21 April 1996

224. Kampanye Penggunaan Kondom dalam Upaya Pencegahan Inveksi HIV?

Menurut hasil investigasi Sukarelawan Antisipasi Remaja AIDS PKBI dan Kelompok Relawan Antisipasi AIDS terdapat berjenis kelas (kls) pelacur, yaitu kls jalanan, kls perek (perempuan eksperimen), kls bordel, kls perusahaan (pub, bar, karaoke, bilyar room), kls salon, kls panti pijat, kls penghuni hotel dan kls telepon serta pager, demikian diberitakan Harian "Pedoman Rakyat" edisi Kamis, 18 April 1996. Nampaknya efektivitas dakwah hanya bersifat preventif, yaitu maksimal hanya terbatas dalam hal memelihara orang-orang baik agar tidak terjerumus ke dunia hitam. Jerih payah dakwah tidak signifikan (bermakna) dalam meredam bisnis jasa seks yang transaksinya berlangsung menjamur.

Jadi di satu pihak dakwah jalan terus, sedangkan pada pihak yang lain transaksi jual beli jasa seks juga jalan terus. Hal inilah yang dirisaukan oleh para aktivis yang terjun dalam lapangan upaya pencegahan penularan penyakit AIDS, oleh karena dengan kondisi yang masing-masing jalan terus itu, maka jalur agama dinilai kurang efektif dalam upaya pencegahan itu. Maka tinggallah kondomisasi yang dianggap lebih efektif walaupun disadari bahwa kondomisasi itu hanya sekadar mengurangi intensitas penularan HIV, virus penyebab AIDS tersebut. Dikatakan mengurangi intensitas (bukan mencegah) penularan, oleh karena menurut Prof DR H.Roesli Ngatimin, yang pakar di bidang Kesehatan Masyarakat itu, hasil penelitian menunjukkan, pemakaian kondom hanya mampu menanggulangi risiko infeksi HIV sebesar 26%.

Sesungguhnya kondomisasi itu telah dikampanyekan sebelumnya dalam hal upaya pembatasan kelahiran, dalam rangka kampanye keluarga berencana, ataupun dalam gerakan zero population growth, karena kondom termasuk salah satu alat yang dapat mencegah kehamilan. Kondomisasi dalam rangka keluarga berencana itu ditujukan kepada pasangan suami isteri, bukan ditujukan kepada para remaja. Kalaupun ada remaja yang mempergunakan kondom, maka itu adalah penyalah-gunaan alat itu. Jadi berbeda sifatnya dengan kampanye kondomisasi dalam pencegahan penularan HIV, karena kampanye ini justeru ditujukan pada remaja yang tidak dapat menahan hasrat seksualnya.

Seperti diketahui penyebaran HIV itu melalui salah satu ataupun kombinasi jalur: seks bebas, homoseksual, jarum suntik (narkotika) dan melalui darah, baik itu dari ibu yang mengandung ke jabang bayi, maupun melalui transfusi darah dari orang ke orang. Dan sudah kita maklum pula bahwa para ulama baik sebagai lembaga (MUI) maupun sebagai orang per orang tidak ada yang setuju, artinya menolak dengan tegas pemakaian kondom dalam upaya mengurangi intensitas penularan HIV, virus yang melumpuhkan sistem pertahanan tubuh tersebut.
***

Untuk kelancaran Pembangunan Nasional, bangsa Indonesia perlu membuka diri secara selektif. Kita tidak boleh menutup diri dari nilai-nilai operasional dari luar. Yang baik kita terima, seperti misalnya nilai operasional kinerja (produktivitas, efektivitas, efisiensi). Dalam konteks pembangunan di Indonesia ini yang disebut baik adalah nilai operasional yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai agama, khususnya nilai akhlaq.

Kiranya perlu dijelaskan istilah akhlaq dengan moral, untuk menghindarkan kerancuan peristilahan. Aktualisasi nilai syari'at yang berlandaskan nilai aqidah berwujudkan ibadah, dan ibadah membuahkan akhlaq. Sedangkan aktualisasi nilai budaya membuahkan moral. Nilai budaya dianggap benar berdasar atas kesepakatan komunitas.

Nilai-nilai Al Furqan (aqidah dan syari'at) adalah kebenaran mutlak, karena bersumberkan wahyu dari Yang Maha Mutlak: Al Haqqu min Rabbika (S. Al Baqarah, 147). Kebenaran itu dari Maha Pemeliharamu (2:147). Di negara-negara barat kebebasan seks sudah membudaya bahkan sudah menjadi nilai budaya, oleh karena kebebasan seks itu sudah disepakati oleh komunitas. Hubungan seks tidak lain adalah masalah perdata. Kekuasaan hakim berdasar atas pola-pikir bahwa rentang kekuasaan hakim hanya menjangkau hingga pintu kamar tidur. Barulah menjadi urusan sistem peradilan jika suami dari isteri, ataupun isteri dari suami yang berhubungan seks itu berkeberatan. Sayangnya pola-pikir ini masih dianut oleh sistem peradilan di Indonesia, karena masih tertera dalam fasal 284 dalam KUHP.

Kondomisasi menyangkut nilai operasional kinerja, khususnya efektivitas. Kondomisasi tidak dapat dilepaskan dari sistem nilai komunitas di barat, yaitu kebebasan seks. Bagi komunitas yang menerima nilai bebas seks sebagai suatu kesepakatan (nilai budaya), kondomisasi bukan masalah. Dalam kondisi yang demikian itu, kondomisasi yang bertumpukan budaya bebas seks hanyalah menjadi urusan pribadi, sehingga dalam kalangan lembaga (dan para anggota lembaga itu) yang aktif dalam penanggulangan penyebaran HIV itu, kondomisasi bukanlah masalah yang harus ditentang, bahkan sangat dianjurkan oleh karena menyangkut nilai operasional kinerja khususnya efektivitas.

Alhasil, kondomisasi yang mengandung nilai operasional kinerja khususnya efektivitas yang bertumpu di atas nilai budaya bebas seks tidak sesuai dengan nilai agama terkhusus nilai akhlaq. Itu berarti bahwa atas dasar amar ma'ruf nahi mungkar, kondomisasi itu harus ditolak. Maka seharusnya pula kondomisasi ditolak oleh lembaga Islami (dan orang-orang dalam lembaga itu) yang aktif dalam penanggulangan penyebaran HIV tersebut di Indonesia, atas dasar amar ma'ruf nahi mungkar tersebut.

Oleh karena kondomisasi harus dirolak atas dasar amar ma'ruf nahi mungkar, maka harus ditempuh upaya penaggulangan penyakit AIDS yang bersifat strategis tanpa kondomisasi. Hal ini telah dibahas dalam Seri 206, 10 Desember 1995 dengan judul: Upaya Strategis Menangkal Penyakit AIDS. WaLlahu A'lamu bi shShawab.

*** Makassar, 21 April 1996