29 Juni 2008

834. Quo Vadis Sistem Pendidikan Nasional Kita?

Ada dua kelompok kriteria yang saling bentrok dalam hal penggunaan teknologi komputer digital (selanjutnya kita singkatkan menjadi komputer tok), yaitu kelompok yang bersifat mekanistik administratif pada pihak yang satu berhadapan dengan kelompok yang bersifat humanisik pada pihak yang lain. Adapun kelompok kriteria yang bersifat mekanistik adminisratif itu misalnya seperti ketepatan dalam operasi matematika, ketelitian dalam mengolah data, kecepatan dalam memproses, keapikan dalam sistem administrasi, sedangkan kriteria yang bersifat humanistik seperti misalnya akal sehat dalam pengambilan keputusan, kelenturan yang rasional dalam penilaian, efisiensi psikologik dalam kepuasan batin. menghindarkan pengangguran terselubung dalam lapangan kerja jasa otak yang antara lain pekerjaan para guru dalam memeriksa ujian akhir nasional yang tidak perlu diambil alih oleh komputer.

Teknologi komputer sudah beralih dari alat menjadi tujuan. Demi komputer, maka evaluasi kognisi murid-murid dalam ujian akhir nasional dipaksakan memakai sistem pilihan ganda (multiple choice). Sudah banyak komentar baik tertulis maupun terlisan dari segi silau atau cemerlangnya komputerisasi di bidang pendidikan ini. Kita akan soroti dari segi kesuramannya, supaya kita dapat berpikir secara dewasa, karena pikir itu pelita hati. Ada tiga yang suram:

Yang pertama, kalau nilai ambang batas kelulusan ujian akhir nasional ditetapkan misalnya 6, maka anak yang mencapai nilai 5,999 nasibnya akan lain jika yang menjadi penentu dalam hal manual vs komputer. Kalau pakai manual yakni orang maka 5,999 itu atas pertimbangan rasional dapat diluluskan. Tentu tidaklah dapat diterima akal sehat kalau anak itu tidak lulus cuma karena perbedaan seperseribu. Lain halnya apabila dengan komputerisasi. Anak itu pasti tidak lulus, karena 5,999 itu ada di bawah nilai ambang batas. Betapapun kecilnya perbedaan itu komputer tidak akan meluluskannya karena komputer tidak punya akal sehat.

Yang kedua, pemeriksaan dengan manual sekali gus process oriented dan output oriented. Sedangkan pemeriksaan secara komputerisasi hanya output oriented. Yang process oriented oleh cara manual tidak mungkin timbul pembocoran naskah ujian dan tmbulnya porofesi joki, sedangkan yang output oriented saja dengan komputerisasi itulah memotivasi lahirnya pembocoran naskah ujian dan profesi joki, Oleh karena jawaban soal itu sangat mudah dikomunikasikan.

Yang ketiga, seorang anak didik sudah tertentu kemampuan kognisinya. Kalau dalam cara menguji itu anak didik dengan leluasa diberi kesempatan untuk dapat menunjukkan kemampuannya itu, maka ini tidak dapat diperiksa oleh komputer. Apa sebabnya? Komputer terlalu bodoh sehingga tidak dapat mengikuti tahap demi tahap proses pengerjaan soal itu. Komputer hanya mampu memeriksa jika cara pengujian itu secara pilihan ganda. Untuk menjaga jangan sampai anak yang diuji itu tidak leluasa main judi dengan sembarang tembak, maka dibuat aturan denda untuk jawaban yang salah. Ada sepuluh soal matematika. Anak yang diuji yang telah mempunyai kadar kemampuan kognisi yang tertentu dapat menyelesaikan dan menjawab 6 soal dengan benar. Dia dapat mengerjakan 4 soal yang selebihnya dengan kemampuan kognisi yang lebih rendah. Ia tidak dapat menyelesaikan ke 4 soal itu dengan sempurna benar, artinya tidak keseluruhannya salah sama sekali. Maka di antara 4 soal itu pemerikasa dengan fair dapat memberikan nilai, walaupun nilai itu tidak penuh. Dari 6 solah yang benar itu ia dapat nilai 6. Dan dari sisa 4 soal yang tidak seluruhnya benar namun juga tidak seluruhnya salah ia dapat nilai secara fair katakanlah 2,5. Maka anak itu akan mendapat nilai 6 + 2,5 = 8,5, nilainya cukup tinggi di atas nilai ambang batas kelulusan 6, ia dapat lulus ujian akhir nasional. Bagaimana dengan pemeriksaan komputerisasi? Untuk anak yang sama tadi dia dapat menjawab 6 soal dengan benar. Katakanlah satu nomor dapat nilai satu kalau benar dan dapat denda -0,25 untuk jawaban yang salah. Anak itu dapat nilai 6. Kalau ia tidak dapat menahan diri, dan pada umumnya anak itu tidak dapat menahan diri, maka dia akan mengisi ke-4 soal yang sisa dengan cara main judi, menebak, untung-untungan. Maka ia akan mendapat denda 4 X 0,25 = 1. Walhasil anak itu mendapatkan nilai 6 - 1 = 5, dia di bawah nilai ambang batas kelulusan, dia tidak lulus ujian akhir nasional. Untuk materi yang non eksakta halnya sama saja. Jawaban ujian yang berupa esei tidak mungkin dapat dipriksa komputer.

***

Pendidikan itu menyangkut tiga unsur: Hati (sikap, afeksi), otak (pengetahuan, kognisi) dan tangan (keterampilan, psikomotoris). Coba lihat sikap anak didik kita, sampai ke bangku perguruan tinggi doyan tawuran. Sikap murid terhadap gurunya sangat terpengaruh hembusan angin liberal. Apa itu? Sama sekali tidak mengormati gurunya.

Kita ulangi lagi yang telah kita tulis dalam Seri 829. Alhasil ujian akhir nasional tidak perlu dihapus, tetapi tujuannya harus diubah, yaitu untuk mengevaluasi sampai di mana lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia apakah sudah merata tarafnya. Dan biarkanlah setiap sekolah menentukan hasil kelulusan anak didiknya dengan mengkombinasi afeksi, kognisi dan psikomotoris yang selama bertahun-tahun itu dengan hasil ujian nasional. Sehingga tidaklah terjadi: "Panas setahun dihapuskan hujan sehari."

Firman Allah:
-- W'ASY AN TKRHWA SYY^N WHW KHYR LKM W'ASY AN THBWA SYY^AN WHW SYR LKM (S. ALBQRT, 2:216), dibaca:
-- wa'asa- an takrahu- syaiaw wahuwa khayrul lakum wa'asa- an tuhibbu- syaiaw wahuwa syarrul lakum, artinya:
-- dan boleh jadi kamu benci akan sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu senang akan sesuatu tetapi itu buruk bagimu.
Ayat (2:216) adalah isyarat Allah antara lain Terhadap penggunaan teknologi komputer vs manual. WaLlahu a'lamu bisshawab.

*** Makassar, 27 Juni 2008