13 Juni 2004

629. Ahmad Izzah di Dunia Baru

Seorang bocah, mungil tampan berumur sekitar lima tahun, malam itu masih berdiri tegak di lapangan Inkuisisi yang telah senyap. Korban-korban kebiadaban yang menolak menjadi Morisko itu telah syahid semua. Bocah mungil itu mencucurkan air matanya menatap sang ibu yang terkulai lemah di tiang gantungan. Perlahan-lahan bocah itu mendekati tubuh sang ummi yang sudah syahidah. Sang bocah berkata dengan suara parau,
-- Ummi, Ummi, mari kita pulang. Hari telah malam. Bukankah Ummi telah berjanji malam ini akan mengajariku lagi tentang alif, ba, ta, tsa? Ummi, cepat pulang ke rumah, Ummi. Bocah kecil itu akhirnya menangis keras, ketika sang Ummi tidak menjawab ucapannya. Ia semakin bingung dan takut, tak tahu harus berbuat apa. Untuk pulang ke rumah pun ia tak tahu arah. Akhirnya bocah itu berteriak memanggil bapaknya, 'Abi, Abi, Abi. Namun ia segera terhenti berteriak memanggil sang bapak ketika teringat kemarin petang bapaknya diseret dari rumah oleh beberapa orang berseragam.
-- Hai, siapa kamu?, teriak segerombolan orang yang tiba-tiba mendekati sang bocah.
-- Saya Ahmad Izzah, sedang menunggu Ummi, jawab sang bocah memohon belas kasihan. Tiba-tiba 'plak'!, sebuah tamparan mendarat di pipi sang bocah.
-- Hai bocah, wajahmu bagus, tetapi namamu jelek. Aku benci namamu. Sekarang kuganti namamu dengan nama yang bagus. Namamu sekarang Adolf Roberto. Awas!, jangan kau sebut lagi namamu yang jelek itu. Kalau kau sebut lagi nama lamamu itu, nanti akan kubunuh!, ancam laki-laki itu. Sang bocah meringis ketakutan, masih tetap meneteskan air mata. Bocah mungil itu hanya menurut ketika gerombolan itu membawanya keluar lapangan Inkuisisi. Akhirnya bocah tampan itu hidup bersama mereka.

***

Roberto sadar dari renungannya yang panjang. Pemuda itu melompat ke arah sang tahanan. Secepat kilat dirobeknya baju penjara yang melekat pada tubuh sang ustadz. Ia mencari-cari sesuatu di pusar laki-laki itu. Ketika ia menemukan sebuah 'tanda hitam' ia berteriak histeris:
-- Abi, Abi, Abi. Ia pun menangis keras, tak ubahnya seperti Ahmad Izzah dulu. Pikirannya terus bergelut dengan masa lalunya. Ia masih ingat betul, bahwa buku kecil yang ada di dalam genggamannya adalah Kitab Suci Al Quran milik ayahnya, yang dahulu sering dibawa dan dibaca ayahnya ketika hendak menidurkannya. Ia juga ingat betul ayahnya mempunyai 'tanda hitam' pada bahagian pusar.

Pemuda beringas itu terus meraung dan memeluk erat tubuh tua renta yang lemah itu. Tampak sekali ada penyesalan yang amat dalam atas ulahnya selama ini. Lidahnya yang sudah berpuluh-puluh tahun alpa akan Islam, saat itu dengan spontan menyebut:
-- Abi, aku masih ingat alif, ba, ta, tsa, hanya sebatas kata itu yang masih terekam dalam kulit otaknya. Sang ustadz segera membuka mata ketika merasakan ada tetesan hangat yang membasahi wajahnya. Dengan tatapan samar dia masih dapat melihat seseorang yang tadi menyiksanya habis-habisan kini tengah memeluknya.
-- Tunjuki aku pada jalan yang telah engkau tempuh Abi, tunjukkan aku pada jalan itu, terdengar suara Roberto memelas.

Sang ustadz tengah mengatur nafas untuk berkata-kata, ia lalu memejamkan matanya. Air matanya pun turut berlinang. Betapa tidak, jika sekian puluh tahun kemudian, ternyata ia masih sempat berjumpa dengan buah hatinya, ditempat ini. Sungguh tak masuk akal. Ini semata-mata bukti kebesaran Allah. Sang Abi dengan susah payah masih bisa berucap.
-- Anakku, pergilah engkau ke Mesir. Di sana banyak saudaramu. Katakan saja bahwa engkau kenal dengan Syaikh Abdullah Fattah Ismail Al Andalusy. Belajarlah engkau di negeri itu. Setelah selesai berpesan, sang ustadz menghembuskan nafas terakhir dengan berbekal Kalimah Indah:
-- Asyahadu an la- ila-ha illaLla-h, wa asyahadu anna Muhammadan Rasu-luLla-h. Syaikh Abdullah Fattah Ismail Al Andalusy berpulang ke RahmatuLla-h menemui Rabbnya dengan tersenyum, setelah sekian lama berjihad dibumi yang fana ini.

***

Ahmad Izzah telah menjadi seorang alim di Mesir. Kemudian menyeberang Samudra yang gelap dan berkabut, bermukim di Dunia Baru. Seluruh hidupnya dibaktikan untuk agamanya, Islam, sebagai ganti kekejaman dan kemungkaran yang di masa muda telah diperbuatnya. Dekrit kedua Raja Spanyol Carlos V tahun 1543 yang berisikan perintah pengusiran Muslimin keluar dari jajahan Spanyol di seberang laut Atlantik, menyebabkan Ahmad Izzah dan seluruh pengikutnya berpindah ke Utara, di mana sebelumnya, yaitu sejak tahun-tahun 700-800 M, telah bermukim kaum Muslimin emigran gelombang pertama Pra-Columbus. Menurut Dr. Barry Fell dari Harvard University bahwa di tempat itu telah bermukim kaum Muslimin, yang telah mendirikan sekolah-sekolah Islam di daerah yang sekarang dikenal dengan Valley of Fire, Allan Springs, Logomarsino, Keyhole, Canyon, Washoe dan Hickison Summit Pass (Nevada), Mesa Verde (Colorado), Mimbres Valley (New Mexico) dan Tipper Canoe (Indiana).

Firman Allah
-- FAQM WJHK LLDYN hNYFA FTHRt ALLH ALTY FTHAR ALNAS 'ALYHA LA TBDYL LKHLQ ALLH DZLK ALDYN ALQYM WLKN AKTSR ALNAS LA Y'ALMWN (S. ALRWM, 30), dibaca: fa aqim wajhaka liddi-ni hani-fan fithrataLla-hi allati- fatharan na-sa 'alayha- la- tabdi-la lihaqqiLla-hi dz-likad di-nul qayyimu wala-kin aktsaran na-si la- ya'lamu-n (s. arru-m), artinya: Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama, serta condong kepadanya, itulah agama, yang Allah jadikan sesuai dengan fitrah manusia. Tiadalah bertukar perbuatan Allah, itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. WaLlahu a'lamu bisshawab.

*** Makassar, 13 Juni 2004