10 Juli 1994

135. Mendidik dan Mengajar tanpa Menggurui, Metode Jibril

Jika materi yang disampaikan menyangkut nalar (kognitif dan keterampilan) disebut mengajar, dan apabila yang disampaikan adalah pesan-pesan nilai yang menyangkut hati nurani (yang membentuk sikap) disebut mendidik. Seorang guru yang baik dalam menyampaikan materi senantiasa menggabungkan mendidik dan mengajar, sekaligus mengandung aspek kognitif, keterampilan dan sikap. Berdasarkan hal ini maka ungkapan proses belajar mengajar seyogianya diubah menjadi mendidik, mengajar.

Ada hal yang kontradiktif dalam ungkapan judul di atas. Pendidik dan pengajar adalah seorang guru, lalu mengapa dikatakan pula tidak menggurui. Kalau kita bicara dalam konteks hubungan antara guru dengan murid, maka menggurui murid ataupun anak didik dalam pendidikan dan pengajaran yang formal dan non-formal, tidak ada masalah. Sang guru dan murid dituntut mempunyai persyaratan ijazah tertentu untuk dapat mendidik dan dididik, mengajar dan diajar di SMA (formal), demikian pula kedua pihak harus mempunyai persyaratan tertentu untuk kursus-kursus non-formal (komputer, melas, menjahit, bimbingan dll). Sehingga guru dalam hal ini mendapat pengakuan secara sukarela dari para murid ataupun anak didiknya bahwa guru yang mendidik dan mengajarnya itu lebih tahu dan lebih menguasai materi yang disampaikan oleh sang guru.

Lain halnya dalam pendidikan dan pengajaran yang informal, khususnya pendidikan dan pengajaran lingkungan. Para guru yang menyampaikan dan para khalayak yang menerima pesan tidak perlu persyaratan formal, tidak seperti pada yang formal dan non-formal seperti yang telah disebutkan di atas. Sehingga dalam hal konteks hubungan antara guru atau sang penyampai dengan khalayak, gelagat menggurui dalam meneruskan informasi dan pesan-pesan nilai itu tidaklah bijaksana. Sebab selalu ada kemungkinan di antara khalayak ada yang lebih unggul dari sang penyampai itu.

Berikut ini disajikan anekdot yang kemungkinan besar berakar dari suatu kejadian yang sebenarnya pernah terjadi. Seorang mahasiswa agronomi Fakultas Pertanian yang sementara ber-KKN dengan sikap yang amat menggurui mengajarkan para petani perihal produktivitas dalam bertanam padi. Pada waktu itu sedang galak-galaknya dipromosikan padi jenis PB5. Dengan semangat "over confidence" sang mahasiswa menyuruh para petani bertanam padi jenis PB5 itu, yang untuk areal sawah yang sama akan membuahkan produksi padi yang lebih banyak ketimbang jenis padi yang biasanya ditanam oleh para petani. Sang mahasiswa dengan bersemangat mengeritik pula pematang sawah yang lebar tempat ia berpidato menyuluh itu. Kalaulah pematang-pematang sawah yang lebar itu dipersempit akan dapat memperluas areal lahan yang dapat ditanami, dengan demikian produksi padi dapat pula ditingkatkan.

Setelah tiba saatnya untuk makan siang, sang mahasiswapun diundang ke dangau untuk bersantap siang. Sebenarnya dangau itu tidak berapa jauh dari tempat penyuluhan tadi, namun penunjuk jalan membawa mereka itu mengambil jalan yang tidak memintas, melainkan berkeliling, sehingga mereka itu melalui pematang sawah yang sempit. Oleh karena sang mahasiswa tidak terampil meniti pematang sempit, beberapa kali ia terpelset jatuh ke sawah sehingga bermandikan lumpur. Setelah sampai di dangau makanan yang dihidangkan adalah nasi dingin tanpa sayur. Nasi itu demikian kerasnya tanpa sayur pula sehingga sukar sekali melalui kerongkongan, seperti ungkapan peribahasa lama: Nasi dimakan bagai sekam. "Nak," ucap yang empunya dangau, "apa yang anak telan itu adalah beras PB5, dan tempat anak menyuluh tadi adalah pematang yang sekali gus berupa jalan setapak."

Yang berikut ini cerita yang sesungguhnya terjadi puluhan tahun yang lalu. Drs. Abd.Razak Mattaliu, seorang muballigh dan juga seorang wartawan senior generasi Abd.Rahman Arge, pada waktu itu masih menjadi anggota jama'ah Masjid Syura, menyampaikan pesan di atas mimbar. Ia telah beberapa lama memperhatikan ada dua tiga orang anggota jama'ah masjid yang caranya shalat perlu diperbaiki. Ia mulai dengan pengantar bahwa apa yang akan disampaikannya ini bukan untuk bapak-bapak dan ibu-ibu, melainkan khusus untuk anak-anak. Sesudah itu barulah ia menjelaskan bagaimana caranya shalat menurut tuntunan RasuluLlah SAW.

Bagaimanapun juga apabila materi yang disampaikan adalah cara shalat yang benar, tentu tidak dapat mengelak dari sikap menggurui. Untuk menghilangkan kesan bahwa ia menggurui bapak-bapak dan ibu-ibu, maka Adbd.Razak mengatakan khusus ditujukan bagi anak-anak dalam masjid. Ia mengaplikasikan ayat Al Quran: Ud'u ilay Sabiyli Rabbika bi lHikmati, serulah ke jalan Maha Pengaturmu dengan bijaksana.

Pada suatu waktu ketika RasuluLlah SAW duduk bersama-sama dengan para sahabat, datanglah ke dalam majelis itu seseorang dengan penampilan seperti orang datang dari jauh, namun wajahnya tetap segar, pakaiannya tetap rapi. Setelah memberi salam ia duduk, kemudian bertanya kepada RasuluLlah SAW apa itu Iman, Islam dan Ihsan. Lalu RasuluLlah SAW sebelum menjawab mengatakan bahwa yang bertanya lebih tahu dari yang beryanya, kemudian beliau baru menjelaskan pengertian (Rukun) Iman, (Rukun) Islam dan Ihsan. Setelah orang itu pergi RasuluLlah menyampaikan kepada para sahabat, bahwa sesungguhnya "orang" tadi itu adalah Malaikat Jibril.

Kalau kita simak proses penyampaian pengertian Rukun Iman dan Rukun Islam itu akan dapat kita ungkapkan keluar nilai yang tersirat yang erat kaitannya dengan metode menyampaikan pesan tanpa menggurui. Metode ini dapat dipakai dalam pendidikan dan pengajaran informal menyampaikan pesan-pesan nilai-nilai Islami untuk memperkaya metode yang telah lazim dipergunakan selama ini, yaitu ceramah dan diskusi. Selama ini umumnya hanya dipraktekkan dua jenis pertanyaan. Pertama, dari orang yang tidak tahu kepada yang tahu, yaitu pertanyaan dari murid kepada guru, maka jawaban guru itulah yang disebut menggurui. Kedua, pertanyaan dari guru kepada murid, maka itu disebut menguji. Ketiga, pertanyaan dari yang tahu kepada yang tahu, itulah penyampaian pesan kepada khalayak, pendengar, ataupun pemirsa secara tidak menggurui, yang disebut Metode Jibril. WaLlahu a'lamu bishshawab.

*** Makassar, 10 Juli 1994