2 Februari 1992

016. Manajemen Terbuka, Manajemen Partisipatif

Andi Lolo, dosen Fakultas Sospol, seorang peneliti ilmu-ilmu sosial, sekarang sementara menduduki jabatan bupati di Kabupaten Tana Toraja di Provinsi Sulwesi Selatan ini, dalam suatu diskusi ilmiyah mengemukakan satu hal yang menarik, yaitu demikian: Ada suatu kampung, apabila ada kambing masuk halaman masjid, para penduduk kampung serta merta mengusir kambing itu keluar. Akan tetapi apabila halaman sekolah yang dimasuki kambing, merusak tanam-tanaman di dalamnya, maka penduduk membiarkan saja hal itu. Peneliti itu bertanya kepada penduduk, mengapa sikap mereka demikain itu, maka yang bersangkutan mendapat jawaban: Masjid itu kami yang bangun, jadi itu menjadi urusan kami untuk memeliharanya, sedangkan sekolah itu pemerintah yang bangun, jadi itu adalah urusan pemerintah dalam pemeliharaannya. 

Apa yang terjadi di atas itu menyangkut rasa keterlibatan dalam proses pengambilan keputusan untuk membangun masjid dan sekolah. Kemudian menyangkut proses pembangunan, melanjut kepada proses pemeliharaan. Singkat kata menyangkut partisipasi dalam suatu proses apa saja. Gaya manajemen untuk membangkitkan semangat partisipasi bawahan, anak buah, masyarakat atau kelompok apa saja, itulah yang akan dibahas. 

Untuk itu marilah kita melihat kepada sumber informasi wahyu. Berfirman Allah SWT dalam Al Quran, S. Al Baqarah ayat 30: Wa idzqaala rabbuka li-lmalaaikati innie jaa'ilun fi-l ardhi kahlifatan, qaaluu ataj'alu fieha man yufsidu fieha wa yasfiqu-ddimaa wa nahnu nushabbihu bihamndika wa nuqaddisu laka, artinya: Dan ingatlah ketika Maha Pengaturmu berkata (kepada para malaikat), sesungguhnya Aku akan menjadikan khalifah di muka bumi, mereka (para malaikat) berkata: Apakah Engkau menjadikan di atas permukaan bumi yang merusak di situ dan menumpahkan darah, sedangkan kami ini (para malaikat) tasbih dan tahmid kepadaMu dan mengkuduskanMu (2:30). 

Sudah berulangkali dikemukakan dalam Serial ini, bahwa akal sangat berguna untuk dapat memahami wahyu dengan baik. Buat apa Allah SWT memberitahu kepada kita ummat manusia melalui wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW tentang peristiwa dialog antara Allah dengan para malaikat? Jawabnya supaya kita ini dapat belajar dari peristiwa itu. Allah Maha Kuasa dan para malaikat adalah makhluq yang tinggi nilai kwalitas ketaatannya kepada Allah. Lalu mengapa pula Allah Yang Maha Kuasa mesti memberitahu kepada para malaikat yang sangat taat kepada Allah itu? Bukankah Allah berbuat sekehendakNya? Inilah pelajaran buat ummat manusia yang kita maksudkan itu: Sedangkan Allah Yang Mahakuasa itu memberi kesempatan kepada para malaikat yang sangat taat itu untuk mengeluarkan uneg-uneg (brain storming) tentang suatu keputusan yang akan diambil, maka apapula kita manusia ini yang amat tidak kuasa tidak memberikan kesempatan kepada anak buah yang sangat rendah kadar ketaatannya ketimbang ketaatan malaikat kepada Allah, untuk melibatkan mereka itu dalam proses pengambilan keputusan? Inilah gaya kepemimpinan yang Allah ajarkan kepada kita melalui informasi dialog antara Allah dengan para malaikat, yaitu gaya kepemimpinan yang terbuka, manajemen terbuka. Dengan gaya manajemen terbuka ini anak buah mengerti dan merasa terlibat dalam proses pengambilan keputusan itu. Konsekwensinya anak buah merasa ikut bertanggung jawab dalam pelaksanaan hasil keputusan. Dan selanjutnya akan merasa bertanggung jawab pula dalam memelihara/mengamankan keputusan yang telah dilaksanakan itu. Jadi gaya manajemen terbuka akan menghasilkan partisipasi anak buah dalam melaksanakan dan memelihara apa yang telah isepakati/diputuskan itu. Inilah gaya manajemen partisipatif. Ini baru teorinya, bagaimana dengan aplikasinya? 

