22 Januari 2012

1010 Apa itu Kekerasan Struktural?

Assalamu alaikum wr.wb.
Dalam Seri 1008 ada tertulis: "Kekerasan struktural" (baca: pemberian surat izin investor) menjadi penyebab timbulnya "kekerasan fisik" (demonstran bentrok berhadapan pengawal investor). Apa itu ustad Kekerasan Struktural dan apakah maksud dalam tanda kurung itu? Apa itu dimaksudkan pemberian surat izin investor menjadi penyebab Kekerasan Struktural?
 
Wassalam
Hagai Abd Rab
 
***
 
Menurut suarokezone.com, [26/12/11], di antara konflik terbanyak dan bersifat akut adalah konflik agraria. Sejak 2006 hingga 2009, sejumlah kasus menumpuk dan tak pernah terselesaikan. Bahkan selalu berakhir konflik dan kekerasan. Dan menurut Kompas, [5/1/11], sepanjang 2009, jumlah konflik agraria di kawasan perkebunan kelapa sawit berkisar 240 kasus, dan sepanjang 2010 terjadi sekitar 660 kasus. Sejalan dengan itu dari segi kriminalisasi warga yang terlibat konflik naik dari 112 orang pada 2009 menjadi 130 orang lebih pada 2010. Mengapa sampai terjadi hal itu?
 
Belakangan ini ramai demonstrasi menolak Rancangan UU Agraria yang isinya berpihak pada pengusaha swasta. Sebenarnya biang keladi merebaknya sengketa dan konflik agraria, bukan hanya sekadar UU Agraria, namun lebih dari itu, yakni berbagai UU yang bernuansa neo-liberal seperti UU No 25/2007 tentang Penanaman Modal, UU No 41/1999 Tentang Kehutanan, UU 18/2004 Tentang Perkebunan, UU No 7/2004 Tentang Sumber Daya Air, UU No 4/2009 Tentang Mineral dan Batubara, serta UU lainnya. UU liberal itu membenarkan penguasaan sumber daya alam kepada swasta bahkan asing. Begitu pula UU liberal itu juga membenarkan pemberian hak pengusahaan hutan dan perkebunan dalam skala yang sangat luas. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 26/ Permentan/OT.140/2/2007 mengubah batasan luas kebun sawit tiap perusahaan di satu provinsi dari 20.000 hektar menjadi 100.000 hektar. Izin dan hak pengusahaan dengan mudah diperoleh melalui kongkalikong dengan pejabat dan politikus.
 
Area tanah yang begitu luas itu tidak jarang merupakan tanah adat. Tidak jarang pula area pengusahaan yang diberikan kepada perusahaan itu sudah dihuni dan digarap oleh rakyat. Celakanya, pihak perusahaan dan aparat mencap mereka sebagai penghuni liar, perambah hutan. Karena secara formal legalistik lahan itu adalah hak investor yang mendapat izin dari birokrat, maka para investorpun melakukan penertiban atau meminta pemerintah melakukan penertiban. Perusahan berlindung di balik Undang-Undang Nomor 18 tahun 2004 tentang Perkebunan. Undang-undang ini memberikan legalitas yang kuat kepada perusahaan-perusahaan perkebunan untuk mengambil tanah-tanah yang dikuasai rakyat.
 
Konflikpun pecahlah antara investor yang diberi izin oleh kekuasaan structural cq birokrat versus pemukim yang pemilik hak ulayat dan penggarap lahan yang dibiarkan kosong oleh perusahaan. Maka atas nama UU, aparat keamanan diterjunkan. Pasalnya, UU mengharuskan negara memberikan perlindungan keamanan dan jaminan berjalannya operasi perusahaan atas nama investasi. Apalagi kadang kala perusahaan memberikan dana untuk mendukung pengamanan atau penertiban itu. Di sinilah akhirnya terlihat keberpihakan aparat (negara) kepada pemilik modal (investor) dengan alasan sesuai amanat UU investasi. Dalam melaksanakan itu, aparat sering kali menggunakan pendekatan represif. Akibatnya terjadilah bentrokan dan kekerasan oleh aparat (negara) terhadap rakyatnya sendiri. Semuanya demi menjamin dan melindungi kepentingan investor pemilik modal. Jadilah, aparat atau negara akhirnya menjadi berhadap-hadapan dengan rakyatnya sendiri. Itulah yang dimaksudkan dengan Kekerasan Struktural yang akarnya dari pemberian surat izin investor berdasar atas UU investasi.
 
Firman Allah:
-- WLA TAKLWA AMWALKM BYNKM BALBThL WTDLWA BHA ALY ALhKAM LTAKLWA FRYQA MN AMWAL ALNAS BALATsM WANTM T'ALMWN (S. ALBQRt, 2:188), dibaca: wa laa ta'kuluu amwaalakum bainakum bilbaathili wa tudluu bihaa ilal hukkaami lita'kuluu fariiqam min amwaalin naasi bil itsmi wa antum ta'lamuun, artinya:
-- Dan janganlah kamu makan harta-harta di antara kamu dengan jalan batil, dan jangan pula mencari keuntungan dengan jalan membawa ke hadapan pranata hukum agar kamu dapat melahap sebagian harta-harta orang lain dengan menempuh dosa, padahal sesungguhnya (dalam hati kecilmu) kamu mengetahuinya.
 
WaLlahu a'lamu bisshawab.
 
*** Makassar, 22 Januari 2012