-pedagang beras inilah yang melancarkan peredaran uang dalam kalangan bawah sehingga tidak terjadi penyakit tekanan darah tinggi dalam skala ekonomi mikro. Tempo doeloe kita lihat bagaimana lancarnya peredaran uang dan terciptanya lapangan kerja dalam sektor informal oleh para pedagang beras ini. Saya masih ingat almarhum paman saya yang semasa hidupnya menakodai perahu pinisi' Soegimanai mengangkut beras dari Sulawesi Selatan, kemudian tatkala kembali mengangkut barang dagangan kelontong. (Almarhum paman saya ini juga seorang sastrawan membuat novel berbahasa daerah beraksara lontara' berjudul Pau-pauanna Nabbi Yusupu', Hikayat Nabi Yusuf. Sayang sekali novel itu tidak sempat disalin, sehingga ikut hancur bersama perahu pinisi' bersama nakhoda dan anak perahu kena ranjau, disaksikan oleh awak perahu pinisi' yang berlayar di belakangnya di laut sekitar perairan Surabaya tahun 1943).

Sumber-sumber daya alam yang vital perlu dikuasai oleh negara. Air baik sebagai keperluan irigasi maupun sebagai sumber energi, bahan bakar (baca: api), padang rumput untuk ternak jika tidak dikuasai oleh negara dapat menjadi penyebab tidak lancarnya distribusi peredaran darah kehidupan bagi petani-petani dan pengusaha kecil. Seumpama padang rumput yang dikuasai oleh pemodal besar, maka para peternak kecil-kecil dalam kalangan rakyat dapat dikontrol oleh pemodal besar ini. Amanah GBHN untuk memberi kepada rakyat untuk berperan serta aktif dalam pembangunan hanya tinggal dalam teori.

AlhamduliLlah kini mulai muncul pendapat yang mengoreksi konglomerasi. Mereka mengemukakan alasan, ada yang meninjaunya secara pragmatis, dan ada pula yang melihatnya dari segi nilai keadilan. Presiden Direktur Kelompok Usaha Bakri Brothers Tanriabeng melihatnya dari segi pragmatis. Ia menawarkan dekonglomerasi untuk dapat bermain di pasar bebas. Menurut saya bermain di pasar bebas itu perlu tetapi belum cukup. Selain memandang keluar, jangan lupa memandang ke dalam, yaitu distribusi peredaran uang dalam kalangan bawah, seperti yang dikehendaki oleh ayat (59:7). AlhamdulIlah, pendapat Tanriabeng itu diperlengkap oleh Ketua Jurusan Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Faisal Basri. Dalam memandang dekonglomerasi ia lebih menekankan pada stuktur perekonomian nasional kita yang amat timpang. Hanya sebahagian kecil orang yang menguasai sebahagian besar aset ekonomi nasional. Karena itu dari segi keadilan konglomerasi itu sama sekali tidak benar dan harus diubah. Pemerintah harus mendorong upaya dekonglomerasi, demikian Faisal.

Konglomerasi berasal dari bahasa Inggris conglomeration yang berarti a heterogeneous combination, anything composed of heterogeneous materials or elements, kombiansi yang heterogen, apa saja yang terdiri atas sejumlah material atau unsur-unsur yang heterogen. Yang disebut apa saja misalnya seperti kumpulan berjenis-jenis benda-benda langit yang dalam ilmu falak disebut galaxy. Ataupun dalam geologi misalnya, seperti batu-batuan, kerikil dan sebangsanya yang terekat menjadi batu karang. Dalam bahasa Indonesia pelaku konglomerasi disebut konglomerat. Istilah konglomerat dan konglomerasi mengalami pergeseran makna yang menyempit. Konglomerasi terkhusus hanya pada pengelompokan berjenis-jenis usaha dagang ataupun industri dalam satu tangan oleh konglomerat. Konglomerasi dalam usaha dagang dan industri itu pada prinsipnya secara kejiwaan tidaklah terlepas dari nafsun ammarah yang membentuk sifat asli manusia untuk tidak puas-puasnya. Secara teknis pragmatis timbulnya konglomerasi berdasar atas pertimbangan fluktuasi pasar di antara jenis usaha yang dikelompokkan itu. Secara bergantian dalam intern konglomerasi itu unsur jenis usaha yang sedang mengalami lesu pasar ditopang oleh unsur jenis usaha yang pasarnya sedang naik daun.

Kemampuan manusia itu diibaratkan volume silinder. Konglomerasi ibarat silinder yang luas permukaannya, sedangkan dekonglomerasi ibarat silinder yang sempit permukaannya. Untuk volume yang sama besarnya, silinder yang luas permukaannya akan menjadi dangkal (baca: ketidak-sungguhan managerial), sedangkan silinder yang sempit permukaannya akan menjadi dalam (baca: kesungguhan managerial). Alhasil untuk dapat bersaing dalam pasar bebas secara pragmatis perlu sekali dekonglomerasi: kesungguhan managerial. WaLlahu a'lamu bi shshawab.

*** Makassar, 10 November 1996