3 Juli 1994

134. Komentar terhadap Rujukan dan Pola Pikir yang Mendasari Reaktualisasi Munawir Syadzali

Seperti pengakuannya ada dua hal yang mendasari timbulnya gasasan reaktualisasi Munawir tersebut. Pertama sejak Munawir masih menjadi Menteri Agama ia merisaukan nash tentang pembahagian harta warisan dua bahagian untuk laki-laki dan satu bahagian untuk perempuan. Menurut Munawir hal itu tidak adil kalau dilihat masyarakat di Jawa Tengah, yang perempuannya aktif mencari nafkah, sedang laki-lakinya pasif saja di rumah. Yang kedua Munawir melihat (artinya bukan atas dasar penelitian) adanya sikap mendua di kalangan ummat Islam antara pendapat formal dengan perilaku sehari-harinya, seperti misalnya sikap terhadap bunga bank secara pemahaman formal menolak, namun secara realitas menjadi nasabah bank.

Persepsi Munawir tentang sikap mendua dalam hal bunga bank itu perlu diluruskan. Kalau ada ummat Islam yang menjadi nasabah, ialah karena mereka berpendapat bahwa bunga bank itu tidak identik dengan riba, sehingga menurut pendapat saya itu bukan sikap mendua seperti persepsi Munawir, melainkan itu adalah masalah khilafiyah. Reaktualisasi gagasan Munawir ini meletakkan posisi akal berada di atas nash. Untuk menguatkan pendapatnya dan untuk membela diri bahwa bukanlah dia yang pertama-tama bergagasan yang demikian itu, maka dalam Temu Kaji di lantai-3 FAJAR itu Munawir mengemukakan rujukan, seperti yang berikut ini:

  • Abu Yusuf: walau nash sekalipun kalau dahulu dasarnya adat dan adat itu telah berubah maka gugur pula hukum yang terkandung dalam nash itu.
  • Al Thufy: kalau terjadi tabrakan antara kepentingan masyarakat dengan nash serta ijma' maka wajib mendahulukan atau memenangkan kepentingan masyarakat atas nash atau ijma'.
  • Muh. Abduh: jika terjadi ketidak-cocokan antara nash dengan nalar maka hendaknya diambil mana yang sesuai dengan nalar.
  • Mustafa Al Maraghi dan Muh. Rasyid Ridha: hukum itu diundangkan semata-mata untuk kepentingan manusia, sedangkan kepentingan manusia itu dapat berbeda karena kepentingan zaman dan tempat. Oleh karenanya apabila suatu hukum diundangkan pada waktu kebutuhan itu mendesak tetapi di kemudian hari kebutuhan itu tidak ada lagi maka lebih bijaksana kalau hukum itu ditarik dan diganti dengan hukum lain yang sesuai dengan situasi terakhir dilihat dari segi kepentingan masyarakat.
Sikap berpikir dari ketiga ulama yang pertama di atas itu meletakkan akal manusia di atas wahyu. Ini sangatlah kontradiktif oleh karena kebenaran relatif hasil olah akal diletakkan di atas kebenaran mutlak (baca nash). Seperti dijelaskan dalam seri 133 hari Ahad yang lalu kebenaran hasil olah akal tergantung dari jumlah, mutu dan jenis informasi yang diperoleh pengolah akal. Sehingga apabila terjadi konflik antara wahyu dengan akal, maka itu berarti pada saat terjadinya konflik itu pengolah akal belumlah cukup mendapatkan informasi, baik dari segi jumlah, maupun dari segi mutu, ataupun dari segi jenisnya. Dan dalam keadaan yang demikian itu mestilah akal mengalah terhadap wahyu (baca nash), karena konflik itu temporer sifatnya. Tatkala pengolah akal itu telah mendapatkan informasi yang lebih besar jumlahnya, lebih tinggi mutunya dan lebih beragam jenisnya, maka akan hilanglah konflik itu.

