17 Juli 1994

136. Sang Peramal: I Jingkiriq

Sebenarnya sudah lama saya mempermasalahkan istilah peramalan dalam bidang ilmiyah, khususnya ramal-meramal dalam bidang produksi berdasar atas kecenderungan (trend) permintaan pasar sebelumnya. Ini bukan verbalisme, karena dari tahun ke tahun para mahasiswa yang mempertahankan skripsinya tampaknya betul-betul berkeyakinan penuh bahwa kalau trend bertahun-tahun sebelumnya misalnya polanya eksponensial, maka niscaya permintaan pasar yang akan datangpun eksponensial pula. Atau sekurang-kurangnya menambahkan persyaratan bahwa jika tidak ada faktor x, niscaya akan eksponensial. Jadi betul-betul mereka itu percaya akan ramalannya dan kalau demikian sikapnya itu, maka menurut sabda RasuluLlah SAW, tidak diterima shalatnya selama 40 hari. Itulah akibat sistem pendidikan yang sekuler yang memisahkan antara Iqra, bacalah, dengan Bismi Rabbika, atas nama Maha Pengaturmu.

Membaca trend masa lalu kemudian meramal dengan asumsi tidak ada faktor x, itu sudah menyentuh aqiydah. Hal ini akhirnya saya kemukakan pada hari Ahad 19 Juni 1994 dalam ujian meja di Fakultas Teknologi Industri UMI. Mengapa kita tidak mempergunakan istilah yang Islami: intizar, menilik? Sehingga kita katakanlah: Menilik trend masa lalu yang eksponensual, maka insya Allah kita mengharapkan trend yang eksponensial pula pada masa datang. Inilah sikap yang Islami, sikap yang tidak meramal. Sikap yang berdasar atas: Iqra Bismi Rabbika. Intizar asal katanya nazhara, diambil dari S. Al Hasyr,18:

....wa lTanzhur Nafsun ma- Qaddamat liGhadin,.... dan mestilah setiap diri menilik apa yang lalu untuk masa depan. Itulah komentar saya dalam sidang ujian di UMI tersebut.

***

Saya teringat sebuah buku bacaan bahasa daerah (Makassar) karya Ince Nanggong, yang umumnya berasal dari cerita rakyat (folklore), yang salah satunya berjudul I Jingkiriq. Folklore tersebut kalau disimak mengandung kritik sosial yang melawan arus pola pikir masyarakat waktu itu, yang sungguhpun sudah beragama Islam masih tenggelam dalam budaya tahyul, percaya pada ramalan peramal.

Al qishshah, pada zaman dahulu kala terkabarlah seorang boto (peramal) ke setiap penjuru negeri, bahkan sampai ke istana raja. Boto itu berasal dari keluarga petani biasa. Karena pada masa kanak-kanaknya senang bermain jengkerik, oleh orang tuanya diberi areng dondo-dondo (nama kecil) I Jingkiriq (Si Jengkerik). Nama Jingkiriq ini melekat padanya hingga dewasa, namun setelah menjadi boto terkenal, nama Jingkiriq itu lenyap dari bibir masyarakat, bertukar dengan I Boto Tarrusuq (pleonasme, tarrusuq sinonim dengan boto). Walaupun nama I Jingkiriq hilang dari bibir masyarakat tetapi tidak hilang dari bibir I Jingkiriq, utamanya kalau ia berdialog dengan dirinya sendiri, dan juga tetap dipakai dalam berceritera ini.

Malang tak dapat dielakkan, I Jingkiriq harus memperlihatkan kehandalannya di depan raja dalam istana. Permaisuri kehilangan perhiasan emas, intan berliannya. I Jingkiriq diberi waktu 3 hari untuk dapat mengembalikan perhiasan itu dan sekaligus membongkar siapa gerangan pelakunya.

Dengan hati kecut I Jingkiriq mendekam dalam kamar istana yang serba mewah yang diperuntukkan bagi I Jingkiriq selama 3 hari itu. I Jingkiriq merasa kecut karena ia sangat mengenal dirinya yang sebenarnya tidak tahu apa-apa tentang peramalan. Reputasinya di mata masyarakat sebagai Boto Tarrusuq diperoleh karena rekayasa yang lihai dengan bantuan kaki-tangannya yang cekatan.

