12 Desember 2010

952 Mengapa Takut dan Berlindung di Balik Konstitusi

Mengingat jasa Monarki Yogyakarta dalam Revolusi Kemerdekaan NKRI, maka sebagai pamrih (reward) wajarlah dikukuhkan menjadi Daerah Istimewa dengan UU. Kementerian Dalam Negeri selesai menyusun Rancangan Undang-undang tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (RUU KDIY). Maka di lapangan mengerucut kontroversi pemilihan vs penunjukan gubernur. Massa yang berdemo menyatakan bahwa rakyat Yogya tetap setia kepada Sultan yang sebentar lagi akan berakhir masa jabatannya sebagai gubernur. Untuk itu mereka menuntut agar dalam RUU KDIY itu Sultan ditunjuk sebagai gubernur (seumur hidup?). Ini aneh, kalau memang rakyat Yogya tetap setia kepada Sultan, lalu mengapa takut diadakan pemilihan melalui Pilkada?
 
***
 
Seperti biasanya pada TV-One setiap Senin malam Jakarta Lawyers Club menyelenggarakan diskusi yang dipandu oleh Bung-One. Dalam beberapa pekan lalu diskusi mengambil topik "studi banding" para anggota DPR. 
 
Secara normatif studi banding ke 53 negara asing itu sah secara hukum, karena yang mereka lakukan itu adalah konstitusional, berhubung itu diatur dalam peraturan dan tata tertib DPR. Namun secara hakikat dan moral serta kepatutan, studi banding ke manca negara itu dinilai oleh publik dengan respons negatif sebagai "pasiar" (bhs Manado), atau  "jappa-jappa" (bhs Makassar), alias jalan-jalan sekadar menghabiskan anggaran memboroskan uang negara. Bahkan rombongan ke Yunani yang keceknyo untuk belajar etika, tatkala pulang melancong dulu ke Turki ada (tidak semuanya) yang menonton tari perut. Baru selesai kuliah etika kok ada anggota DPR yang "berhormat" (awalan ber bukan ter) menonton tari perut. Kalau mau belajar etika bukan ke luar negeri, melainkan di dalam negeri belajar etika pada sub-kultur beragam etnik di Indonesia ini yang memendam etika yang luhur.
 
Mengenai studi banding DPR dari periode ke periode, perpustakaan DPR sudah berulangkali meminta laporan, tetapi sampai dewasa ini tidak pernah diberikan. Itu menunjukkan bahwa studi banding DPR dari periode ke periode sesungguhnya tidak ada hasilnya yang layak untuk dilaporkan. Terkait dengan ini, Arif Nur Alam yang Direktur Indonesia Budget Center menyatakan: "Jangankan berharap pada hasil, mereka tidak paham terhadap apa yang mereka lihat, dengar, dan dialogkan dengan pihak negara yang dikunjungi. Itu terjadi karena anggota dewan itu tidak memiliki kemampuan berbahasa Inggris yag baik." Sejumlah pengamat bahkan menyatakan studi banding itu baik legislatif maupun eksekutif mutlak dihentikan, sebelum ada hasil evaluasi yang akurat oleh lembaga independen yang profesional, perlu tidaknya studi banding itu dilakukan pada masa datang.
 
***
 
Yang berikut ini ilustrasi bagaimana DPR dari periode ke periode  "memanfaatkan" uang negara.
 
Pada periode 1999-2004 kenaikan gaji dan tunjangan bagi anggota dewan sangat signifikan. Jauh melebihi periode sebelumnya, hingga mencapai Rp.30-juta di luar tunjangan jabatan beserta tambahan tetek-bengek lainnya, seperti uang reses misalnya. Mereka dapat teteknya, rakyat yang memilihnya dapat bengeknya. Kemudian kenaikan biaya pembuatan undang-undang dari Rp.300-juta sebelum era reformasi melambung menjadi Rp.2-miliar hingga Rp.3miliar lebih pada tahun 2005-2009. Periode 2005-2009 ini adalah era DPR yang paling banyak mendapatkan hujan kritik dan caci-maki publik, karena periode ini merupakan periode yang paling banyak menuntut keuangan negara dengan hasil kerja yang
tidak maksimal. Hampir semua UU yang dihasilkan DPR menderita judicial review digugat publik ke Mahkamah Kunstitusi. Itu artinya, produk UU yang dihasilkan itu tidak representatif dan bahkan lemah.
 
Jumlah itu terbang tinggi lagi oleh ulah DPR periode 2009-2014, yang pergi "jappa-jappa" itu. Bayangkan sudah hampir Rp.5-miliar pada tahun 2009-2010 ini saja.
 
Di samping pengeluaran tetek-bengek itu ada pula tuntutan tetek-bengek seperti tuntutan uang pembelian laptop, anggaran penggalangan aspirasi rakyat di darah pemilihan (dapil) masing-masing Rp1,5 miliar per anggota, anggaran renovasi rumah jabatan, dan uang sewa rumah anggota dewan. Bahkan ada rencana bengek pembangunan Gedung Baru DPR yang serba "WAH", yang akan melahap fulus selangit Rp.1,16-triliun. Alasannya? Gedung Nuantara I DPR diklaim sudah tidak layak, karena sudah miring dan sudah retak-retak. Ternyata, ternyata, ternyata ..... gedung itu sama sekali tidak miring dan masih layak pakai, hanya mengalami retak-retak saja dan perlu perbaikan kecil. Ini menurut hasil
investigasi yang dilakukan oleh Kementerian Pekerjaan Umum. Yang yang bilang Gedung Nuantara I DPR itu sudah miring, matanya yang juling atau otaknya yang miring.
 
Itulah, mereka yang belum genap bekerja satu tahun dengan seenaknya menghambur-hamburkan uang negara dalam jumlah yang tidak sedikit, sama sekali tidak ada rasa empati terhadap penderitaan berat sebagian penduduk korban bencana alam (banjir bandang Wasior, tsunami Mentawai, erupsi Merapi). Seharusnya DPR memfungsikan lembaga penelitian seperti LIPI dan ITB melakukan survei dan kajian mendalam tentang suatu perakara legislasi. Itu juga sekaligus menghidupkan kedua lembaga yang sudah mati fungsi selama ini.
 
Tidak ada respons secara positif dari publik yang memilih mereka, sama sekali ditolak habis dalam hal urusan penggunaan uang negara, yang membangkrutkan negara, yang berasal dari uang rakyat yang memilih mereka. Maka hntikan membuat ketidak-bijakan yang sekadar normatif berlindung di balik konstitusi, namun secara hakikat dan moral serta kepatutan sesungguhnya pemborosan membangkrutkan negara.
 
Firman Allah:
-- WLA TBDzR TBDzYRA. AN ALMBDzRYN KANWA AKhWAN ALSyYTHYN (S. BNY ASRAaYL, 17:26,27), dibaca: walaa tubadzdzir tabdziiran innal mubadzdziriina kaanuu ikhwaanasy syayaathiin, artinya:
-- Janganlah kamu menghambur-hamburkan secara boros. Sesungguhnya mereka yang menghambur-hamburkan secara boros itu adalah saudara-saudara setan-setan.
 
WaLlahu a'lamu bisshawab.
 
*** Makassar, 12 Desember 2010