Untuk itu kita perlu melihat pada informasi dari Hadits. Bagaimana Rasulullah SAW dalam sunnahnya (ucapan dan perbuatan) melakukan tehnik pendekatan dalam rangka aplikasi manajemen partisipatif itu. Memang untuk dapat mengerti wahyu dengan baik, mempergunakan akal itu perlu, tetapi belum cukup. Informasi wahyu harus ditambah dengan informasi ucapan dan perbuatan Rasulullah SAW. 

Setelah Rasulullah hijrah ke Madinah maka dibentuklah Negara Islam Madinah. Rakyatnya terdiri atas kaum Muhajirin (mereka yang hijrah), kaum Anshar (penduduk Islam Madinah), dan penduduk Madinah yang lain, yaitu yang tidak beragama Islam terdiri atas orang-orang Arab Madinah dan orang-orang Yahudi. Baik Madinah maupun Makkah pada waktu itu berupa Negara Kota (City States), yang dalam keadaan perang. Pada waktu informasi yang didapatkan oleh jaringan intel pihak Madinah bahwa tentara Makkah sudah siap untuk menyerbu Madinah guna membalas kekalahan mereka dalam Perang Badar, maka Rasulullah sebagai Kepala Negara dan Panglima Perang mengumpulkan penduduk Madinah untuk bermusyawarah. Dalam musyawarah itu Rasulullah mengeluarkan gagasannya/tawaran bagaimana kalau bertahan dalam kota saja. Sesudah Rasulullah mengemukakan tawaran itu, beliau memberi kesempatan kepada penduduk Madinah untuk lobying antara satu dengan yang lain. Hasilnya ialah pada umumnya penduduk Madinah tidak sependapat dengan gagasan Rasulullah. Dengan Hamzah sebagai juru bicara dikemukakanlah alasan mengapa mereka tidak sependapat. Kota Madinah tidak terlindung seluruhnya untuk menghadapi serangan frontal. Memang ada benteng Yahudi dan jajaran pohon-pohon kurma sebagai benteng alam terhadap pasukan berkuda, akan tetapi ada pula bagian/lini yang terbuka. Akhirnya diputuskanlah bahwa pasukan Quraisy dari Makkah harus dihadang di luar kota dengan posisi bukit Uhud sebagai benteng alam yang melindungi pasukan Madinah dari belakang. 

Itulah tehnik Rasulullah dalam aplikasi manajemen partisipatif itu. Masakan Rasulullah tidak tahu bahwa bertahan di Madinah adalah tidak taktis (menurut Ejaan Yang Disempurnakan taktik). Ini adalah disengaja, agar gagasan tentang bertahan di luar kota bukanlah gagasan dari atas, melainkan gagasan yang timbul dari bawah, dalam kalangan mereka sendiri. Mereka terlibat dalam proses pengambilan keputusan, bahkan lebih dari itu, keputusan itu adalah dari gagasan mereka sendiri, walhasil timbullah partisipasi dari mereka dalam pelaksanaan dan pengamanan keputusan yang telah dilaksanakan itu. Begitulah tehnik Rasulullah dalam aplikasi gaya kepemimpinan yang partisipatif itu. WaLlahu a'lamu bishshawab. 

*** Makassar, 2 Februari 1992