17 November 1991

005. Sains yang Otonom dan Polos Perlu Diredefinisi

Secara gampangnya sains itu adalah proses penafsiran alam semesta yang dapat ditangkap/dideteksi oleh pancaindera, biasanya dengan bantuan instrumen, yang kemudian penafsiran itu harus diujicoba juga dengan bantuan instrumen. Jadi dalam sains obyek ilmu yakni alam sekitar dideteksi dahulu, lalu ditafsirkan, dan langkah terakhir diujicobalah penafsiran itu dengan instrumen pula. Atau dengan gaya redaksional yang sedikit lebih canggih: Sains meliputi pengungkapan hukum alam (ini istilah sekuler) tentang alam nyata dan perumusan hipotesa-hipotesa sepanjang belum dapat diujicoba secara eksperimen, yang memungkinkan orang dapat memprediksi peristiwa-peristiwa dan gejala-gejala alamiyah dalam kondisi-kondisi tertentu. Para pakar di bidang sains dengan demikian berurusan dengan penelitian dan pengungkapan fakta-fakta tentang sifat alamiyah dari alam semesta.

Definisi di atas itu kelihatannya menurut apa yang difahami selama ini adalah polos, tanpa nilai. Atau dengan permainan kata-kata yang lebih canggih: mempunyai nilai tersendiri yaitu nilai ilmiyah dengan ciri khasnya yang otonom. Dikatakan kelihatannya, oleh karena pada hakekatnya sains itu sesungguhnya memihak, jadi tidak otonom, seperti yang akan dibahas berikut ini:

Manusia berdasarkan sikapnya terhadap Tuhan, dapat diklasifikasikan dalam empat golongan, yaitu: a) Golongan yang percaya akan adanya Tuhan sebagai Pencipta dan Pengatur alam semesta. Artinya setelah Tuhan mencipta, lalu disertai tindak lanjut dengan memberikan petunjuk kepada manusia dengan menurunkan wahyu kepada manusia pilihan yang disebut Nabi, yang akan meneruskan petunjuk itu kepada ummat manusia. Golongan ini disebut dengan Theist. b) Golongan yang percaya akan adanya Tuhan hanya sebagai Pencipta saja. Wahyu tidak ada. Manusia cukup mengatur dirinya dengan akalnya saja. Sikap yang berpikir demikian itu disebut sekuler. Golongan yang kedua ini disebut dengan Deist. Adalah logis bahwa golongan ini walaupun sudah percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa, tetapi belum menganut sesuatu agama. c) Golongan yang tidak mau tahu tentang adanya Tuhan. Adanya Tuhan atau tidak adanya Tuhan, bukanlah sesuatu yang penting benar untuk dipikirkan, hanya membuang-buang energi saja. Golongan ini disebut dengan Agnostik. Barangkali perlu menyebut nama orang dari golongan ini, satu laki-laki dan satu perempuan yaitu: Betrand Russel dan Madam Blavatsky. d) Golongan yang tidak percaya akan adanya Tuhan. Golongan ini disebut dengan Atheist.

Semua ilmu yang diajarkan di sekolah-sekolah umum, apalagi sains adalah memihak kepada golongan [b], [c] dan [d]. Dalam ilmu-ilmu itu tersebut, cobalah diingat-ingat pernakah di sebut-sebut nama Tuhan? Menyebut nama Tuhan dalam sains berarti hilanglah otonomi sains itu. Akan tetapi dapatkah otonomi atau kepolosan itu tetap dipertahankan? Polos atau otonom artinya tidak memihak. Padahal dengan tidak mau tahu tentang Tuhan di dalam sains, berarti sains sudah memihak kepada golongan [b], [c] dan [d] tersebut itu. Artinya apa yang dikenal selama ini bahwa nilai ilmiyah itu otonom, atau dengan ungkapan sederhana tanpa nilai, sebenarnya adalah pernyataan yang palsu. Walhasil, karena tidak mungkin ilmu itu tidak memihak di antara keempat golongan itu, maka tentu saja bagi yang berpikiran sehat, akan memilih golongan pertama tempat ilmu itu memihak. Maka dengarlah firman Allah di bawah ini: Inna fiy khalqi sSama-wa-ti wa lArdhi wa-khtilaafi lLayli wa nNahaari laa-ya-tin liUli lAlbaab. Alladziena yadzkuruwna Lla-ha qiyaaman wa qu'uwdan wa 'ala- Junuwbihim wa yatafakkaruwna fiy khalqi sSama-wa-ti wa lArdhi Rabbanaa maa khalaqta ha-dzaa baathilan subha-naka faqinaa 'adzaaba nNaar (S. Ali 'Imraan, 190), artinya: Sesungguhnya dalam proses penciptaan benda-benda langit dan bumi, dan pergantian malam dengan siang menjadi keterangan bagi ululalba-b. Yaitu mereka yang ingat kepada Allah dalam keadaan berdiri, duduk ataupun berbaring, lalu mereka berkata; Wahai Yang Maha Pengatur kami, tidaklah Engkau menciptakan semuanya ini dengan sia-sia, maka peliharalah kami dari azab neraka (3:190).

Kesimpulannya, perlu redefinisi sains, yaitu dengan mentransfer pemihakan itu dari golongan [b], [c] dan [d] kepada golongan yang pertama, bunyinya seperti berikut: Sains meliputi pengungkapan TaqdiruLlah (hukum-hukum Allah) tentang alam syahadah yang ciptaan Allah sebagai Maka Pencipta (Al Khaliq) dan Maha Pengatur (Ar Rabb), dan perumusan hipotesa-hipotesa sepanjang belum dapat diujicoba dengan eksperimen, yang memungkinkan orang dapat mentakwilkan peristiwa-peristiwa dan gejala-gejala alamiyah dalam kondisi-kondisi tertentu. Para pakar di bidang sains berurusan dengan penelitian, pengungkapan fakta-fakta tentang sifat alamiyah dari alam semesta. WaLlahu a'lamu bishshawab.

*** Makassar, 17 November 1991