24 Juli 1994

137. Yang Melubangi, yang Terperosok dan yang Menutup Lubang

Ketika giliran saya berkhutbah di Masjid Syura pada hari Jum'at tgl. 15 Juli 1994 , saya bertolak dari S.Al Anfa-l 25 yang dirangkaikan dengan Hadits Safinah.

Wattaquw Fitnatan la- Tushiybanna Lladziyna Zhalamuw Minkum Kha-shshatan ...., biasanya diterjemahkan dengan: Takutilah (cobaan) yang tidak hanya secara khusus menimpa orang-orang zalim saja di antara kamu. Dalam khutbah itu Wattaquw Fitnatan saya tidak terjemahkan takutilah fitnah (cobaan), melainkan: Hindarkanlah bencana dahsyat (terror, prahara). Ada tiga pertimbangan mengapa saya terjemahkan demikian. Pertama, Ittaquw berasal dari akar kata yang dibentuk oleh ketiga huruf: waw, qaf, ya yang artinya terhindar, terpelihara. Yang kedua, terhadap orang zalim tidak ada cobaan. Yang ketiga, kata fitnah dalam bahasa Indonesia tidak sama pengertiannya dengan fitnah dalam bahasa Al Quran. Fitnah dalam bahasa Indonesia bermakna menyebarkan isu tentang ucapan ataupun perbuatan orang yang sesungguhnya tidak diucapkan dan tidak dilakukan oleh orang itu. Dalam ayat-ayat Al Quran yang berikut jelas bahwa yang dimaksud fitnah bukanlah sebagaimana dengan arti fitnah dalam bahasa Indonesia tersebut, melainkan berarti yang lebih dahsyat: prahara. Al Fitnatu Asyaddu mina lQatali, prahara itu lebih dahsyat dari pembunuhan (S.Al Baqarah,191) dan wa Qa-tiluwhum hattay la- Takun Fitnatun, dan perangilah mereka sehingga tak ada prahara (S.Al Baqarah, 193).

RasuluLlah SAW mengibaratkan kehidupan bermasyarakat dan bernegara seperti kehidupan dalam sebuah safinah (perahu). Tiap-tiap penumpang menempati tempatnya masing-masing, ada yang di geladak, ada yang di ruang bawah. Mereka itu diikat oleh aturan-aturan dan prosedur yang harus ditaati bersama. Apabila ada seorang penumpang di ruang bawah menginginkan air maka prosedurnya haruslah bertangga naik ke geladak baru menimba air. Tidak boleh mengadakan terobosan melubangi lunas perahu untuk mendapatkan hasil yang cepat. Apabila ada orang di sekitarnya yang mencegah sehingga orang itu tidak jadi melubangi perahu, demikian RasuluLlah, orang itu telah menyelamatkan penerobos itu, menyelematkan dirinya, menyelamatkan seluruh penumpang dan kapal dari bahaya karam. Maka orang itu telah menghindarkan bencana dahsyat (tenggelam) yang tidak hanya secara khusus menimpa orang zalim, penggerek dinding kapal tersebut.

Bertolak dari S.Al Anfa-l,25 dan Hadits Safinah tersebut, khutbah itu saya arahkan pada sebuah kasus membuat lubang pada sebuah kapal yang bernama Negara Republik Indonesia, yaitu kasus pembobolan Bapindo, dengan referensi dari Sudomo, E. Tanzil berkolusi dengan para pejabat teras Bapindo, yang membuat terobosan untuk mendapatkan hasil yang secepatnya, yang sementara dalam proses pengadilan sekarang ini.

Akhirnya saya sudahi khutbah saya itu dengan rentetan pertanyaan. Bahwa kalau yang melubangi dinding kapal (Negara Republik Indonesia) sementara diadili, yang terperosok adalah yang memperoleh sanksi hukum hasil pengadilan, maka yang menutup lubang lalu siapa? Apakah kekayaan negara dari sumber yang lain ditambah dengan ganti rugi para terhukum yang jumlahnya relatif kecil ketimbang hasil pembobolan para koruptor yang berkolusi itu, yang dipakai untuk menutup lubang itu? Apakah Sudomo yang memberikan referensi itu tidak berkewajiban untuk juga turut menutup lubang yang telah dibuat itu? Apakah negara tidak dapat menuntut Sudomo sebagai pemberi referensi secara perdata?

Setelah selesai shalat Jum'at terjadilah diskusi kecil-kecilan tentang permasalahan: Apakah hakim mempunyai pegangan dalam menangani perkara perdata tentang hal kaitan antara pemberi referensi itu dengan konsekwensi material (keuangan)? Siapakah yang akan menuntut Sudomo secara perdata? Cukupkah kekayaan Sudomo untuk menutup lubang itu? Permasalahan yang pertama buat sementara tidak terjawab. Jawaban permasalahan yang kedua ada dua. Menurut Tahir Lopa SH yang menuntut secara perdata adalah Kejaksaan yang mewakili negara, seperti pada kasus Kedungombo. Seperti diketahui dalam kasus Kedungombo ini yang berupa perkara perdata, Kejaksaan Agung selaku kuasa hukum pemerintah akan mengajukan upaya hukum peninjauan kembali. Sedangkan menurut saya sendiri cukup Menteri Keuangan sebagai pemegang saham yang terbesar dari Bapindo. Adapun permasalahan ketiga dijawab apabila secara perdata Sudomo dijatuhi hukuman, diwajibkan oleh pengadilan membayar kerugian yang diderita Bapindo, maka kekayaan Sudomo diinventariser kemudian disita untuk membayar kerugian Bapindo itu.

Setelah sampai di rumah saya kemukakan kepada isteri saya, yang pakar Hukum perihal diskusi kecil-kecilan di Masjid Syura itu. Isteri saya mengatakan bahwa permasalahan yang pertama ada pemecahannya. Bagaimana?, tanya saya. Tunggu dahulu. Ia masuk ke dalam kamar kerjanya, kemudian menyodorkan buku Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia karya C.S.T. Kansil, dengan penerbit PN Balai Pustaka, cetakan keenam, 1984. Ia menunjukkan halaman 49. Inilah salinannya:

Menurut pasal 22 A.B.:"de regter, die weigert regt te spreken onder voorwendsel van stilzwijgen, duisterheid kan uit hoofde van rechtswijgering vervolgd worden," yang mengandung arti, "Hakim yang menolak untuk menyelesaikan suatu perkara dengan alasan bahwa peraturan perundangan yang bersangkutkan tidak menyebutkan, tidak jelas atau tidak lengkap, maka ia dapat dituntut untuk dihukum karena menolak mengadili." Dari ketentuan pasal 22 A.B. ini jelaslah bahwa seorang hakim mempunyai hak membuat peraturan sendiri untuk menyelesaikan suatu perkara. Dengan demikian, apabila undang-undang ataupun kebiasaan tidak memberi peraturan yang dapat dipakainya untuk menyelesaikan perkara itu, maka hakim haruslah membuat peraturan sendiri.

Maka kesimpulannya terpulang kepada hakim. Apakah ia cukup berani untuk memutuskan membuat peraturan tentang adanya konsekwensi hukum yang ditimpakan kepada pemberi referensi untuk wajib menanggung risiko kerugian materiel (keuangan) seperti dalam kasus Bapindo dengan referensi Sudomonya itu, yang kemudian keputusan hakim tersebut dapat menjadi jurisprudensi bagi hakim-hakim yang lain. WaLlahu a'lamu bishshawab.

*** Makassar, 24 Juli 1994