Tulisan ini diangkat dari diskusi tentang pendidikan dalam Musyawarah Cendekiawan Antar Agama yang baru lalu. Diskusi yang oleh penyaji DR Makkulau dari IKIP mempergunakan model masukan, (input), proses, luaran (output), dengan beberapa masukan instrumen, antara lain kurikulum. Peristiwa tragis di Unhas tidak luput dari sorotan dalam diskusi itu. Bahkan penyaji makalah itu
menjadi saksi mata. Pasalnya waktu itu ia menjemput anaknya yang sedang diopspek di Fakultas Teknik. Sempatlah dia menyaksikan tragedi itu. Dan buat seorang pendidik seperti dia, dalam menyaksikan apa yang di depan matanya itu, dirasakannya sebagai ada sesuatu yang hilang dalam sistem pendidikan kita.
Saya sebagai salah seorang penanggap dalam diskusi itu ikut mengemukakan pendapat tentang pernyataan pemakalah mengenai sesuatu yang hilang itu. Sebenarnya dalam beberapa seri yang lalu saya telah menulis tentang hal ini tetapi dilihat dari segi model yang berbeda, yaitu model nafsun ammarah, kemasan dan sekat.
Salah satu etika yang penting dalam suatu diskusi ialah penanggap sebaiknya ikut masuk dalam model penyaji, walaupun si penanggap punya model sendiri. Demikianlah dalam menanggapi itu saya kesampingkan model saya sendiri, dan mengikuti model input, proses, output. Saya melihat bahwa sesuatu yang hilang itu dapat kita ungkit dari kurikulum dan proses itu sendiri. Proses itu dikenal, bahkan sangat dikenal dengan ungkapan proses belajar mengajar. Ada pepatah yang berbunyi: bahasa menunjukkan bangsa. Saya ubah sedikit: ungkapan menunjukkan pola pikir. Dalam ungkapan itu tidak ada sama sekali kata kunci yang sangat penting: pendidikan. Jadi di sinilah sesuatu yang hilang itu, yaitu bermula dari pola pikir yang mencuekkan pendidikan. Bahwa apa yang penting adalah mentransfer ilmu belaka dalam proses itu. Pada hal dalam suatu konsep teoritik suatu kurikulum yang bulat dan utuh adalah harus mengandung: pengetahuan, keterampilan dan sikap. Mentransfer pengetahuan dan keterampilan itulah yang pengajaran, sedangkan mentransfer yang akan membuahkan sikap, yaitu meneruskan pesan nilai-nilai, itulah yang pendidikan.
Karena ungkapan proses belajar mengajar yang menunjukkan pola pikir yang mencuekkan pendidikan itu, kurikulum yang dijabarkan dalam silabus, TIU ke TIK, dicuekkanlah pesan-pesan tentang nilai yang akan membentuk sikap dan watak anak didik. Tidak terkecuali tentang sikap yang dimulai mencintai alma mater, meningkat kepada mencintai sesama manusia dan seterusnya mencintai Allah dan RasulNya. Kurikulum yang dijabarkan dalam silabus, TIU dan TIK yang menghasilkan anak didik yang mencintai alma maternya tidaklah akan sampai hatinya akan membakar salah satu gedung dalam universitasnya. Anak didik yang mencintai dan menghormati alma maternya akan menjaga baik-baik alma maternnya itu. Tidaklah akan terjadi tragedi yang sangat memalukan itu. Memalukan oleh karena tidak pernah terjadi dalam sejarah di mana saja, mahasiswa sampai hati membakar, merusak kampusnya sendiri.
Walhasil, ungkapan proses belajar mengajar harus diperbaiki, dengan memasukkan ke dalamnya kata kunci pendidikan. Lalu menjadilah ia dengan ungkapan proses mendidik dan belajar mengajar. Maka dengan demikian kurikulum itu akan dijabarkanlah secara sadar dalam keadaan keseimbangan penekanannya pada ketiga unsur: pengetahuan, keterampilan dan sikap, atau dan ini yang lebih baik: sikap, pengetahuan dan keterampilan. Suatu pekerjaan rumah bagi para pendidik, yang tentu saja bukan hanya dalam ruang lingkup pedidikan tinggi, melainkan dalam ruang lingkup yang lebih luas, mulai dari pendidikan taman kanak-kanak, sampai dengan pendidikan tinggi.
Diskusi yang diceritakan di atas itu hanya terbatas dalam sistem pendidikan yang formal. Jikalau ini lebih diperluas ke dalam arena sistem pendidikan yang innformal, yang dalam hal ini difokuskan pada da'wah, maka apa yang terjadi keadaannya hampir sama. Dalam da'wah kelihatannya sekarang ini bobotnya hanya pada mentransfer pengetahuan tentang keIslaman. Tidaklah kita
bermaksud mengatakan bahwa mentransfer pengetahuan keIslaman dalam da'wah itu tidak penting. Itu penting, tetapi belumlah cukup. Ingat, dalam Al Quran ada ungkapan: yad'uwna ila lkhayr menyeru, mengajak kepada nilai-nilai kebaikan, menyampaikan pesan-pesan nilai yang dapat membentuk sikap yang baik.
Contohnya mengenai shalat. Pengetahuan mengenai shalat yang betul menurut fiqh itu perlu untuk tertibnya shalat. Tetapi jangan hanya berhenti sampai di situ, karena shalat bukanlah tujuan, melainkan sarana untuk mencapai tujuan. Apa tujuan shalat?, tanha 'ani lfahsyaai wa lmunkar, mencegah perbuatan keji dan munkar.
Jadi da'wah itu bukan hanya sekadar untuk yang kognitif (pengetahuan), keterampilan menurut fiqh, melainkan harus dan ini yang terpenting, menyentuh hati nurani yang akan menghasilkan pola pikir yang Islami, yang selanjutnya sikap yang Islami dan selanjutnya lagi tingkah laku yang Islami. WaLlahu a'lamu bishshawab.
