20 April 1997

269. Harimau dan Kucing

Sang harimau berembuk dengan kaki-tangannya (baca: pembantu dekatnya), yaitu sang serigala sebagai kaki dan sang musang sebagai tangan. Perembukaan itu mengenai perihal pembagian hasil buruan: kerbau hutan, kambing hutan dan ayam hutan. Pertama-tama sang harimau minta pendapat sang serigala. "Menurut hemat saya, kerbau hutan untuk sampeyan, kambing hutan untuk saya dan ayam hutan untuk saderek musang," sang serigala mengemukakan pendapatnya.
"Oh, begitu," kata sang harimau, dan bersamaan dengan itu ia menampar kepala sang serigala. Dapat dibayangkan hasil tamparan
harimau, oleh karena apabila harimau menampar bukan hanya sekadar dengan telapak kaki depan, melainkan bersamaan dengan layangan tamparan itu, sepuluh kuku harimau tersembul keluar. Barangkali itulah mengapa ada pepatah yang berbunyi: Ibarat harimau yang menyembunyikan kukunya. Tadi pada waktu serigala masih mengeluarkan pendapatnya, kuku harimau masih tersembunyi dalam jari-jemarinya.
"Lalu bagaimana pendapat sampeyan", ujar sang harimau kepada sang musang setelah selesai menampar sang serigala.
"Kalau menurut pertimbangan saya, kerbau jantan itu untuk makan siang sampeyan, juga kambing hutan untuk makan malam sampeyan, sedangkan ayam hutan adalah untuk sarapan pagi sampeyan pula, atau boleh juga dijadikan sebagai kudap (makanan ringan, snoepjes) sampeyan. Adapun untuk saderek serigala dan saya sudah cukup dengan melahap serpihan sisa-sisa sampeyan."
Dengan gembira sang harimau menerima saran sang musang sambil berkata: "Man 'Allamaka Hadza- lFiqh? (Siapa yang mengajarkan sampeyan fiqh ini?)".
"Dari tamparan sampeyan atas kepala saderek serigala", jawab sang musang tersipu-sipu.

Dari mana gerangan harimau itu belajar menyembunyikan kukunya dan menampar? Menurut penuturan nenek saya kepada saya sewaktu masih kecil (saya sering diantar tidur oleh nenek dengan dongeng-dongeng), harimau itu belajar ilmu dan keterampilan berburu kepada kucing. Hampir semua ilmu dan keterampilan kucing seperti menampar sambil mengeluarkan kuku dari ujung jari, mengintai, mengendus, menerkam, mengejar, melompat jauh, berlari dan melompat sambil mengogonggong mangsanya. (Kata gonggong adalah homonim, bermakna ganda. Kalau pelakunya harimau dan kucing, menggonggong bermakna memegang dengan gigi. Seperti misalnya kucing menggonggong anaknya yang masih kecil, menggigit tengkuk anaknya memindahkannya dari satu tempat ke tempat lain. Kalau pelakunya anjing, menggonggong sinonim dengan menyalak).

Kembali pada dongeng nenek perihal kucing yang menjadi guru harimau di atas tadi. Harimau menuntut supaya semua ilmu dan
keterampilan gurunya itu diajarkan kepadanya, karena menurut harimau keterampilan memanjat belum diajarkan kepadanya. Namun kucing tidak bersedia mengajarkannya. Dengan terus terang kucing menjelaskan kepada muridnya itu, bahwa bagaimanapun juga ia sebagai guru harus lebih pintar dari muridnya, karena badannya kecil, tenaganya tidak sekuat harimau. Barangkali dari segi inilah maka ada pepatah Belanda yang mengatakan: Wie niet sterk is, moet slim zijn (dia yang tidak kuat, harus cerdik). Kucing harus lebih cerdik dari harimau, karena tenaganya tidak sekuat harimau.