Hal konflik temporer tersebut telah saya kemukakan dalam Seri 003, Interaksi Iman dan Ilmu, Pencemaran Thermal, 3 November 1991, seperti berikut: Allah berfirman dalam S. Yasin, 80, Alladziy Ja'ala lakum mina sySyajari lAkhdhari Na-ran faidza- Antum minhu Tuwqiduwna, yaitu Yang menjadikan bagimu api dari pohon yang hijau dan dengan itu kamu membakar. Menurut nalar, yang dibakar itu bukan yang berwarna hijau, melainkan yang kering, yang berwarna coklat. Dengan informasi yang bersumber dari ilmu fisika, kimia, botani dengan pengkhususan anatomi tumbuh-tumbuhan, hilanglah konflik antara nash dengan nalar, demikianlah secara singkat yang telah saya bahas dalam Seri 003 itu.

Adapun pendapat kedua ulama yang terakhir sebenarnya tidak begitu relevan untuk dijadikan rujukan oleh Munawir oleh karena tidak mengandung aspek konflik antara wahyu dengan akal. Untuk itu maka perlu sekali pendapat kedua ulama itu dipertegas dengan diberi berbingkai. Yaitu sepanjang hukum yang diundangkan itu tidak keluar dari hukum dasar yang ditentukan oleh syari'at.

Khusus keadaan masyarakat Jawa Tengah itu, bukanlah nash yang mesti disesuaikan dengan kondisi masyarakat, melainkan masyarakat Jawa Tengah yang menyimpang itu (perempuan mencari nafkah, laki-laki tinggal di rumah) harus diluruskan dengan social engineering (upaya mengubah kondisi masyarakat agar sesuai dengan tatanan yang diinginkan). Justeru itulah yang adil, karena adil bermakna menempatkan sesuatu pada tempatnya dan mengeluarkan sesuatu dari yang bukan pada tempatnya. Masyarakat Minangkabau pada zaman saisuak, yang berpola pada sistem matriarchat (dominasi perempuan), sudah lama berhasil berlaku adil dengan rumus: Ade' basandi syara', syara' basandi KitabuLlah. Kalau masyarakat Minang sudah berhasil berlaku adil sejak lama, mengapa masyarakat Jawa Tengah tidak?

Jadi kesimpulannya gagasan reaktualisasi Munawir perlu diluruskan. Nash tetap aktual dalam makna tekstual, kontekstual dan konsepsional. Bukanlah reaktualiasi ajaran Islam, melainkan reaktualisasi tatanan masyarakat dan reaktualisasi penalaran yang bertujuan menyesuaikannya terhadap nash yang selalu aktual. Bila terjadi situasi kemasyarakatan yang tidak sesuai dengan nash, bukanlah menolak nash, melainkan diupayakan, kalau perlu dengan melalui social engineering, mengubah tatanan masyarakat agar sesuai dengan nash. Seperti yang dilaksanakan oleh RasuluLlah mengubah tatanan masyarakat jahiliyah menjadi tatanan masyarakat yang sesuai dengan nash pada periode Madinah, yaitu pasca hijrah. Contoh kecil seamsal reaktualisasi sistem perbankan terhadap nash ialah dengan sistem bagi hasil sebagai alternatif dari sistem bunga. Dengan reaktualisasi sistem perbankan terhadap nash itu, maka tidaklah perlu lagi timbul permasalahan khilafiyah.

Kemudian apabila menjumpai konflik antara nash dengan nalar, maka berusahalah mencari informasi yang lebih banyak jumlahnya, lebih tinggi mutunya dan lebih beragam jenisnya, sehingga insya Allah akal kita akan dijernihkan Allah, maka akan sesuailah antara nash dengan nalar, seperti yang dicontohkan dalam Seri 003. WaLlahu a'lamu bishshawab.

*** Makassar, 3 Juli 1994