*** Makassar, 4 Oktober 1992
menjadi saksi mata. Pasalnya waktu itu ia menjemput anaknya yang sedang diopspek di Fakultas Teknik. Sempatlah dia menyaksikan tragedi itu. Dan buat seorang pendidik seperti dia, dalam menyaksikan apa yang di depan matanya itu, dirasakannya sebagai ada sesuatu yang hilang dalam sistem pendidikan kita.
Saya sebagai salah seorang penanggap dalam diskusi itu ikut mengemukakan pendapat tentang pernyataan pemakalah mengenai sesuatu yang hilang itu. Sebenarnya dalam beberapa seri yang lalu saya telah menulis tentang hal ini tetapi dilihat dari segi model yang berbeda, yaitu model nafsun ammarah, kemasan dan sekat.
Salah satu etika yang penting dalam suatu diskusi ialah penanggap sebaiknya ikut masuk dalam model penyaji, walaupun si penanggap punya model sendiri. Demikianlah dalam menanggapi itu saya kesampingkan model saya sendiri, dan mengikuti model input, proses, output. Saya melihat bahwa sesuatu yang hilang itu dapat kita ungkit dari kurikulum dan proses itu sendiri. Proses itu dikenal, bahkan sangat dikenal dengan ungkapan proses belajar mengajar. Ada pepatah yang berbunyi: bahasa menunjukkan bangsa. Saya ubah sedikit: ungkapan menunjukkan pola pikir. Dalam ungkapan itu tidak ada sama sekali kata kunci yang sangat penting: pendidikan. Jadi di sinilah sesuatu yang hilang itu, yaitu bermula dari pola pikir yang mencuekkan pendidikan. Bahwa apa yang penting adalah mentransfer ilmu belaka dalam proses itu. Pada hal dalam suatu konsep teoritik suatu kurikulum yang bulat dan utuh adalah harus mengandung: pengetahuan, keterampilan dan sikap. Mentransfer pengetahuan dan keterampilan itulah yang pengajaran, sedangkan mentransfer yang akan membuahkan sikap, yaitu meneruskan pesan nilai-nilai, itulah yang pendidikan.
Karena ungkapan proses belajar mengajar yang menunjukkan pola pikir yang mencuekkan pendidikan itu, kurikulum yang dijabarkan dalam silabus, TIU ke TIK, dicuekkanlah pesan-pesan tentang nilai yang akan membentuk sikap dan watak anak didik. Tidak terkecuali tentang sikap yang dimulai mencintai alma mater, meningkat kepada mencintai sesama manusia dan seterusnya mencintai Allah dan RasulNya. Kurikulum yang dijabarkan dalam silabus, TIU dan TIK yang menghasilkan anak didik yang mencintai alma maternya tidaklah akan sampai hatinya akan membakar salah satu gedung dalam universitasnya. Anak didik yang mencintai dan menghormati alma maternya akan menjaga baik-baik alma maternnya itu. Tidaklah akan terjadi tragedi yang sangat memalukan itu. Memalukan oleh karena tidak pernah terjadi dalam sejarah di mana saja, mahasiswa sampai hati membakar, merusak kampusnya sendiri.
Walhasil, ungkapan proses belajar mengajar harus diperbaiki, dengan memasukkan ke dalamnya kata kunci pendidikan. Lalu menjadilah ia dengan ungkapan proses mendidik dan belajar mengajar. Maka dengan demikian kurikulum itu akan dijabarkanlah secara sadar dalam keadaan keseimbangan penekanannya pada ketiga unsur: pengetahuan, keterampilan dan sikap, atau dan ini yang lebih baik: sikap, pengetahuan dan keterampilan. Suatu pekerjaan rumah bagi para pendidik, yang tentu saja bukan hanya dalam ruang lingkup pedidikan tinggi, melainkan dalam ruang lingkup yang lebih luas, mulai dari pendidikan taman kanak-kanak, sampai dengan pendidikan tinggi.
Diskusi yang diceritakan di atas itu hanya terbatas dalam sistem pendidikan yang formal. Jikalau ini lebih diperluas ke dalam arena sistem pendidikan yang innformal, yang dalam hal ini difokuskan pada da'wah, maka apa yang terjadi keadaannya hampir sama. Dalam da'wah kelihatannya sekarang ini bobotnya hanya pada mentransfer pengetahuan tentang keIslaman. Tidaklah kita
bermaksud mengatakan bahwa mentransfer pengetahuan keIslaman dalam da'wah itu tidak penting. Itu penting, tetapi belumlah cukup. Ingat, dalam Al Quran ada ungkapan: yad'uwna ila lkhayr menyeru, mengajak kepada nilai-nilai kebaikan, menyampaikan pesan-pesan nilai yang dapat membentuk sikap yang baik.
Contohnya mengenai shalat. Pengetahuan mengenai shalat yang betul menurut fiqh itu perlu untuk tertibnya shalat. Tetapi jangan hanya berhenti sampai di situ, karena shalat bukanlah tujuan, melainkan sarana untuk mencapai tujuan. Apa tujuan shalat?, tanha 'ani lfahsyaai wa lmunkar, mencegah perbuatan keji dan munkar.
Jadi da'wah itu bukan hanya sekadar untuk yang kognitif (pengetahuan), keterampilan menurut fiqh, melainkan harus dan ini yang terpenting, menyentuh hati nurani yang akan menghasilkan pola pikir yang Islami, yang selanjutnya sikap yang Islami dan selanjutnya lagi tingkah laku yang Islami. WaLlahu a'lamu bishshawab.
*** Makassar, 4 Oktober 1992