7 Juni 2009

877. Arab Tak Pernah Membantu Indonesia ?

Ruhut Sitompul, di dalam sebuah dialog di stasiun TV swasta, mengatakan bahwa 'Arab tidak pernah membantu Indonesia', Menurut Ruhut, yang paling banyak membantu Indonesia adalah AS. Ruhut Sitompul yang mencerminkan Tim Kampanye SBY-Boediono ini, sedemikian sangat terpesonanya pada Amerika yang penyebar Neoliberalisme, secara tidak sadar membuka kedok pasangan SBY yang Neoliberalis itu. Tambahan pula Ruhut Sitompul yang mencerminkan Tim Kampanye SBY-Boediono tsb, ucapannya itu sangat tendensius, "yang keluar dari mulut, itulah yang menajiskan"[Matius 15:11], bukan hanya sekadar melecehkan Arab, tetapi juga mempunyai konotasi negatif terhadap Islam. Ruhut Sitompul peniup trompet Tim Kampanye SBY-Boediono dalam dialog di stasiun TV swasta tersebut berupaya mengaburkan jalannya detikdetik sejarah paska Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945.

Betapa luar biasanya dukungan rakyat dan para pemimpin Arab memberikan bantuan bersifat total, bagi tegaknya negara Republik Indonesia pada detikdetik sejarah paska Proklamasi. Mereka dengan gigih memberikan dukungan bagi kemerdekaan bangsa Indonesia dalam wujud memberkan pengakuan terhadap negara Republik Indonesia, di awal kemerdekaannya. Apakah fakta sejarah ini harus dihapuskan oleh Ruhut Sitompul?

Di Mesir, Ikhwanul Muslimin (atau dalam bentuk jumlah ismiyah: Al-Ikhwan Al-Muslimun), yang memelopori gerakan anti penjajah, memberikan dukungan kepada perjuangan rakyat Indonesia yang telah memproklamasikan kemerdekaan bangsa Indonesia. Ketika seorang informan dari Kedutaan Belanda, di Kairo, Mansur Abu Karim, membaca berita kemerdekaan Indonesia, di sebuah Majalah Vrij Nederland, bagaikan angin yang berhembus kencang, yang melanda seluruh Kawasan Tengah. (Saya tidak pakai yang lazim dipakai orang: "TimurTengah", berhubung saya ini bangsa Indonesia, negeri-negeri Arab yang dimaksud, itu berada di sebelah barat, bukan di timur).

Di sejumlah kota Mesir, Gerakan Al-Ikhwan Al-Muslimun menggelar aksi besar-besaran mendukung penuh kemerdekaan Indonesia. Selanjutnya, sejumlah ulama membentuk 'Lajnah Difa'ian Indonesia' (Panitia Pembela Indonesia). Lajnah Difa'ian ini dideklarasikan, pada 16 Oktober 1945, di Gedung Pusat Perhimpunan Pemuda Islam dengan Jendral Saleh Harb Pasya, sebagai pemimpin pertemuan itu. Pertemuan yang berlangsung dalam waktu singkat itu, dihadiri oleh sejumlah tokoh Ikhwan, seperti Hasan al-Banna, Prof.Taufiq Syawi, Muhammad Ali Taher (pemimpin Palestinia), dan Sekjen Liga Arab, Dr.Salahuddin Pasya. Dalam kesempatan itu, Dr.Salahuddin menyerukan kepada seluruh negara Arab dan Islam untuk segera mendukung, membantu, dan mengakui kemerdekaan RI. Panitia yang dipimpin Jendral Saleh Harb itu, juga mengancam Inggris, agar tidak membantu Belanda kembali ke Indonesia. "Jika Inggris membantu Belanda untuk kembali ke Indonesia, maka Inggris akan menuai kemarahan dunia Islam di Kawasan Tengah", ancam Salahuddin.

Demikianlah Kuatnya dukungan rakyat Mesir terhadap kemerdekaan RI, tak lain atas desakan dan lobi yang dilakukan para pemimpin Al-Ikhwan Al-Muslimun, yang membuat pemerintah Mesir mengakui kedaulatan pemerintah RI, pada 22 Maret 1946. Inilah pertama kalinya negara asing mengakui kedaulatan RI secara resmi. Dalam kaca mata hukum internasional, maka lengkaplah persyaratan bagi Indonesia menjadi negara yang berdaulat. Demikanlah di kala itu, gerakan dari rakyat Arab, terutama di Mesir, aksi demonstrasi ke Kedutaan Belanda di Kairo, terus berlangsung, semuanya dilakukan oleh kepanduan Ikhwan. Kondisi membuat ketakutan Kedutaan Belanda di Kairo, dan mencopot lambang dan bendera mereka.

Puncaknya, pemerintah Indonesia dibawah Presiden Soekarno, mengirim delegasi ke Kairo, 7 April 1947, dan inilah delegasi pertama Indonesia yang pergi ke luar negeri. Di Hotel Hiliopolis Palace, Kairo, sejumlah pejabat tinggi Mesir, dan dunia Arab, mengunjungi delegasi Indonesia. Diantra para tamu yang ikut menemui delegasi Indonesia itu, termasuk tokoh oposisi di Mesir, dan juga pemimpin Al-Ikhwan Al-Muslimun, Hasan al-Banna. Inilah hubungan Arab-Indonesia, pada detik-detik kemerdekaan, yang dilecehkan oleh Ruhut Sitompul, yang mencerminkan Tim Kampanye SBY-Boediono di dalam dialog di stasiun TV swasta tersebut. "Jasmerah", kata Bung Karno, itu adalah kependekan dari "Jangan sekali-kali melupakan sejarah". Maka, layak kalau Ketua Persaudaraan Nasionalis Arab Indonesia (PNAI), Rusjdi Basalamah, memprotes pernyataan yang melecehkan itu.

Sebalinya, Barat dan Eropa, mereka tak lain adalah kaum penjajah, sejak dahulu, hingga kini. Sejak zaman VOC, sampai berkembangnya Kapitalisme, hingga dewasa ini Neoliberalisme mengeruk kekayaan alam Indonesia, mulai dari Free Port, yang dikuasai oleh para Taipan Yahudi: Perusahaannya Mc.Moran, sampai ke blok Cepu, yang dikuasai oleh perusahaan Exxson. Dari Caltex di Riau, sampai Bontang, yang ada di Kalimantan. Bahkan, penjajahan ekonomi sepertinya ingin dilestarikan oleh kelompok Mafia Berkeley, yang mulanya hanya bercokol di sekitar kekuasaan (baca: menteri), yang rupanya dalam Pilpres diupayakan dalam wujud penunjukan Boediono sebagai Cawapres.

Firman Allah:
-- YAYHA ALDzYN aAMNWA ATQWA ALLH WLTNZhR NFS MA QDMT LGhD (S. ALHSYR, 59:18), dibaca:
-- ya-ayyuhal ladzi-na a-manut taquLla-ha waltanzhur nafsum ma- qaddamat lighadin, artinya:
Hai orang-orang beriman, taqwalah kepada Allah dan mestilah orang mengkaji masa lalu untuk masa depan.
WaLlahu A'lamu bi Al Shawa-b.

***
Makassar, 7 Juni 2009