Maka marahlah harimau, ia melompat menerkam kucing. Namun dari tadi kucing sudah mengantisipasinya, sehingga dengan gesit ia melompat ke atas pohon menyelamatkan dirinya. Dengan geram harimau berkata: "Hai kucing, ini bukan ancaman, melainkan janji, saya akan cari terus ke mana engkau pergi untuk membunuhmu, bahkan kotoranmupun kalau kutemui akan kubunuh pula."

Itulah sebabnya maka hingga sekarang ini kucing menggali lubang, membuang kotorannya ke dalamnya kemudian menimbunnya kembali dengan tanah, khawatir kotorannya akan dibunuh kelak oleh harimau, murid yang tak tahu di untung, murid yang tidak berterima kasih kepada gurunya, murid yang tidak menghormati gurunya. Itulah sebabnya harimau menjadi perlambang bagi orang yang perbuatannya jahat, yang dipaterikan berupa peribahasa: Harimau mati meninggalkan belang. Kata belang dalam peribahasa
mempunyai konotasi yang jelek: Sudah ketahuan belangnya.

Syahdan, sesungguhnya manusia dapat belajar pada kucing, yaitu menimbun kotorannya. Sudah bertahun-tahun jawatan kesehatan mengkampanyekan jamban keluarga di pelosok-pelosok pedesaan. Hasilnya, rakyat yang taat pada pemerintah membuat jamban, namun hanya sebatas itu saja. Teknologinya dilaksanakan, akan tetapi hasil teknologi belum dimanfaatkan, karena membuang hajat di jamban belum membudaya. Teknologi sebagai perangkat kasar belum dijiwai oleh perangkat halus, yaitu kebudayaan. Jamban ada, tetapi kebudayaan membuang hajat di semak-semak, pinggir sungai, pinggir laut masih jalan terus. Jamban di rumah tidak dipergunakan, karena belum ada perubahan pola pikir dalam berkada-hajat ini. Jamban hanya dimanfaatkan jika kedatangan tamu dari kota.

Dalam mengkampanyekan pemanfaatan jamban ini, budaya malu yang masih menjadi nilai anutan di pelosok-pelosok hendaknya dapat dijadikan motivasi untuk perubahan pola pikir dari semak-semak, pinggir sungai dan pinggir laut ke jamban keluarga. Sebagai manusia, tidakkah malu pada diri sendiri melihat kucing menimbun kotorannya?

Itu dari segi positif yang dapat disimak dari dongeng-dongeng menyangkut harimau dengan kucing tersebut. Sifat jelek harimau barangkali wajar-wajar saja karena harimau itu memang binatang. Lalu sebagai manusia apakah tidak malu berkelakuan sebagai binatang? Menerkam guru dengan jalan menyunat gajinya, seperti harimau menerkam gurunya? Mengaktualisasikan keadilan dalam wujud keserakahan harimau, mau melahap sebanyak-banyaknya kue pembangunan? Ada baiknya kita mengemukakan sedikit disini ucapan Menhankam Jenderal (purnawirawan) Edi Sudrajat dalam Halaqah Nasional Wawasan Kebangsaan yang berlangsung di pondok Pesantren Girikusuma Mranggen, Demak, seperti berikut: "Masalah keadilan merupakan persoalan yang paling menonjol yang menjadi penyebab berbagai kerusuhan yang terjadi. Tidak hanya masalah kesenjangan sosial. Yang lebih parah," demikian beliau selanjutnya, "jika meraka tidak lagi merasa bangga menjadi warga bangsa Indonesia, karena tidak lagi merasakan adanya keharmonisan, kebersamaan dan keadilan."

Setiap Jum'at, Khatib menutup Khuthbahnya dengan ayat: Inna Llaha Ya'muru bil'Adli walIhsa-ni (S. An Nahl, 90), Sesungguhnya Allah memerintahkan melakukan keadilan dan kebajikan (16:90). WaLlahu A'lamu bi shShawab.

*** Makassar, 20 April 1997