9 Maret 1997

264. Manusia Melahirkan Buaya?

Hari Senin, 3 Maret 1997 saya menerima deringan-deringan telepon, meminta agar saya menulis tentang manusia kembar buaya atau buaya kembar manusia. Ini sehubungan dengan berita yang dimuat oleh FAJAR edisi 3 Maret 1997 dengan judul berita Melahirkan Manusia Kembar Buaya pada halaman 9. Mengapa saya mendapat sasaran telepon mungkin karena dua alasan. Pertama, berita itu relevan untuk dibahas dalam kolom Wahyu dan Akal - Iman dan Ilmu. Kedua, saya berasal dari Selayar, seasal dengan ibu buaya kembar manusia itu.

Sebenarnya peristiwa lucu itu telah dibahas dalam kolom ini 5 tahun yang lalu sebagai sebagian oleh-oleh Mudik dari Selayar, yaitu dalam Seri 25, 26 dan 27.

Menjelang lebaran tahun 1412 H, saya ikut pergi ke udik atau mengudik disingkat menjadi mudik. Sebenarnya bagi saya bukan mudik melainkan menghilir, karena betul-betul pergi ke hilir, bahkan menempuh laut, ke Selayar, kabupaten terselatan dari provinsi ini. Walaupun sebenarnya menghilir, namun akan tetap dipakai istilah mudik, sebab istilah ini sudah mempunyai konotasi yang khas. Oleh-oleh berupa Seri 25 yang berjudul Mudik, 12 April 1992, belumlah memuat laporan khusus tentang buaya yang berkembar manusia. Barulah dalam kedua seri yang berikutnya membicarakan antara lain cerita manusia beranak kembar buaya manusia tersebut.

Saya kutip: Saya teringat di bagian selatan pulau itu masih ada berhala lokal yang disebut Topa. Menurut informasi yang saya dapatkan, berhala Topa itu masih difungsikan orang. Topa itu berupa liang batu pada sebuah muara. Di dalam liang batu itu katanya bersemayam seekor buaya putih dengan lima jari, dianggap nenek moyang sebuah rumpun keluarga. Kata orang, buaya putih itu sudah sedemikian besarnya sehingga tidak dapat lagi keluar dari liang gua, karena mulut liang itu sudah terlalu sempit baginya. Di situlah orang minta rezeki dengan membawa telur yang diselamkan masuk ke dalam liang, dan mengoleskan darah ternak di mulut lubang liang batu itu. (Dari Seri 26, Berhala Tradisional dan Berhala Modern, 26 April 1992. Judul tsb merupakan tema Khutbah Jum'at terakhir dalam bulan Ramadhan yang saya khutbahkan di Masjid Raya Benteng, Selayar)

Selanjutnya saya kutip: Tulisan ini adalah oleh-oleh terakhir pulang mudik. Khuthbah Jum'at mengenai Topa, berhala lokal itu, buaya putih lima jari, berkembang menjadi diskusi yang hangat pada sebuah rumah keluarga tempat saya berkunjung sesudah lebaran dalam rangka silaturrahim. Istilah silaturrahim ini mengalami gejala apocope menjadi silaturrahmi yang kelihatannya lebih
populer. Ini tidak aneh, dalam bahasa Makassar gejala ini juga ada, misalnya biralle menjadi bilarre.