Tatkala pelayan mengantarkan sarapan pagi, I Jingkiriq mendesah antara berucap dan berbisik berdialog dengan dirinya sendiri: Iyaminne makaseqreya (inilah yang pertama), maksudnya inilah kesempatan hari yang pertama tinggal di kamar istana. Keesokan harinya, ketika pelayan yang orangnya sudah berganti masuk ke dalam kamar, berdesah pula I Jingkiriq: Iyaminne makaruwaya (inilah yang kedua). Dan pada hari yang ketiga berulang pula desahan itu di depan pelayan yang ketiga: Iyaminne makatalluwa, taenamo ribokoanna (inilah yang ketiga, tidak ada lagi sesudahnya), maksudnya inilah hari terakhir, tidak ada lagi hari sesudahnya, kecuali di dalam penjara. Pada hari yang terakhir itu dengan keringat dingin menucucur di dahinya karena kecemasan, I Jingkiriq bersiap-siap menunggu penjemput untuk menghadap raja.

Mujur yang diraih I Jingkiriq, sebelum penjemput datang, tiba-tiba ketiga pelayan itu masuk ke dalam kamar dengan membawa bungkusan, duduk bersimpuh lalu bergantian mencium kaki I Jingkiriq. Maka mengakulah mereka dengan ucapan terbata-bata bahwa mereka bertigalah yang telah mencuri perhiasan itu. Mereka bermohon kepada I Jingkiriq agar I Jingkiriq memohonkan kepada Raja agar tidak dijatuhkan hukuman yang berat kepada mereka bertiga.

Rupanya perbuatan mereka itu menyebabkan selalu merasa ada monyet di punggung ditambah pula kehebatan berita tentang I Boto Tarrusuq, sehingga mereka menafsirkan ucapan I Ijingkiriq dengan: Inilah (pencuri) yang pertama. Demikian pula tafsiran pencuri yang kedua dan yang ketiga. Pada hal I Jingkiriq hanya berdialog dengan dirinya sendiri. Demikianlah bungkusan yang berisi perhiasan itu dibawa oleh I Jingkiriq menghadap raja.

Malang tak dapat dielakkan, penasihat raja yang juga seorang boto, karena kuatir kedudukannya akan diganti oleh I Jingkiriq yang lebih profesional, masih mencoba mempengaruhi raja agar I Jingkiriq diuji sekali lagi. Maka masuklah seorang pelayan membawa kapparaq (dulang, baki dari perunggu) yang bertutup. Raja kemudian bertanya kepada I Jingkiriq mengenai benda di bawah
penutup itu. Maka berucaplah I Jingkiriq dengan gaya seperti tadi berdesah antara kedengaran dengan tidak: Waw, Jingkiriq, Jingkiriq, antekammamo nanukkulle lappasaq (Hai jengkerik, jengkerik, bagaimana upayamu agar lepas). Seperti telah diceritakan di atas nama diri I Jingkiriq tidak dikenal dalam masyarakat. Setelah penutup diangkat, berlompatanlah lepas keluar sejumlah jengkerik, karena memang yang ditutup tadi itu atas petunjuk raja adalah jengkerik.

I Jingkiriq sadar bahwa pertolongan Allah atas dirinya itu berupa peringatan agar berhenti menjadi boto dan mencari lapangan kerja yang bersih dari penipuan. I Jingkiriq tidak bersedia menerima tawaran raja untuk mengangkatnya menjadi Boto Kerajaan, menggantikan kedudukan boto yang sekarang. Sudah ada boto yang cukup bijak, tolaknya dengan halus. Tidak lupa pula I Jingkiriq untuk memenuhi janjinya memohonkan ampunan keringanan hukuman atas ketiga pencuri itu. Rajapun memenuhi kedua permohonan I Jingkiriq, menerima penolakan I Jingkiriq menjadi Boto Kerajaan dan menurunkan "pangkat" ketiga orang itu dari tugas melayani tamu kerajaan menjadi pengurus kuda, mencari makanan, memberi makan dan memandikan serta mengandangkan kuda. Turun pangkat dari wisma tamu kerajaan ke kandang kuda. I Jingkiriq pulang ke desanya menjadi petani kembali.

Itulah gaya orang dulu melakukan kritik sosial untuk meluruskan sikap masyarakat yang berbudaya ramal-meramal meyakini peramalan. WaLlahu a'lamu bishshawab.

*** Makassar, 17 Juli 1994