22 Juni 2008

833. Walikota Supaya Lekas Tanggap

Sebelum shalat Jumat berlangsung, dalam rapat tertutup di rumah dinas Walikota Padang, telah disepakati papan nama Ahmadiyah diturunkan secara damai dan disepakati yang menjadi khatib shalat Jumat adalah Walikota Padang serta imam shalat Jumat adalah Ketua MUI Padang. Namun, kenyataannya setelah masuk waktu shalat Jumat di Masjid Mubarak Ahmadiyah itu, pengurus memaksakan yang bertindak sebagai khatib dan imam shalat Jumat adalah Ketua JAI Padang yang dengan tiba-toba bergerak cepat naik mimbar. Kepala Depag Kota Padang Syamsul Bahri menegaskan: "Kita ditipu dan terdesak karena sudah berada dalam masjid dan waktu sudah masuk pula. Untuk keluar dari masjid tentu tidak mungkin, apalagi tujuan kita untuk menurunkan papan nama Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) belum terlaksana. Namun dalam keterpaksaan akibat penipuan itu kita tidak mengimami pengurus JAI. Kita sepakat untuk shalat sunnat saja. Kita takbir; lebih dulu dari mereka,"

Walau merasa dijebak, ditipu dan dipaksa, Komite Penegak Syariat Islam (KPSI) dan Ormas-ormas Islam se kota Padang serta MUI Sumbar; tetap mengecam tindakan Walikota yang ikut shalat Jumat dengan imam dari Ahmadiyah. "Itu salah. Alasan ditipu dan dipaksa Ahmadiyah, tidak dapat kita terima," tegas Ketua Komisi Fatwa MUI Sumbar Gusrizal Gazahar.

Tindakan Pengurus Jamaat Ahmadiyah Padang yang menipu dan memaksa Walikota Padang turut mendengarkan; khutbah dan menunaikan shalat Jumat bersama mereka, merupakan tindakan melawan hukum, terutama melanggar SKB yang baru diterbitkan. Pernyataan ini disamoaikan KPSI Sumbar, Irfianda Abidin dan Ormas Islam kota Padang.

MUI sudah mengarahkan Ormas Islam untuk mengajukan tuntutan terhadap pembubaran Ahmadiyah. Mereka terbukti sudah melanggar SKB dengan memaksakan ajaran mereka kepada orang lain yang tidak berkeyakinan sama dengan mereka. Mereka juga melakukan pelecehan, penipuan, jebakan dan pemaksaan terhadap umat Islam. Jadi, Ahmadiyah harus dibubarkan. [dn/www.hidayatullah.com]

***

Harian Fajar edisi Rabu (18/6) dan Kamis (19/6) yang baru lalu, memberitakan massa Ormas Islam desak JAI mencopot papan namanya. Mereka berasal dari ormas Islam yang terdiri dari Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Kampus (Bakor LDK), Komite Persiapan Penegakan Syari'at Islam (KPPSI-Jundullah) dan Aliansi Ummat Islam (AUI). Dalam aksinya, massa menuntut JAI agar tidak lagi melakukan aktivitas apapun termasuk menurunkan papan nama LAI, menyusul terbitnya SKB dari pemerintah beberapa waktu lalu. Karena Pengurus JAI Sulsel menutup rapat pagar sekretariatnya, serta puluhan polisi berjaga-jaga di depan pagar yang menafsirkan bahwa penurunan papan nama oleh masa dianggap sebagai pengrusakan, maka papan nama itu masih tegak berdiri. Akibatnya massa menuju ke kantor Walikota untuk bertemu Walikota Makassar meminta supaya Walikota menginstruksikan LAI menurunkan sendiri papan namanya. Massa mengepung sekretariat itu selama kurang lebih satu jam.

***

Berhubung adanya perbedaan penafsiran antara polisi vs masyarakat yang mengindahkan SKB supaya ditaati oleh JAI, maka perlu sekali Walikota Makassar lekas tanggap. Polisi menganggap penurunan papan nama itu adalah pelanggaran karena itu adalah pengrusakan, sedangkan masyarakat yang mengindahkan SKB supaya ditaati oleh JAI, karena papan nama yang masih tegak itu melanggar perintah yang tercantum dalam SKB, yaitu diktum perintah menghentikan penyebaran dalam Butir 2:

"Memberi peringatan dan memerintahkan kepada penganut, anggota dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), sepanjang mengaku beragama Islam, untuk menghentikan penyebaran penafsiran dan kegiatan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran Agama Islam yaitu penyebaran faham yang mengakui adanya nabi dengan segala ajarannya setelah Nabi Muhammad SAW."

Walikota sebagai koordinator lembaga-lembaga negara agar melakukan koordinasi untuk menentukan sikap satu bahasa dalam hal diktum "menghentikan penyebaran" yang termaktub dalam SKB tsb. Atau sekurang-kurangnya bercermin pada apa yang telah dilakukan oleh Walikota Padang seperti apa yang telah diberitakan di atas itu, yang menterapkan ajaran Al-Quran:

-- WSYAWRHM FY ALAMR (S. AL 'AMRAN, 3:159), dibaca:
-- wasya-wirhum fil amri, artinya:
-- dan bermusyawaralah dengan mereka dalam urusan (pemerintahan).

Yaitu memanggil pengurus JAI ke kantor Walikota membicarakan teknis penurunan papan nama JAI yang berpotensi menimbilkan konflik itu di lapangan. Elok juga menempuh pelaksanaan teknis hasil musyawarah yang dilakukan oleh Walikota Padang, yaitu mendatangi Sekretariat JAI di Jalan Anuang itu yang katanya difungsikan juga sebagai masjid. Setelah shalat Jum'at di masjid itu bersama-sama menurunkan papan nama JAI. Khatib shalat Jum'at diambil dari MUI dan imam shalat dari Depag. Namun harus sigap jangan sampai kecolongan seperti yang terjadi di Padang itu. Tidak perlu dipaksakan anggota JAI itu harus ikut shalat semuanya. Yang ikut shalat hanya yang bersedia saja. Di situ nanti akan kelihatan siapa-siapa yang ruju' kembali ke pangkuan Islam, siapa yang tidak. Sebab seperti diketahui penganut agama Ahmadiyah Qadiyan tidak bersedia menjadi makmum kalau imamnya bukan dari Ahmadiyah himself. WaLlahu a'lamu bisshawab.

*** Makassar, 22 Juni 2008