Bahwa rumpun keluarga keturunan buaya putih lima jari di Topa itu tidak mustahil. Di Sulawesi Selatan ini katanya adalah hal yang lazim manusia beranak buaya, anak yang mempunyai kembar buaya. Fa''A-lu Lima- Yuriydu (S. Al Buruwj, 16). Allah berbuat sekehendakNya, ucap salah seorang peserta diskusi mengutip ayat Al Quran. Serta merta ucapan itu didebat oleh kemanakannya
sendiri: Orang beranak buaya? Tidak masuk akal, karena tidak ada dalam Al Quran. Sang paman menimpali pula: Jadi kau anggap paman pembohong? Saya melihat dengan mata kepala sendiri dukun beranak memperlihatkan kepada semua yang hadir di rumah ibu yang baru saja melahirkan bayinya berkembar buaya. Sang kemanakan berucap pula: Terserah, pokoknya itu tidak masuk akal sebab tidak ada dalam Al Quran orang yang beranak buaya. Seorang tamu yang lain turut angkat bicara: Yang penting, kita tidak ikut terlibat dalam minta-minta rezeki di Topa itu. Apakah buaya putih lima jari itu menurunkan rumpun keluarga, atau tidak, tergantung dari keyakinan dan pikiran masing-masing, pokoknya asal kita tidak terlibat dalam menjadikannya berhala. Saya tidak sependapat, sang kemanakan tadi memotong. Justru karena percaya tentang tahyul, buaya menurunkan rumpun keluarga, atau ibu yang melahirkan buaya, atau anak kembar buaya, membuka kesempatan untuk melakukan khurafat, minta-minta rezeki, menyembah berhala. Tahyul semacam itu membuka pintu kepada kemusyrikan. Jadi pada pokoknya tahyul itu harus dikikis habis. (Dari Seri 27, Tahyul Klasik dan Tahyul Kontemporer, 3 Mei 1992).

Kutipan yang berikut adalah komentar saya sebagai kesimpulan dalam diskusi itu: Jadi supaya terpelihara aqidah kita, apabila ada hal yang aneh-aneh kita dengar kita tanya dahulu Ilmu pengetahuan alam syahadah (baca: Ayat Kawniyah). Apakah mungkin manusia beranak buaya menurut biologi, menurut ilmu genetika? Jawabnya bertentangan dengan ilmu genetika. Apakah yang demikian itu ada dalam Al Quran? (baca: Ayat Qawliyah). Tidak ada, jadi tidak masuk akal. Jalan pemikiran sang kemanakan di atas itu benar adanya. Lalu apakah sang paman pembohong? Kita bertanya, pernakah seorang ibu yang melahirkan di rumah sakit bersalin diinformasikan beranak buaya? Tidak pernah. Apa perbedaan orang melahirkan di rumah sakit oleh bidan dengan melahirkan di rumah sendiri oleh dukun beranak? Bedanya adalah di rumah sakit bersalin sifatnya terbuka, bahkan ada berita acaranya. Sedangkan di rumah sendiri sifatnya tertutup. Lalu apa artinya itu? Di ditempat terbuka tidak mungkin atau tidak sempat untuk melakukan manipulasi, sedangkan di tempat tertutup, ada kesempatan bahkan terbuka luas untuk manipulasi. Itulah jawabannya. Sang paman tidak bohong, melainkan terkecoh oleh ulah si dukun beranak. Tujuannya mengecoh? Untuk sensasi sebagai sasaran antara dan komersialisasi untuk sasaran utama (alinea terakhir Seri 27).

Sekianlah kutipan dari kedua seri itu, mudah-mudahan jelas adanya. Kalau kita mendengar atau membaca yang aneh-aneh, maka dengan landasan iman dan mempergunakan akal kita merujuk sekaligus kepada Ayat Qawliyah dan Ayat Kawniyah. Beriman kepada wahyu, mempergunakan akal sehingga berilmu akan membentuk sikap yang tegas menolak tahyul, yang selanjutnya menghasilkan perilaku untuk tidak terseret melakukan khurafat minta-minta rezeki ataupun barakah selain dari Allah SWT.

Semoga terhindarlah kita dari cacat aqidah, terbebas dari pengaruh tahyul, seperti buaya menurunkan rumpun keluarga, atau ibu yang melahirkan buaya, atau anak kembar buaya, dan segala macam cerita, berita aneh-aneh yang tidak ditopang oleh Ayat
Qawliyah dan atau Ayat Kawniyah, Amin! WaLlahu A'lamu bishShawab.

*** Makassar, 9 Maret 1997