23 Oktober 2011

997 Fatwa MUI no.7 dan no.10

La Ode Machdani Afala (LMA) menulis dalam rurik Kampusiana, Fajar edisi 2 Oktober 2011: "fatwa MUI haramnya pluralisme bertolak belakang dengan semangat Bhinneka Tunggal Ika."
Prof M. Qasim Mathar menulis dalam Jendela Langit ada tiga Mazhab dalam Islam: Sunni, Syi'ah dan Ahmadiyah.
 
Tanggapan
 
Di antara 11 Fatwa MUI (Kamis (28/7/2005) yaitu no.7 mengharamkan pluralisme dan no.10 mengharamkan Ahmadiyah.
 
Sebenarnya banyak orang, termasuk LMA merancukan antara pluralitas dengan pluralisme.
 
Kita mulai dahulu dengan pluralitas.
plurality => the state or fact of being numerous. [The Random House Dictionary of the English Language, p.1022]. Pluralitas adalah kenyataan dalam hal keberagaman (awas, bukan keberagamaan).
 
Pluralitas adalah suatu keniscayaan. Al-Quran sudah jauh-jauh hari mengingatkan adanya pluralitas masyarakat manusia. Tidaklah mungkin Fatwa MUI itu bertentangan dengan ayat:
-- YAYHA ALNAS ANA KhLQNKM MN DzKR WANTsY WJ'ALNKM Sy'AWBA WQBAaL LT'AARFWA  AN AKRMKM 'AND ALLH ATQKM (S. ALHJRAT, 49:13), dibaca: yaa-ayyuhan naasu innaa khalaqnaakum min dzakariw wauntsaa wa ja'alnaakum syu'uubaw wa qabaaila lita'aarafuu inna akramakum 'indaLlaahi atqaakum, artinya:
-- Hai manusia, sesungguhnya Kami ciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan, dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu berkenal-kenalan, sesungguhnya yang termulia di antara kamu di sisi Allah, ialah yang lebih
taqwa.
 
Berbangsa-bangsa dan bersuku-suku yang diikat sebagai kesatuan dalam ummat manusia, lebih universal ketimbang hanya Bhinneka yang Tunggal Ika dalam skala sebuah bangsa.
 
Selanjutnya tentang pluralisme
Pluralism => a theory that there is more than one basic principle  
[The Random House Dictionary of the English Language, p.1022]. Pluralisme itu bukan kenyataan melainkan TEORI menyangkut prinsip asas yang jamak.
 
Pluralisme, relativisme, esensialisme, sinkretisme, dan inklusivisme merupakan sebuah berkas yang diikat benang merah.
 
Dari William Liddle (Ohio State University) dan Diana Eck (Harvard University) hingga Franz Magnis Suseno (STF Driyarkara) berusaha mengaburkan makna pluralisme, menceraikannya dari relativisme.
 
Penganut relativisme dengan polos berpendapat bahwa semua agama sama benarnya (every religion is as true and equally valid as every other). Kebenaran bukan monopoli satu agama tertentu. Tidak boleh pemeluk suatu agama menyalahkan atau menganggap sesat penganut agama lain.
 
Esensialisme ialah pandangan yang mengatakan bahwa semua agama pada intinya sama. Bahwa agama-agama hanya berbeda formatnya saja, namun substansinya sama: kepercayaan pada Tuhan, kenabian dan moralitas. 
 
Sinkretisme berselancar lebih jauh, berhasrat mempertemukan agama-agama. Karena semua agama membawa kebenaran dan menganjurkan kebaikan, maka diambil saja unsur-unsur yang disepakati dari semua agama dan buang yang masih diperdebatkan. Jadilah "agama gado-gado" hasil comot sana-sini.
 
Inklusivisme adalah pandangan yang melihat bahwa agama-agama lain di luar agama yang dianutnya juga dikaruniai rahmat dari Tuhan dan bisa diselamatkan. Terdapat banyak jalan menuju Tuhan. All religions are equally effective means to salvation and happiness, semua agama sama efektifnya sebagai jalan untuk mencapai keselamatan dan kebahagiaan.
 
Di Indonesia menurut Islam Liberal => pluralisme yaitu faham yang menganggap semua agama itu sama saja, tujuannya sama, semua mengajarkan kebaikan, semuanya masuk surga, sama dan sejajar, paralel, dan kita tidak boleh memandang agama lain dengan kacamata agama kita sendiri, tidak boleh ada truth claim (penegasan kebenaran) dan salvation claim (penegasan keselamatan) yang terjelmakan kepada monopoli kebenaran agama sendiri. Tidak boleh ada truth claim dan salvation claim, itulah titik temu dari faham pluralisme yang dicanangkan oleh John Harwood Hich dalam bukunya God and the Universe of Faiths (1973), dengan faham tokoh sufi Ibnu Arabi (560-638H/1165-1240M) yang mencanangkan Wihdatul Adyan. Inilah hasil perkembangan dari TEORI menyangkut prinsip asas yang jamak (more than one basic principle).
 
Berkas pluralisme, relativisme, sinkretisme, esensialisme dan inklusivisme yang diikat benang merah tsb, sesungguhnya lebih merupakan pendangkalan ketimbang pendalaman, pengaburan ketimbang pencerahan. Jika dibiarkan, paham ini akan bekerja menghabisi semua agama. Inilah yang diharamkan oleh fatwa MUI no.7.
 
***
 
Ahmadiyah ada dua:
Pertama, bernabikan Nabi Muhammad SAW dan menolak kenabian Ghulam Ahmad disebut Ahmadiyah Lahore atau Anjuman dan hanya menganggap Ghulam Ahmad sebagai mujaddid, sekaliber Imam Ghazali, Imam Syafi'ie dll. Anjuman bukanlah sebuah mazhab, hanya salah satu organisasi Da'wah seperti Muhammadiyah, NU, HT dll.
 
Kedua, yang mengakui kenabian Muhammad SAW, namun bernabikan Ghulam Ahmad, disebut Ahmadiyah Qadiyan atau Qadiyanisme, yang menyatakan diri pula sebagai Islam. Inilah yang diharamkan oleh fatwa MUI no.10.
 
Seharusnya Qadiyanisme bercermin pada agama Bahá'í yang mengakui kenabian Muhammad SAW, namun bernabikan Bahá'u'lláh, sehingga tidak menyatakan diri sebagai Islam.
 
LAI-Injil Yahya 17:3: Inilah hidup yang kekal itu, yaitu bahwa mereka mengenal Engkau, satu-satunya Allah yang benar, dan mengenal Yesus Kristus yang telah Engkau utus.
Ummat Islam mengakui akan kebenaran Injil Yahya 17:3 tsb, mengakui Yesus (Isa) utusan Allah, namun karena ummat Islam bernabikan Muhammad SAW, maka tidaklah benar jika mereka menyatakan diri sebagai Nasrani. Bercerminkan hal ini jelaslah "kelancangan" Qadiyanisme menyatakan diri sebagai Islam.
 
Di samping itu Qadiyanisme berkeyakinan pula Ghulam Ahmad adalah jelmaan (reinkarnasi) dari Isa Al-Masih. Faham reinkarnasi merupakan pokok kepercayaan Hindu Dharma dan Buddhisme. Jadi Qadiyanisme termasuk dalam mazhab ketiga Hinduisme, bukan mazhab dalam Islam.
 
WaLlahu a'lamu bishshawab.
 
*** Makassar, 27 Okrober 2011