14 November 2010

948 Ambil Positifnya, Buang Negatifnya

Al-Qissah, di pulau Majethi hidup seorang satria bernama Aji Saka. Sang satria mempunyai dua orang punggawa yang bernama Dora dan Sembada, yang sangat setia, tidak pernah mengabaikan perintah. Pada suatu hari, Aji Saka pergi berkelana meninggalkan Pulau Majethi ditemani oleh Dora, sementara Sembada yang tetap tinggal di Pulau Majethi, diperintahkan menjaga pusaka andalannya. Aji Saka berpesan bahwa Sembada tidak boleh menyerahkan pusaka tersebut kepada siapapun kecuali kepada Aji Saka sendiri. Sembada menyanggupi akan melaksanakan perintahnya.
 
Aji Saka bersama Dora tiba di Medhangkamulan. Pendek cerita, Aji Saka kemudian menjadi raja di Medhangkamulan. Aji Saka menyuruh Dora pergi kembali ke Pulau Majethi menggambil pusaka yang dijaga oleh Sembada. Dora menjelaskan kepada Sembada bahwa ia diperintahkan untuk mengambil pusaka Aji Saka. Namun Sembada tidak mau memberikan pusaka tersebut karena ia berpegang pada perintah Aji Saka. Akhirnya kedua punggawa itu bertempur, sampai keduanya sama-sama tewas.
 
Kabar mengenai tewasnya Dora dan Sembada terdengar oleh Aji Saka. Ia sangat menyesal mengingat kesetiaan kedua punggawa kesayangannya itu. Kesedihannya mendorongnya untuk menciptakan aksara untuk mengabadikan kedua orang yang dikasihinya itu, sebagai berikut: ha na ca ra ka da ta sa wa la pa da ja ya nya ma ga ba ta nga. Jika kesemua aksara diatas dirangkai maka akan menjadi hana caraka (ada utusan) data sawala (berselisih pendapat) pada jayanya (sama-sama digjaya) maga batanga (sama-sama jadi mayat).
Dipetik dan disingkatkan dari =>
http://www.geocities.com/sesotya_pita/carakan/ajisaka.htm
 
***
 
Kepala Desa Umbulharjo Bejo Mulyo mengatakan, Mbah Maridjan adalah orang yang memegang teguh prinsip dan bertanggung jawab. Mbah Maridjan yang sepuh itu tetap tinggal di rumah untuk mengemban tugas yang dipikulkan padanya hingga akhir hayatnya, menepati janjinya terhadap mendiang Raja Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang mengangkatnya sebagai juru kunci Gunung Merapi pada 1982. Setia sampai titik darah penghabisan, kesetiaan yang setara dengan Dora dan sembada seperti cerita di atas itu.
 
Apa fungsi juru kunci gunung Merapi? Mengapa Kesultanan Yogya menempatkan seorang abdi dalem di lereng gunung yang berbahaya itu?
 
Gunung Merapi merupakan salah satu komponen dalam kosmologi Keraton Yogyakarta, yang disimbolkan dalam suatu garis lurus imajiner yang berturut-turut dari utara adalah, Gunung Merapi-Tugu Jogja-Keraton Yogyakarta-Panggung Krapyak-Pantai Parangkusumo. Kosmologi tersebut berkaitan dengan hakikat keraton, sehingga pihak keraton merasa perlu menempatkan abdi dalem yang tugas utamanya untuk tetap melakukan ritual Keraton Yogyakarta yang bertempat di kawasan Gunung Merapi.
 
Firman Allah:
WLTNZhR  NFS  MA  QDMT  LGhD (S. ALhSyR, 59:18), dibaca: waltanzhur nafsum maa qaddamat lighadin, artinya:
-- Dan wajiblah setiap diri itu mengkaji masa lalu untuk orientasi masa depan.
 
Masa lalu:
 
indosiar.com, Yogyakarta - Juru Kunci Gunung Merapi Mbah Maridjan Rabu (15/08/07) memimpin prosesi labuhan hajat dhalem Keraton Kasultanan Yogyakarta dikawasan lereng Gunung Merapi, sebagai bentuk penghormatan kepada Kyai Sapu Jagat yang diyakini sebagai roh penunggu Gunung Merapi. Labuhan yang digelar itu bertepatan dengan tanggal 1 Ruwah, diawali dari kampung Juru Kunci Gunung Merapi, Mbah Maridjan di Dusun Kinah Rejo, Umbulharjo, Cangkringan. Tradisi Labuhan Merapi ini merupakan bentuk penghormatan kepada Kyai Sapu Jagat yang diyakini menjaga keselamatan dan ketentraman Kesultanan serta warga Yogyakarta. (Sudaryono/Sup)
Sumber: indosiar.com
 
Penuturan Mansyur Alkatiri di milis Sabili:
Saya pernah menginap di rumahnya dulu, waktu masih kuliah di Jogja. Sosoknya sangat sederhana dan bersahaja, termasuk dalam soal paham keagamaannya. Namun salah seorang puterinya, saya lupa namanya, sangat peduli keislamannya. Ia bekerja keras membendung arus kristenisasi yang berusaha masuk ke dusunnya, setelah mereka berhasil mengkristenkan banyak warga di dusun-dusun sekitar Kinah Rejo. Mbah Maridjan sendiri ikut membantu gerakan puterinya membentengi dusun itu dari proses kristenisasi.
 
Saya masih ingat kalimat bersahaja dan polos dari Mbah Maridjan tentang keislamannya. "Ya karena Islam itu agama yang paling benar. Buktinya, Sri Sultan itu Islam, Pak Karno ya Islam, Pak Harto ya Islam." Sebuah penuturan polos.
 
Ketika Mbah Maridjan mendapat royalti dari iklan Kuku Bima, ia memilih menggunakan uang itu untuk membangun masjid di samping rumahnya. Di masjid itu lah Mbah maridjan banyak menghabiskan waktunya. Ini menurut informasi dari KH Hasyim Muzadi. Baru setelah masjid yang lumayan bagus itu berdiri, Mbah Maridjan mulai merenovasi rumahnya yang awalnya amat sederhana itu.
 
Dulu, sampai awal 1990-an yang saya tahu, bahkan tak ada mushalla di dusun itu, apalagi masjid. Maklum, penduduk di sana disamping miskin juga minim wawasan keagamaannya. Yogya utara memang dikenal sebagai pusat abangan, beda dengan Yogya selatan yang banyak kena warna Islam.
 
Masa depan:
 
Ambil positifnya, pesan moral kasus Mbah Maridjan. Contoh seseorang yang memegang amanah dan kepercayaan yang diberikan, setia sampai akhir. Imbalan fulus amat sangat kecil yang diterima ketimbang tugas yang diemban sampai hembusan nafas terakhir. Seharusnya mereka yang sedang mengemban amanat kekuasaan menegara berkaca pada Mbah Marijan. Imbalan fulus yang lebih dari cukup dengan fasilitas yang lumayan, mengapa masih korupsi juga.
 
Buang negatifnya, jangan bercermin pada Aji Saka yang memberi perintah yang menyebabkan kesudahan yang tragis, hendaknya Sultan Yogya tidak lagi membuat kebijakan mengangkat juru kunci atau apapun namanya. Sekaligus menghilangkan khurafat prosesi labuhan bagi Kyai Sapu Jagat roh penunggu Gunung Merapi. Taat 5 waktu jangan campur ritual budaya Mataram.
 
WaLlahu a'lamu bisshawab.
 
*** Makassar, 14 November 2010